Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Musim Berganti di Airo

13 Agustus 2022   16:49 Diperbarui: 13 Agustus 2022   17:00 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para penggiat kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kamur kerap "terjebak" musim barat yang berlarut itu.

"Kami pernah tertahan 3 bulan di Kamur. Seminggu terakhir hanya makan mie kadaluarsa," kenang Alo Bambang, Direktur WVI Merauke yang membawahi Pantai Kasuari, Merauke dan beberapa daerah sekitarnya. Sam Wambrauw, Adrie Sadu dan John Noya telah melewati tujuh kali musim barat di sana, merasa jerih saat musim itu datang.

***

Sepanjang sisi Sungai Kronkel, Koock dan Fayit di Asmat berdiam suku-suku Asmat, Sawi, Kaigar, Awuyu,dan Athokaem. Perang  antar suku memang telah lama berakhir. Tetapi mereka masih terganjar keterbelakangan yang luar biasa.

Transportasi yang sulit dan mahal membuatnya sulit dijangkau dari dunia luar. Begitu pesawat MAF yang mengantar kami kembali mengangkasa, putuslah hubungan dengan dunia luar. Jangan berpikir pesawat rutin ke Pantai Kasuari. Kadang sebulan sekali, tetapi lebih sering 3-4 bulan. Dalam ganjaran keterbelakangan, terpencil dan sarana-prasarana yang buruk, WVI, guru seperti Stef Sumarno, gereja dan pemerintah sedang menangani dua hal pokok; kesehatan dan pendidikan. Dua faktor ini butuh penanganan luar biasa.


Namun seperti diakui para pekerja LSM dan aparat pemerintah, cara pandang masyarakat masih sulit diubah. Sekolah belum menjadi pilihan utama. Orangtua merasa lebih aman mengajak anak-anaknya berburu atau mencari sagu ke hutan ketimbang masuk sekolah.

Berminggu-minggu lamanya, bahkan bulanan. Target usia 7 tahun bersekolah belum tercapai. Bagi orangtua usia demikian masih terlalu kecil. Menginjak 12-13 tahun barulah mereka melepas anaknya masuk kelas 1. Namun, segera saja di kelas 4 atau 5, kasus lain akan segera datang. Banyak yang putus sekolah.

Kami disambut oleh masyarakat di Kampung Primapun di Distrik Pantai Kasuari, Papua Selatan (Dokpri) 
Kami disambut oleh masyarakat di Kampung Primapun di Distrik Pantai Kasuari, Papua Selatan (Dokpri) 

"Rata-rata putus sekolah di kelas 4 atau 5 karena kawin," terang Stef yang suatu ketika nyaris diamuk orangtua murid gara-gara menghukum anak yang berbuat tidak senonoh di kelas.

Dalam situasi seperti ini, Stef Sumarno telah bertahan 13 tahun mengajar seorang diri di sana. Sebenarnya ada 3 guru di SD Airo. Kepala sekolahnya akan pensiun. Yang seorang lain telah pergi entah ke mana.

 "Banyak guru yang tidak tahan hidup di sini karena kondisi yang sangat minus," kata Stef.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun