Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Semangat Kemandirian dan Kontekstualisasi Injil ala Kyai Sadrach

7 Agustus 2022   22:16 Diperbarui: 7 Agustus 2022   22:23 1676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GKJ Karangjoso (Sumber: Purworejokab.go.id)

Rupanya,  begitu badan diletakkan di atas dipan,  dunia sekeliling telah hilang dan pagi-pagi buta  cericit burung-burung dari pohon rambutan di sisi jendela membuat saya terbangun. 

Angin segar menerpa masuk. Sawah menghampar luas di seberang jalan. Baru saja dibajak. Masih digenangi air dan tampak keemasan diterpa matahari  pagi.  

Saya sadar sedang berada di Wisma Padepokan Kyai Sadrach di Karangjoso, Desa Langenrejo, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. 

Saya dijemput Mulyono, Jurukunci Makam Kyai Sadrach, di Rumah Makan Sumber Alam di Andong, sekitar 16 km sebelah barat Kota Purworejo.  Dari jalan besar kami naik motor menembus malam sejauh 6 km ke selatan. Mula-mula jalan beraspal mulus, tetapi kemudian berbatu-batu dan rusak di sana-sini.  Di kiri-kanan kami hanya ada hamparan sawah. "Sudah dua periode bupati berjanji akan mengaspalnya. Tapi janji tinggal janji. Kita lihat lagi periode berikut," keluh Mulyono.  Ini jalan utama menuju Padepokan Kyai Sadrach.

Di padepokan telah menanti Purwanto Nugroho dan  Pujoharjono. Keduanya pengelola. "Saya pikir besok karena kabar dari Pak Lukas baru besok Anda sampai ke sini," ujar Purwanto. Pak Lukas yang ia maksud adalah Pendeta Lukas Eko Sukoco, pemimpin jemaat Gereja Kristen Jawa  (GKJ) Purworejo. 

Obrolan kami berganti-ganti. Mengalir sampai larut. Ditemani teh dan kopi.  Tetapi duduk di pendopo itu, larut malam, terbersit tanya dalam benak saya: Apakah seperti ini dahulu 141 tahun silam,   saat Kyai Sadrach berbincang dengan para cantriknya tentang "ilmu" baru bernama Injil?

"Posisi dan bentuk pendopo  masih seperti sediakala. Yang beda hanya lantainya. Dulu masih tanah dan kemudian semen biasa. Sekarang diganti keramik," kata Pujoharjono.  Padepokan ini berdiri di atas lahan seluas 1 hektar. Terdiri atas beberapa rumah, pendopo, gereja  dan wisma.

Sekitar 3 meter dari pendopo,  berdiri gereja yang arsitekturnya mirip masjid.  Atapnya bertingkat tiga. Pada bubungannya bukan salib tetapi senjata cakra, seperti  punya  Rama Krishna dalam perang  Mahabrata. 

"Dulu Kyai Sadrach seorang muslim. Barangkali karena itu ia membangun gereja ini seperti masjid. Barangkali juga senjata Cakra ini karena ia bertemu dengan budaya Hindu," ujar  Pujo. 

 Di sisi utara pendopo dibangun wisma, dua lantai dengan 16 kamar,  tempat peziarah dan peserta ret-ret menginap. Pembangunan wisma ini seluruhnya dibiayai oleh Mayjen Pol.AA Soegijo, kala itu Kapolda Jawa Tengah.

Radin Abas

Sadrach lahir sekitar tahun 1835, di daerah Keresidenan Jepara. Namun sumber lain mengatakan ia lahir di Keresidenan Demak atau di Desa Luring dekat Semarang.  Tempat-tempat ini terletak di Jawa Tengah bagian utara di mana agama Islam pertama kali berpijak. Mula-mula ia bernama Radin.  

Dalam catatan Dr. Soetarman Soediman Partonad, akhiran "in" pada namanya menunjukan bahwa ia berasal dari desa.[1] Soetarman menulis disertasi tentang Kyai Sadrach untuk meraih gelar doktornya di Belanda.   

Usia 17 tahun Radin berguru ke pesantren di Jombang. Untuk pertama kali Radin bersinggungan dengan ajaran Kristen lewat Ds. Jellesma yang berkhotbah tentang Injil di Mojowarno.  Sebagai seorang yang digambarkan berwatak keras dan progresif , Radin, selalu ingin tahu tentag "ilmu" baru yang ia dengarkan. Dari Jombang ia pindah ke Ponorogo, lalu Semarang. Di kota ini ia tinggal di Kauman dan menambahkan nama Arab "Abas" yang menunjukkan bahwa ia benar-benar seorang santri. 

Bertemu Mantan Guru

Sebenarnya Radin Abas tidak langsung berkenalan dengan Ibrahim Tunggul Wulung di Semarang. Ia bertemu mantan  guru "ngelmu" jawanya terlebih dahulu. Pak Kurmen. Tetapi Pak Kurmen bukan guru ngelmu lagi. Ia telah dikalahkan oleh Tunggul Wulung dalam debat umum. Dan dibaptis menjadi Kristen. 

Kemendikbud.go.id 
Kemendikbud.go.id 

Oleh Pak Kurmen,  Radin Abas diperkenalkan kepada Tunggul Wulung. Ia sangat terkesan dengan Tunggul Wulung dan belajar darinya bahwa orang Kristen Jawa tidak harus diartikan meninggalkan adat Jawa.

"Ketika dia pindah dari Kauman ke desa kecil di luar kota, ia menghadiri kebaktian gereja Hoezoo secara teratur, walupun ia mesti berjalan kaki selama lima jam. Ini menunjukkan keseriusannya kepada kekristenan," tulis Soetarman.

Tahun  1866 Radin Abas memutuskan datang ke Batavia (Jakarta) untuk bertemu F.L.Anthing. Ia ditemani oleh Tunggul Wulung.  Anthing, bekas hakim di Semarang, dengan senang hati menerima Radin Abas dan menerimanya sebagai pembantu. Di sinilah Radin Abas memutuskan untuk dibaptis. Untuk persiapan baptis ia menerima katekisasi dari Mattheus Teffer, seorang utusan NZG, teman dekat Anthing. Pada 14 April 1867 Radin Abas dibaptis oleh Pendeta Ader, pendeta dari Indische Kerk, Buintenkerk, (sekarang GPIB Sion, Jakarta)  dengan nama baptis Sadrach.   

Mendirikan Gereja

Pada tahun 1868, setelah kembali dari Batavia, Sadrach membantu penginjilan yang dilakukan Tunggul Wulung dan Pak Kumen di Bondo, Semarang. Tetapi  mereka pecah kongsi.

Ada beragam tafsir atas pecah kongsi ini.  Ada yang bilang karena Sadrach kecewa dengan Tunggul Wulung yang poligami. Alasan lain, karena ia tidak menyukai Pak Kumen yang kecanduan ganja, sebuah kebiasaan saat itu. Ada pula yang mengatakan karena Sadrach mendengar secara pribadi panggilan Tuhan kepadanya.

Tetapi akhirnya ia menyingkir ke selatan. Sadrach masuk ke Tuksanga dekat Purworejo dan membantu  penginjilan Steven-Philips. Kemampuan berdebat Sadrach semakin baik. Dalam menginjili ia menggunakan metode debat umum yang sering dipakai guru-guru di Jawa. Guru yang kalah akan menjadi murid yang menang bersama seluruh anggotanya.

Setahun bersama Steven-Philips Sadrach pindah ke Karangjasa, sebuah desa 25 km di selatan Purworejo.

Menurut Soetarman, keputusan Sadrach meninggalkan Tunggul Wulung, Pak Kumen dan Steven Philips  karena semangat untuk mandiri dan merdeka, dua sifat umum yang dimiliki oleh kyai Jawa kala itu.

Karangjasa adalah desa pertama tempat Sadrach mendirikan jemaat Kristen Jawa setempat. Meski demikian ia tetap menganggap Steven-Philips sebagai pelindung formalnya dan  figur yang menjembataninya dengan para penguasa Belanda, termasuk Indishe Kerk dan pekabar-pekabar  Injil dari Belanda. Semua murid Sadrach dibaptis oleh pendeta dari Indische Kerk di Purworejo berkat perantaraan Steven-Philips.

Sebab jemaatnya kian bertambah, pada tahun 1871, Sadrach mendirikan gedung gereja pertama di Karangjasa. Dengan demikian, jemaat tidak perlu lagi mengadakan perjalanan ke Purworejo setiap minggu untuk melakukan kebaktian. Walaupun telah mengalami renovasi, arsitektur awal gedung gereja itu masih bertahan sampai sekarang.  Dan menjadi GKJ Karangjasa. Pada akhir tahun 1873, anggota jemaat yang dipimpin Sadrach  mencapai hampir 2.500. Jumlah besar ini dicapai hanya dalam waktu antara 1870-1873.  

Tahun 1876 Steven-Philips meninggal. Pusat kekristenan Jawa yang semula berkembang di Tuksanga beralih ke Karangjasa. Hal ini menjadi bukti bahwa Sadrach adalah seorang yang memiliki pengaruh.  Sadrach memakai nama baru yakni, Radin Abas Sadrach Soerapranata.

Ditangkap

Pesatnya perkembangan jemaat Sadrach membuat Residen Bagelen, W. Ligvoet kebakaran jenggot. Kekhawatiran yang wajar. Sang kyai rada keras kepala terhadap kompeni. Taktik untuk melumpuhkannya dipasang. Yang tidak kentara tentu saja "menyerang" ajarannya.

Kyai Sadrach (Repro: Gunem.id) 
Kyai Sadrach (Repro: Gunem.id) 

Ligvoet mendekati Indische Kerk. Ini gereja resmi pemerintah Hindia Belanda.  Yang diberi mandat  oleh  Indische Kerk untuk menginjil di Jawa Bagian Selatan adalah Nederlandsch Gereformeede Zendings Vereniging (NGZV). Gereja Karangjoso bergabung dalam afiliasi ini.  NGZV adalah perkumpulan para utusan dari gereja-gereja Gereformeerd di negeri Belanda. Didirikan pada tanggal 6 Mei 1859 di kota Amsterdam.

Tuduhannya serius. Sadrach dinilai telah melakukan sinkretisme dengan menggabungkan ajaran Kristen dengan Kejawen-nya orang Jawa. Sentimen ras juga dipakai.

Mereka terus  mencari cara guna melumpuhkan pelayanan Sadrach. Suatu saat, Residen menahannya karena menolak vaksin bagi orang-orang yang kena cacar.  Ia ditahan selama tiga minggu. Namun, Gubernur Jenderal membebaskannya karena tidak cukup bukti.

Memang, untuk ukuran pada masa itu, Sadrach kelewat jauh melakukan loncatan. Ia memakai pendekatan budaya dalam menginjil. Ia antara lain menggubah tembang dan doa-doa dari Alkitab ke dalam bahasa Jawa. Sangat tidak lazim saat itu. Bahkan juga saat ini.

Akhirnya berbagai polemik mengenai Sadrach sampai kepada pimpinan NGZV di Belanda. Mereka mengadakan penyelidikan mengenai jemaat-jemaat di Jawa Tengah dengan mengirimkan Lion Cachet, pendeta sebuah jemaat di Rotterdam. Cachet berada di Jawa Tengah selama setahun yakni tahun 1891-1892.

Setahun melakukan investigasi Cachet kembali ke Nederland. Hasilnya jelas: Sadrach telah sesat. Ia sudah mencampur-adukkan ajaran Injil dengan kebijakan-kebijakan dari budaya Jawa. Sesuatu yang terlarang! 

Palu diketok. Ajaran Sadrach dinilai sesat. Hasil penyelidikan Cachet ini mengakibatkan putusnya hubungan Sadrach dengan NGZV.

Namun peristiwa "phk sepihak" ini justru membuat posisi Sadrach kian kokoh. Ia mencari "induk" lain, menjalin hubungan dengan Apostolische Kerk di Batavia.

Pada tahun 1899, Sadrach ditahbiskan sebagai  Rasul Jawa di Batavia. Kedudukan "rasul"  membuatnya memiliki wewenang memberikan sakramen. Hak yang sangat didambakannya bertahun-tahun. Sejak saat itu Sadrach sejajar dengan pemimpin gereja yang lain.

 Dalam catatan Soetarman, tindakan NGZV  terhadap Sadrach menyebabkan hampir  semua orang Kristen Jawa berpihak kepada Sadrach.  Dari sejumlah 6.374 anggota gereja, hanya 150  yang berpihak kepada  Pekabar Injil dari Belanda. Sisanya tetap mengikuti  Sadrach sebagai guru spiritual.

"Hubungan guru-murid antara Sadrach dan jemaatnya  ternyata lebih kuat daripada yang diperkirakan NGZV," catat Soetarman.

Tiba di Jakarta saya mendatangi Pastor Adolof Heuken, SJ.  Dia ahli soal bangunan-bangunan kuno di Jakarta, dan sudah menuliskannya ke dalam  beberapa buku yang kini menjadi klasik.  Terhadap Sadrach, ia mengatakan seperti ini: 

"Gerakan Sadrach merupakan inkulturasi. Dia termasuk berani, sebab arus penginjilan zaman itu masih sangat Eropa. Sekarang juga Gereja Katolik dan Protestan masih mewarisi banyak kebiasaan dari kekristenan di Eropa," kata dia.

Pada tanggal 14 November 1924 dalam usia 90 tahun, tokoh besar dalam pekabaran Injil di Karangjasa, Radin Abas Sadrach Soerapranata, meninggal dengan tenang di padepokannya.

                                                            ***

Hamparan makam itu berada di luar Kampung Langenrejo, Karangjoso. Makam orang Kristen dan Muslim dipisah jalan setapak. Lurus dari timur ke barat.  Saya diajak masuk ke sebuah bangunan kecil dalam kompleks makam itu. Menyerupai rumah. Saya melepas sandal. Menyuruk ke dalamnya. Ada nisan hitam. Salib berkorpus tertancap di bagian atas.  Ubinnya hitam dan dingin.  Hening. 

"Di sini Kyai dimakamkan," kata Mulyono.***

Sumber: 

[1] Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, BPK Gunung Mulia, Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun