Arthus  "Ary" Kermite (58) menarik sebungkus kretek dari saku kemejanya. Sebatang ia loloskan. Menyulutnya dengan pemantik gas. Asap segera mengepul.Â
"Habis sebungkus sehari," kata dia tersenyum.
Dengan perawakan sedang, kulit putih dan rambut yang dipangkas pendek, sukar membedakan Ary dengan orang Sunda. Apalagi dialek Sundanya kental. "Saya orang Ambon. Sudah hampir 40 tahun di sini," kata Ary, kepala sekolah di SDN Sampalan, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.Â
"Itu daerah paling ujung dari Kecamatan Cikembar, arah Pelabuhan Ratu. Dari persimpangan Cikembang, masuk tiga kilometer lagi ke dalam," jelasnya. Kami bertemu di Gereja Kristen Pasundan (GKP) Sukabumi pada suatu siang.Â
Guru Inpres
Ary salah satu dari sekitar 600 guru asal Maluku yang didatangkan oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat pada tahun 1977. Kala itu Jawa Barat dipimpin Gubernur Aang Kunaefi Kartawiria. Sementara Maluku dipimpin Hasan Slamet. Sama-sama perwira tinggi TNI berpangkat mayor jenderal. Sama-sama orang Sunda.
"Barangkali karena kesamaan daerah asal tadi membuat mereka bekerja sama. Tetapi waktu itu memang Jawa Barat sedang butuh guru yang banyak," kata Ary.
Pengiriman guru-guru ini, sesungguhnya, Â atas Instruksi Presiden (Inpres) yang dikeluarkan Presiden Soeharto tentang wajib belajar 6 tahun. Instruksi ini didahului oleh Inpres Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Tujuannya untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di perdesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah.
Ketika itu Indonesia baru saja mendapat limpahan dana dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya. Setiap tahun tidak kurang dari 10 ribu unit SD Inpres dibangun di desa-desa. Seiring pembangunan gedung SD Inpres tersebut, ditempatkan pula satu juta guru Inpres di sekolah-sekolah itu. Total dana yang dikeluarkan untuk progam ini mencapai hampir Rp6,5 triliun. Angka yang sangat besar kala itu.
 Masa pengiriman guru dari luar daerah  Jawa Barat berlangsung antara tahun 1976 sampai dengan tahun 1977. Selain dari Maluku, guru-guru juga didatangkan dari Aceh, Padang, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Manado. Rata-rata mereka mengajar sekolah dasar di pedalaman Sukabumi, Bogor dan Cianjur. Belakangan sebagian kecil memilih pindah ke Depok dan Bekasi karena tak tahan tinggal di pedalaman.
"Kita di Maluku tinggal di pantai, ramai. Tetapi di Sukabumi kita naik turun gunung tinggal di pedalaman. Sepi sekali. Jadi tahun 1982 kita pilih pindah ke Depok, Jawa Barat," kata Hengky Wahilaitwan (65), yang telah pensiun sebagai guru SD.Â
Saya bertemu Hengky di Gereja Persekutuan Oikumene Umat Kristen (POUK) Depok II Timur usai kebaktian sore. Hadir pula Karel Ongirwalu (62) dan M.Masihin (61) teman  seangkatan dari Maluku.  Keduanya pun sudah pensiun.  Â
Mayoritas Kristen
Ary Kermite, Hengky Wahilaitwan, Karel Ongirwalu dan M. Mahisin adalah  empat dari sekitar 600 orang guru asal  Maluku yang dikirim ke Jawa Barat. Â
"Hampir semuanya beragama kristen. Yang beragama Islam bisa dihitung dengan jari, terutama yang dari Pulau Seram. Tetapi waktu itu tidak  ada yang menjadi guru agama Kristen. Kami mengajar terutama Bahasa Indonesia dan Matematika. Dulu namanya Aljabar," terang Hengky lagi.
Dari Maluku mereka naik KM Tombato, kapal dagang yang disewa pemerintah sampai Tanjung Priok. Â Perjalanan memakan waktu seminggu.Â
"Sekitar bulan September 1977. Kita sebenarnya datang dari pulau-pulau  untuk tes pegawai negeri di Ambon. Mereka yang lulus langsung dapat kerja di sana. Kita yang tidak lulus kemudian ditawarkan jadi guru di Jawa Barat," cerita Karel.
Ketika itu ia masih seoang pemuda tanggung. Berusia antara  22 tahun. Tetapi beberapa orang dari mereka sudah menikah.
Belum pernah ada yang ke Jawa. "Hanya dengar-dengar  nama. Belum pernah ada yang ke Jakarta sebelumnya," kata Karel tertawa.
Tetapi saat mendengar cerita bahwa mereka akan ditempatkan di gunung dan pedalaman, ada yang mengundurkan diri.
"Soalnya di Maluku kita tinggal di pantai. Jadi begitu dengar cerita tentang pedalaman, banyak yang mengundurkan diri. Yang berani itu kebanyakan dari Maluku Utara dan Tenggara," jelas Hengky yang lahir di Pulau Larat.
Agar tidak  makin banyak yang mundur, panitia mewajibkan peserta mengumpulkan ijazah asli. Ijazah ini kemudian dibagikan saat mereka sudah di atas kapal.Â
Kedatangan para guru  ini tercatat dalam Buku Profil Gereja Kristen Pasundan dalam Perspektif Kemandirian Teologi,Daya dan Dana (2007). Dikatakan di sana bahwa guru-guru dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Maluku, dan Sulawesi Selatan yang didatangkan pemerintah  pada 1976-1977 yang mayoritas beragama Kristen dan ditempatkan di Sukabumi Selatan akan dilayani oleh GKP Jemaat Sukabumi.
Membuka Cakrawala
Namun lebih dari itu, kehadiran para guru ini membuka cara pandang baru bagi masyarakat Sunda. Setidaknya memahami bahwa kehadiran orang Kristen tidak berarti melakukan kristenisasi. Bagaimana pun sejarah mencatat misi penginjilan di Jawa Barat dianggap gagal. Masyarakat Sunda sangat teguh memegang keyakinan mereka. Â Kalau pun ada yang menjadi Kristen, jumlahnya tidak seberapa.
"Artinya kehadiran kami waktu itu memberi warna baru bagi orang Sunda bahwa ada agama lain selain Islam. Bahwa kami sebagai guru tidak mengajar berdasarkan agama, tetapi mau memberantas kebodohan," kata Ary.
Waktu itu, menurut Ary, daerah Sukabumi bagian selatan masih  tertutup.  Artinya, pendudukya sama sekali belum bersentuhan dengan orang  luar.
"Sehari-hari masih pakai bahasa Sunda. Guru-guru juga. Bahkan dalam upacara bendera. Jadi kalau mau sombong, kami yang pertama mengajar warga untuk  berbahasa Indonesia," jelas Ary tergelak.
Dr. Hendrik Kraemer dalam buku From Missionfield to Independent Church: Report on a Decisive Decade in the Growth of Indigenous Churces (1958) mengatakan, pengaruh Islam yang lebih kuat kepada orang Sunda terutama disebabkan mereka tak pernah mengalami pengaruh kebudayaan Hindu sedalam orang Jawa.
Pasundan, kata Kraemer, tak pernah mengenal pusat-pusat agama dan kebudayaan sebesar dan sekuat Mataram kuno; Kediri, Singosari, Majapahit dan Mataram Islam di Yogyakarta. Belum lagi  pada zaman Kompeni Belanda penduduk Pasundan sangat sedikit dan tidak memiliki kehidupan kultural yang aktif.Â
Ia juga mencatat mencatat bahwa orang Kristen di Sukabumi pada awalnya adalah orang Cina dan Ambon. Jika orang Ambon maka mereka adalah bekas tentara KNIL atau anggota TNI yang bertugas di sana.
Hendrik Kraemer seorang misiolog, teolog awam, dan tokoh ekumenis dari Lembaga Alkitab Belanda. Ia berkeliling ke berbagai gereja di Indonesia antara tahun 1922-1937 dan empat bulan di antaranya pada 1933 ia tinggal di Jawa Barat dan mengunjungi semua daerah yang memiliki pos-pos penginjilan dan jemaat-jemaat Kristen.
Kraemer menjadi figur penting dalam dunia misi dan dunia ekumenis karena sumbangan pemikirannya dalam hal pendekatan misi Kristen terhadap agama-agama lain. Ia sangat tenar dengan buku Christian Message in a Non-Christian World, yang diambil dari makalahnya di konferensi International Missionary Council (IMC) di Tambaram, India pada 1938. Makalah ini mempengaruhi diskusi para delegasi IMC di Tambaram dan memengaruhi pemikiran tentang misiologi pada dekade-dekade berikutnya di seluruh dunia.
"Saya turunan kedua orang Ambon yang di Sukabumi. Papa bekas tentara. Tapi sebelum papa sudah ada orang Ambon yang lebih lama tinggal di sini," kata Ny.Dolfina Tureay (55). Â Tante Doli, demikian Dolfina disapa, sejak kecil tinggal di bekas markas KNIL di Jalan Kenari, Sukabumi.
"Sebelumnya jadi markas tentara, ini adalah bekas penjara Belanda," jelasnya.
Seratus Persen Indonesia Â
Orang Maluku di Sukabumi sekarang berjumlah sekitar 700 kepala keluarga. Kalau setiap keluarga punya 2 anak saja berarti sekitar 1.400 orang jumlah mereka.
"Ini yang tercatat di Ikatan Keluarga Seribu Pulau Maluku- Sukabumi. Kami sekarang sudah melahirkan satu generasi," jelas Ary.Â
"Merasa sebagai Ambon atau Sunda?" tanya saya.
 "Susah jawabnya, karena kami lebih lama di Sunda daripada di Ambon," ujar Karel.
"Ambon-Sunda saja," Hengky Wahilaitwan tertawa. Â
 "Seratus persen Indonesia!" ujar Ary  Kermite sembari terus menghembuskan asap rokoknya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H