Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Krontjong Toegoe (2-habis)

10 Agustus 2022   20:58 Diperbarui: 10 Agustus 2022   21:20 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelompok Musik Keroncong Tugu (Sumber: lembagabudaya.trisakti.ic.id)

Krontjong  Toegoe

Saya pertama bertemu Andre J.Michiels pada sebuah pelucuran album rohani keroncong di Katedral Jakarta. Suatu siang saya menyambanginya di sanggar sekaligus kantornya di Jl. Raya Gereja Tugu 7, Cilincing. Tangannya masih berlepotan olie. Andre baru saja dari bengkel mengurus "piringan" salah satu truk gandengnya yang pecah.  

Andre keturunan ke-10 orang Portugis di kampung Tugu.

Menurut dia,  istilah "keroncong"  sebenarnya tidak mengacu pada genre lagu tertentu tetapi pada suara atau bunyi alat musik mirip gitar namun lebih kecil ukurannya. Berdawai lima disebut matjina dan berdawai tiga, djitera. 

"Karena dimainkan dan dominan dengan suara  crong...crong...crong maka disebut keroncong," jelasnya.   Lambat laun nama keroncong dikaitkan dengan genre musik seperti yang kita dikenal saat ini. Kehadiran keroncong di Tugu terkait erat dengan keberadaan orang Kristen di sana.

"Tugu ya Kristen, Tugu ya Keroncong. Tapi jadi aneh juga ya, keturunan Portugis tetapi beragama protestan,he-he-he," terkekeh Andre.

Karena dahulu sebagian besar teluk Jakarta adalah rawa-rawa dan kerap terserang malaria, banyak kaum mardjikers pindah ke kawasan Jakarta yang lain seperti Kemayoran. Mereka yang pindah itu berasimilasi dengan golongan Tionghoa dan Belanda. Sementara yang tetap berada di Tugu membentuk komunitasnya sendiri yang kemudian dikenal sebagai Orang Kampung Tugu dan bertahan hidup dengan bertani, berburu, dan mencari ikan.

Peralatan musik Keroncong Tugu (Sumber: httpnaza-blog.blogspot.com)
Peralatan musik Keroncong Tugu (Sumber: httpnaza-blog.blogspot.com)

Sebagaimana budak-budak asal Afrika di Amerika yang di kala senggang seusai mengerjakan sawah-ladang atau berburu mengisi waktunya dengan bermain blues, musik ratapan kaum tertindas, begitu pula dengan para bekas tawanan yang sudah menjadi kaum mardjikers itu.  

Mereka membangun suasana gembira di tengah penderitaan sebagai bekas orang buangan di serambi rumah, bawah pohon sambil menikmati indahnya bulan purnama dan sepoi-sepoi angin pesisir membawakan lagu moresco berbahasa Portugis. Asal mula keroncong.

Lagu moresco sendiri menurut Andre banyak dipengaruhi oleh bangsa Moor di Arab. Bangsa ini pernah menguasai semenanjung Iberia yang terletak antara laut Atlantik dan laut Mideterania di barat-daya Eropa pada bada ke-8. Pengaruh kebudayaan mereka inilah yang dibawa serta ke Batavia kala itu.

"Kalau disebut dari mana asal-usul keroncong di Indonesia ya saya bisa bilang dari Kampung Tugu. Dari para bekas tawanan Belanda yang bermain matjina dan  tjitera di waktu senggang mereka. Pencetus keroncong adalah nenek moyang kami," tegas Andre.

Budayawan Remy Sylado mengamini pernyataan Andre. Ahli musik dan sastrawan ini mengakui bahwa  keroncong lahir dari Kampung Tugu. Bukan dari Portugis.

"Di Portugis tidak ada keroncong. Karena keroncong asli ada kencrongannya, crong..crong... gitu. Tetapi kalau diteliti lebih jauh lagi harmoni musik keroncong itu pada mulanya adalah harmoni musik gereja Protestan," kata Remy.

Apa beda Keroncong Tugu dengan keroncong yang lain?

Menurut Andre irama keroncong Tugu lebih cepat, tidak mendayu dan tak ada cengkoknya.  Dengan irama yang berayun cepat tanpa cengkok,  Keroncong Tugu dengan mudah bisa berkolaborasi dengan jenis musik lain.

Andre memainkan sebuah lagu keroncong. Dengan suara seraknya ia bernyanyi sembari menggaruk matjina: 

Dari mana mau ke mana, jiwa manis mau ke mana

 Hoi... nona, potonglah rumput-potonglah rumput   di tengah sawah

...... 

Cikini di Gondangdia,  saya ke sini lantaran dia....

 Masih kecil bermain mata, nantilah besar jadi tunangan

 Kue pancong tepung terigu, ini keroncong, keroncong  Tugu... ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun