Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bekas Gereja Portugis di Jayakarta

10 Agustus 2022   10:17 Diperbarui: 10 Agustus 2022   10:33 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung GPIB Sion (Foto:Lex) 

Berusia 325 tahun,  gereja ini paling tua di Jakarta. Dibangun bagi kaum Mardjikers, komunitas orang Portugis yang memeluk agama Protestan.  

Minggu siang, cuaca  terik di kawasan Stasiun Kota, Jakarta. Matahari sedang menyemprotkan panasnya ke atas  aspal dan gedung-gedung tua di sana. Angin  pesisir teluk Jakarta enggan berhembus. Tetapi saya sudah bertekad hari ini mesti mengunjungi GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat) Sion, gereja tua yang dahulu dikenal sebagai De Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis. Beruntung pada pelataran kompleks seluas 6.725 meter persegi itu menjulang beberapa pokok Trembesi (Albizia saman). Matahari tak mempan menembusi kerindangan daunnya.

Gereja ini berjarak lima ratus meter dari Stasiun Kota, di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua Raya. Cukup berjalan kaki ke sana, lalu menyeberang melalui jembatan perlintasan Halte Transjakarta Pangeran Jayakarta. Segera tampak genteng gereja berwarna coklat.

"Apa yang bisa saya bantu?" seorang lelaki berperawakan kecil menyapa di gerbang gereja. Ia bersafari biru gelap dengan celana bernada sama. Plakat nama melekat di dadanya.

"Tasum, dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala," dia memperkenalkan diri.

 Tasum adalah pegawai Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang. Wilayah kerja BP3 Serang meliputi empat provinsi sekaligus; Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung.

BP3 ini merupakan unit pelaksana teknis (UPT) dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia yang berada di daerah. BP3 berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala yang bersalin nama dari Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP).

Tasum menjadi person in charge di Gereja Sion. Kalau digabung dengan masa honorernya ia sudah 30 tahun bekerja di situ.  Karena itu,  hafal betul dia dengan seluk-beluk dan sejarah Gereja Sion.

"Saya honorer sejak 1987 tetapi baru diangkat pada tahun 2008," ujarnya.

Gereja Kaum Mardjikers

Adalah Joan Camphuijs, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1684-1691) yang ingin mengganti bangunan lama yang terbuat dari bambu. Dibangunlah gereja dari tembok. Biar bisa bertahan lama.

Kaum Madjikers (repro GPIB Sion) 
Kaum Madjikers (repro GPIB Sion) 

Mulanya Gereja Sion diperuntukkan bagi komunitas Madjikers, yakni tentara Portugis yang menjadi tawanan perang Belanda dari Guam, India, Filipina dan Malaka. Mereka dibawa ke Batavia oleh VOC,  digabungkan dengan budak-budak dari Sulawesi, Bali dan Melayu.  Keturunan kaum Madjikers ini masih dapat temui di Tugu, Semper, Jakarta Utara. Mereka sudah keturunan kesepuluh atau kesebelas.

Kala itu serikat dagang VOC menerapkan kebijakan wijkstelsel yakni menempatkan penduduk sesuai dengan etnis dan keturunannya di suatu kawasan tertentu.  Etnis Tionghoa dikumpulkan di Glodok. Orang Arab di Pekojan. Sementara para Madjikers menempati  sisi timur  kota, yakni di luar tembok Kota Batavia hingga Kampung Bandan. 

Para tentara ini semula beragama Katolik. Pada 1661 ketika Joan Maetsuyker menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (1653-1678), para Madjikers dibebaskan tetapi dengan satu syarat; "Kalian harus memeluk agama Protestan," kata Joan.

Tahun 1692 keluar keputusan untuk membangun gereja permanen. Gagasan ini didukung oleh Joan van Hoorn yang menjabat sebagai kerkmeester (pejabat gereja) dan Joan Lammertse Radder, Wakil Ketua Dewan Kota Batavia. 

Repro GPIB Sion (Lex) 
Repro GPIB Sion (Lex) 

Barangkali karena kedudukan van Horn inilah (ayahnya, Pieter Janszen, adalah penjual bubuk mesiu yang kaya-raya dan berpengaruh di Belanda)  ia berhasil mendatangkan arsitek Fabriek Ewout Verhagen dari Rotterdam untuk merancang, memimpin dan menyelesaikan pembangunan gedung gereja. Para kaum Mardjikers menjadi kuli dan tukang.

Peletakan batu pertama oleh Joan  van Hoorn pada 19 Oktober 1693. Peresmiannya dilakukan pada hari Minggu, 23 Oktober 1695 dengan pemberkatan oleh Pendeta Theodorus Zas. Cerita tentang peristiwa ini masih dapat dijumpai pada sebilah papan yang ditempel di tembok Gereja Sion.

Mimbar Antik 

Bangunan gereja Sion berbentuk bangsal (hall church) persegi empat berukuran 24 x 32 meter persegi. Tingginya 22,5 meter. Pada bagian belakang terdapat bangunan tambahan berukuran 6 x 18 meter persegi. Gereja ini mampu menampung 500 orang jemaat.

Langit-langitnya berbentuk kubah, berjejer tiga memanjang dari muka ke belakang. Langit-langit itu disangga oleh enam tiang yang besar. Di atas keenam tiang itu dipasang kerangka dari balok-balok sepelukan orang dewasa. Saya membayangkan puluhan orang menarik dan memasangnya di atas. 

Repro GPIB Sion (Lex) 
Repro GPIB Sion (Lex) 

Begitu pula saat melihat mimbar yang diukir bergaya barok dengan kepala dan sayap malaikat di sekujur tubuhnya. Mimbar ini berbentuk cawan yang dibuat pada 1695 oleh Hendrik de Bruijn seorang tukang kayu yang mantan serdadu. Cawan ini barangkali ingin mengenang peristiwa Malam Terakhir, seperti dikisahkan dalam Alkitab.

Di tengah ruangan terdapat empat 'kandelaars", tempat lilin dari kuningan dengan lambang kota Batavia yang merupakan kenang-kenangan dari Christina Elisabeth Marci, putri dari Otto Frans Nicolaas dengan Catharina Elisabeth Roms Winkel dari Batavia, akhir abad ke-18.

Orgel Pipa

Pada balkon terdapat alat musik tiup orgel dengan deretan pipa-pipa seruling yang indah. Untuk memainkan alat ini dahulu diperlukan seorang tenaga pemutar selain seorang organis. Udara dihasilkan dari  "tabung" yang mirip peti mati yang ditumpuk tiga yang mengembang dan mengempis seiring orgen dibunyikan. Sekarang  pemutarnya adalah sebuah dinamo yang diputar tenaga listrik.

"Bunyinya lebih nyaring dan jernih dari orgel elektrik, tetapi agak tulalit. Kalau orgel listrik kan begitu kita tekan tuts-nya langsung bunyi. Ini butuh dua-tiga detik sebelum bunyi," jelas Arlends yang ditemani Elisabeth Makaminan dalam ibadat minggu itu. Orgel pipa ini barang langka. Hanya ada tiga di Jakarta: GPIB Immanuel Gambir, GPIB Paulus Menteng dan Katedral Jakarta.

Orgel Pipa (foto: Lex) 
Orgel Pipa (foto: Lex) 

Orgel ini sumbangan Johanna Mauritania Mohr, putri pendeta John Maurits Mohr yang menjadi pendeta di gereja ini pada 1738. Mohr juga dikenal sebagai ahli maritim, seorang astronom dan pengamat gunung api.

Beberapa kursi berukiran bagus,  dan bangku dari kayu hitam atau eboni masih dipakai sampai kini.

Pindah ke halaman gereja! Pada jalan masuk, di kanan-kiri pintu utama terdapat beberapa makam. Antara lain makam Hendrick Zwaardecroon Gubernur Jenderal (1718-1725) dan makam Frederick Riebalt, bekas budak yang kemudian hari berhasil menjadi saudagar dan tuan tanah. Juga terdapat makam Titis Ragel, yang dijelaskan sebagai seseorang yang berhasil merintis jalan menuju gereja dari permukiman di sebelah utara.

Bertukar Nama

Setelah Indonesia merdeka, Portugeesche Buitenkerk ini bertukar nama menjadi Gereja Portugis. Pemerintahan Belanda mempercayakan pengelolaannya kepada Gereja-gereja Protestan di Indonesia (GPI). Wilayah pelayanan GPI di bagian barat Indonesia diemban oleh Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat (GPIB). Maka, pada persidangan Sinode GPIB tahun 1957 Gereja Portugis ini berganti nama sebagai GPIB Jemaat Sion, mengambil nama sebuah bukit di daerah Palestina, yang merupakan lambang keselamatan bagi bangsa Israel.

Anggota jemaat GPIB Sion sedang beribadah (Foto:Lex) 
Anggota jemaat GPIB Sion sedang beribadah (Foto:Lex) 

Menurut Tasum, gereja ini merupakan gedung tertua di Jakarta yang masih dipakai untuk tujuan semula seperti saat awal didirikan. Gereja ini masih memiliki sebagian besar perabot yang sama, meskipun pernah dipugar dua kali yakni pada 1920 dan 1978. Bangunan gereja dilindungi oleh pemerintah lewat SK Gubernur DKI Jakarta nomer CB/11/1/12/1972.

Di sisi utara gereja ini terdapat menara. Di sana tergantung  sebuah lonceng bikinan 1675. Pada badannya tertera tulisan God Allein de Eere, Kemulian hanya bagi Allah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun