Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Honai Tunggu" Bidan Regi

8 Agustus 2022   05:13 Diperbarui: 8 Agustus 2022   06:32 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bidan Regi di depan "Honai Tunggu" di Asologaima, Jayawijaya (foto: Lex) 

Regina Tabuni atau biasa disapa Bidan Regi, masih ingat peristiwa tahun 1996 itu. Ia baru saja ditugaskan sebagai bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Desa Algonik, Distrik Pyramid, Kabupaten  Jayawijaya Papua.  Regi baru saja selesai memperdalam ilmu kebidanan selama setahun setelah tamat dari Sekolah Pendidikan Perawat (SPK) di Wamena.Suatu malam pintu rumahnya digedor orang.

 "Bidan Regi tolong buka pintu," seru mereka dalam bahasa daerah. Regi membuka pintu. Rupanya warga dari kampung di balik gunung. 

Mereka diutus oleh kepala kampung. Seorang ibu telah melahirkan tiga hari lalu, tetapi plasentanya masih menempel dalam rahim.

"Mereka bilang ada bayi lain yang belum keluar sehingga si ibu sudah setengah mati kesakitan,"Regi menirukan.

Mess tempat  Regi tinggal di Algonik berjarak tiga jam berjalan kaki ke kampung itu. Jalanan menanjak. Gelap. Tak seorang pun memiliki senter untuk penerangan. Regi dibimbing oleh mereka agar tidak jatuh atau terantuk batu.

Regi menjumpai sang ibu dalam kondisi sangat pucat. Tiga hari tidak makan. Harusnya diinfus. Tapi tidak ada. Regi memaksanya minum agar kuat. Menurut Regi, setelah bayi lahir mestinya beberapa saat kemudian menyusul plasenta. Karena belum keluar, keluarga memijat secara paksa agar ari-ari keluar. Jalan lahirnya membengkak. 


Regi menyuntikan obat agar plasenta bisa lepas dari dinding rahim. Suntikan pertama dan kedua, kata dia, plasenta belum luruh. Baru pada suntikan ketiga, Regi bisa pelan-pelan menarik plasenta itu keluar.

"Tidak ada handscoon (sarung tangan). Tangan saya bungkus pake plastik bersih, ikat ujungnya  pake karet,  baru saya masukkan. Hanya pertolongan Tuhan si ibu bisa selamat," kata Regi menerawang.

Angka kematian Tinggi

Angka kematian bayi dan ibu hamil pada tahun 1990-an itu menurut Regi cukup tinggi di Pegunungan Tengah. Di tempat ia bertugas saja di Pyramid, setiap tahun sekitar 6-10 kematian terjadi. Antara lain karena gizi buruk,  puskesmas yang jauh dan sukar dijangkau serta kebiasaan melahirkan dengan pertolongan dukun beranak. Ketika  proses persalinan sukar, barulah dibawa di Puseksmas atau rumah sakit.

"Biasanya pasien sudah dalam kondisi genting," kata Regi.

Pengalaman ini hanya salah satu dari banyak pengalaman Regi menolong persalinan yang sulit.

"Tenaga kesehatan sangat jarang waktu itu. Apalagi akses jalan belum seperti sekarang. Saya harus jalan kaki tiga-empat jam baru sampai ke tujuan," ujarnya. 

Tetapi itu peristiwa dua puluh tahun lalu. Kini Bidan Regi adalah kepala Puskesmas PONED (Pelayanan Obsteri Neonatal Emergency Dasar) yang menjadi bagian dari Puskesmas Asologaima, Distrik Asologaima, Jayawijaya.

Puskesmas Asologaima berdiri di lahan seluas hampir dua hektar, terletak  di sisi jalan raya yang menghubungkan Wamena-Tiom, dan  telah dilengkapi dengan Instalasi Rawat Inap (IRNA).  Puskesmas Asologaima menjadi Puskesmas Rujukan untuk dua distrik lainnya yakni Silosukarno Doga dan Muliama, selain Asologaima.

"Kalau ada pasien dari kampung-kampung di tiga distrik yang tidak bisa ditangani kader kesehatan, mereka akan membawanya ke sini. Kalau kami di sini tidak bisa tangani, segera dirujuk ke RSUD Wamena," jelas Regi. Wamena bisa ditempuh dengan kendaraan selama 45 menit.  

Pengawas MTBSM

Regi juga menjadi pengawas bagi kader kesehatan untuk program Manajemen Terpadu Balita Sakit berbasis Masyarakat (MTBS-M) Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI). Setiap ada kegiatan Posyandu yang melibatkan kader MTBSM di kampung-kampung di tiga distrik itu,  Regi selalu turun tangan.

"Saya pastikan soal penyimpanan obat, cara menganamnese dan cara memberi obat terhadap pasien. Sangat beruntung sekarang ada kader MTBSM, sehingga warga yang jauh dari Puskesmas bisa ditolong jika ada balita atau orang dewasa yang diare, batuk dan demam. Para kader sudah kami ajari untuk bisa mengatasi beberapa penyakit ringan," kata Regi yang kerap mengunjungi kader-kader di kampung  Elaboge, Logotpaga, Helefa, Asologaima dan Wame.  Kampung-kampung ini sudah dilewati jalan perkerasan. Regi hanya perlu berjalan kaki sekitar 30 menit atau satu jam dari jalan besar.

Regi sudah jarang turun ke lapangan. Namun tidak berarti kegiatannya berkurang. Ia sekarang lebih banyak menolong kelahiran di Puskesmas PONED.

"Peralatan untuk membantu kelahiran cukup lengkap di sini. Kami turut disokong WVI menyiapkan perlengkapan ibu dan bayi. Dari pakaian, pempers untuk ibu, baju bayi hingga minyak telon. Ini WVI sudah banyak sekali membantu kami," aku Regi.

Perlengkapan ibu dan bayi terlihat sepele, tetapi sangat penting.

"Ibu hamil yang mau melahirkan datang hanya dengan pakaian di badan. Bayangkan kalau tidak ada bantuan ini," ujar Regi. Ia membuka lemari dan menunjukkan perlengkapan yang ia maksud. Ada pakaian bayi. Juga pakaian bekas layak pakai buat ibu melahirkan.

Perlengkapan bayi dan ibu melahirkan (foto:lex)
Perlengkapan bayi dan ibu melahirkan (foto:lex)

Pendampingan

Namun yang lebih penting menurut dia adalah pelatihan dan pendampingan yang dilakukan WVI terhadap para kader MTBSM.

"Pendampingan tidak putus-putus, tetapi berkelanjutan. Belum lagi kunjungan rutin yang dilakukan para fasilitator. Jadi bapa-mama yang menjadi kader terus-menerus ditemani. Sehingga kalau ada persoalan yang dihadapi para kader bisa langsung teratasi. Bapak tahu sendiri bagaimana jauhnya jarak antara kampung dengan pusat kesehatan di sini," kata dia.

Semenjak ada kader MTBSM angka kematian ibu dan anak bisa ditekan. Para kader menurut Regi melakukan pertolongan pertama  terhadap balita dan ibu hamil dengan mengenali tanda-tanda kesakitan awal. Tanda-tanda kesakitan awal ini mula-mula ditangani oleh kader  dengan memberikan obat-obatan. Jika belum sembuh, pasien dirujuk ke Puskesmas. 

"Tidak jarang kader MTBSM ikut mengantar pasien sampai ke Puskesmas," kata Regi.

Perubahan

Regi merasakan adanya perubahan pada diri para kader setelah mendapatkan pelatihan dan pendampingan. Selain menguasai cara memberikan pertolongan pada kondisi kesakitan awal, mereka juga menjadi contoh bagi warga di kampungnya.

"Yang saya lihat, kemampuan para kader semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas dari pelatihan yang terus mereka ikuti. Buku panduan yang dipakai juga sangat sederhana dan langsung bisa dipahami oleh kader," kata Regi.

Bahkan kemampuan beberapa kader ada yang setara dengan petugas kesehatan, terutama dalam menyampaikan pesan tentang makanan bergizi dan kesehatan lingkungan tempat tinggal.

"Saya saksikan sendiri kader memberi obat dan berbicara kepada para pasien. Bagaimana jadwal ibu hamil memeriksakan kesehatan. Bagaimana makanannya. Sudah seperti petugas promkes, promosi kesehatan.  Mereka sangat meyakinkan kalau bicara," ujarnya.

Lebih jauh, kata Regi, para kader menunjukkan cara hidup yang bisa dicontoh oleh warga kampungnya. Mereka berkebun dan menanam sayur-sayuran. Para kader juga memelihara ayam atau kelinci sebagai sumber protein.

"Mereka tidak sekadar bicara tetapi melakukannya sendiri. Ini nilai lebih yang diberikan oleh WVI," aku Regi.

Dan para kader mau bekerja. Padahal tidak semua mendapatkan  honor dari  pemerintah. "Mereka mau jalan padahal tidak dibayar. Kalau pun dibayar, jumlahnya tidak banyak. Para kader betul-betul mengabdi," ujarnya.

Honai Tunggu

Karena ibu-ibu yang akan melahirkan datang dari kampung-kampung yang jauh, Regi dengan persetujuan Kepala Puskesmas Asologaima  mendirikan sebuah honai di kompleks Puskesmas Asologaima.

Bidan Regi di depan Puskesmas PONED di Asologaima (Foto:Lex)
Bidan Regi di depan Puskesmas PONED di Asologaima (Foto:Lex)

"Kita kasih nama honai tunggu, karena di sini mama-mama yang mau melahirkan tinggal satu minggu sebelum dan sesudah  melahirkan untuk pemulihan. Tapi biasanya mereka hanya tahan dua hari setelah melahirkan. Mereka tidak betah dan minta pulang," kata Regi.

Para ibu yang mau melahirkan menurut Regi tidak nyaman tidur di ranjang rumah sakit. Mereka terbiasa tidur dalam honai. Bahkan ada yang sama sekali tidak mau. 

Honai Tunggu didesain berbeda daripada honai pada umumnya. Terdapat jendela pada masing-masing sisinya agar udara leluasa keluar-masuk. Sementara bubungan dibuat terbuka sekitar 30 cm, sebelum ditutup dengan atap di atasnya. Asap perapian mudah keluar dari bubungan. Tidak terhirup oleh penghuni.

"Honai ini didesain WVI. Mereka juga membantu pembiayaan meskipun tidak semuanya," aku Regi.

Bidan Regi boleh lega. Sebagian dari tugasnya bisa ditangani kader MTBSM. Kehadiran kader membuatnya optimis angka kematian balita dan ibu hamil bisa ditekan lebih rendah lagi di Kabupaten Jayawijaya.

"Suatu saat kami akan seperti daerah yang lain. Angka kematian balita dan ibu hamil akan nol," ujarnya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun