Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dari Tugu Musik Keroncong Bermula (1)

5 Agustus 2022   08:48 Diperbarui: 5 Agustus 2022   08:55 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Tugu di Semper Jakarta Utara (Sumber: Kebudayaan.kemdikbud.go.id) 

Dulu hanya ada 23 nama keluarga (Fam)  di Kampung Tugu. Tetapi perkawinan campur membuatnya tinggal beberapa saja. Apalagi jika keluarga tidak punya anak laki-laki sebagai penerus. Harap makhlum, di Tugu (juga Indonesia pada umumnya)  masih menganut sistem patrilinear. Yang dihitung hanya dari garis keturunan ayah.  Sekarang tersisa enam fam yakni: Michiels, Andries, Abrahams, Browne, Quiko, dan Cornelis. Mereka inilah yang tergabung dalam IKBT. 

Tak ada cerita yang pasti tentang muasal nama Kampung Tugu. Ada yang mengatakan pada tahun 1878 di suatu tempat di Tugu pernah ditemukan sebuah batu berukir yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Tugu.

Menurut Pastor Adolf Heuken, SJ (1929-2019), Prasasti Tugu merupakan peninggalan arkeologis paling tua, yang membuktikan pengaruh Hindu di Jawa Barat. Batu-batu besar serupa, yang bertuliskan nama Raja Purnawarman, ditemukan di tempat-tempat lain di Jawa Barat. Raja ini memerintah kerajaan Tarumanegara.

"Apakah berarti nama Kampung Tugu diambil dari prasasti tersebut?" tanya saya kepada beliau.

 Heuken mengangguk kepada saya.

Versi Vicktor, seperti dituturkan turun-temurun oleh nenek-moyang mereka,  nama kampung Tugu berasal dari kata por "tugu" esa (Portugis). Setelah jatuhnya Malaka dari Portugis ke tangan Belanda pada abad ke-16 (tahun 1590),  orang-orang Portugis yang umumnya tentara keturunan berkulit hitam dari Bengali, Malabar dan Goa, ditawan dan dibawa ke Batavia. Baru sekitar tahun 1661 mereka dibebaskan setelah dianggap tidak berbahaya dan tetap dibiarkan memiliki senjata. Mereka inilah yang dijuluki Kaum Mardjikers, kaum yang dibebaskan.  Namun dengan syarat berpindah agama dari Katolik ke Protestan. Mereka juga memperoleh tanah di sekitar daerah Koja dari VOC.

"Jadi tak ada hubungannya dengan batu bertulis itu. Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan Kerajaan Purnawarman. Kami ini keturunan Portugis," kata Vicktor yang merupakan keturunan kesembilan orang Portugis di Tugu.

Saat ini warga keturunan Portugis yang tinggal di sekitar gereja tak lebih dari 100 orang lagi. Itu pun sudah melakukan kawin campur dengan orang Ambon, Manado, Timor dan Batak. Vicktor misalnya menikah dengan seorang perempuan Manado dan mempunyai dua anak. 

Gereja Tugu

Tak ada data pasti kapan gereja ini mulai dibangun. Tetapi para ahli sejarah menyimpulkan antara tahun 1676-1678, bersamaan dengan dibukanya sebuah sekolah rakyat pertama di Indonesia oleh Melchior Leydekker.

Melchior Leydekker dilahirkan di Amsterdam, Belanda pada tahun 1645. Dengan latar belakang pendidikan kedokteran dan teologi, ia datang ke Indonesia pada tahun 1675 sebagai pendeta militer Belanda di Jawa Timur. Sebagai menantu Gubernur Jenderal van Riebeck ia memperoleh sebidang tanah di Tugu.  Sejak tahun 1678 ia menjadi pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia (Jakarta).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun