"Kalau nanti saya sudah meninggal, warisan (legacy) apa yang mau saya tinggalkan? Legacy hanya bisa terjadi kalau kita punya reputasi. Reputasi lahir dari prestasi yang diakui. Diapresiasi oleh masyarakat atau oleh sebuah badan. Ada orang yang brand-nya dari universitas ternama. Ada yang mendapatkan penghargaan Oscar, dan pengakuan lainnya," kata dia.
Prestasi bisa dicapai kalau seseorang memiliki kompetensi.
"Setiap orang kalau mau meninggalkan legacy, mau tidak mau harus bikin personal branding. Salah satunya adalah melalui karya yang diakui oleh banyak orang," kata Subiakto.
 Sebab itu, setiap nama berpotensi memiliki "brand". Nama adalah merk yang khas. Karena manusia memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Namun harap diingat, nama tidak serta-merta menjadi brand. Ia harus punya sesuatu yang diingat orang secara terus-menerus.
 Misalnya kalau kita menyebut Ahok, akan spontan muncul "personal branding"nya: Tegas, marah-marah, anti korupsi, 'pemahaman nenek lu' dstnya. Jokowi pun demikian: Tenang, kerja efektif dan dijuluki  'koppig'. Mantan presiden,  SBY,  sama juga. Bonge Citayam juga.  Masing-masing punya ciri khasnya. Yang dikenal khalayak. Dan menjadi citra yang kuat dari diri mereka.
"Personal branding adalah praktik seseorang memasarkan dirinya dan keahliannya sebagai suatu brand atau merk," Subiakto meringkas pandangannya.
Pertanyaan reflektif ini, "kelak kalau Anda sudah meninggal akan dikenang sebagai siapa"? menurut Subiakto, yang akan membuat orang kembali merenung: Dia mau melakukan apa atau sudah melakukan apa dalam hidupnya?Â
Pilihannya bersegi-segi. Terserah Anda mau jadi apa?
 "Citra pribadi kitalah yang akan dikenang nanti," kata Subiakto lagi.
Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.
Tentu saja nama baik!