Dekat Terminal Ngabang di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat ada Pasar Hilir. Di Jalan Hilir Kantor. Memanfaatkan beberapa blok pertokoan di kawasan Pecinan. Di sudut itu adalah Hotel Dangau Landak.
Pasar mulai hidup pukul 05.00 WIB. Juga warung kopinya. Saya sengaja memilih warung kopi di tengah Pasar Hilir. Yang ramai pengunjung. Kursi-kursi tidak disusun berhadap-hadapan dengan meja sebagai penengah, seperti biasanya kedai kopi. Tapi semua merapat ke tembok mengarah ke tungku tempat belanga air panas diletakkan. Api di bawahnya terus menyala. Air terus menggelegak. Penjual menjadi sentral.Â
Cara menyeduh kopi rata-rata sama di pasar ini. Bubuk kopi dituang ke dalam cangkir besar dari bahan stainless berukuran seliter, air ditimba dari belanga, disiramkan ke kopi. Dibiarkan beberapa saat. Agar kopinya matang.
Lewat dua menit kopi dalam cangkir besar ditumpah ke dalam saringan kain dalam sebuah ceret. Gelas-gelas kopi diisi dari ceret ini. Saya melihat kemiripan dengan warkop di Banda Aceh. (Di Banda Aceh, gelas kopi diisi dari saringan kain yang diangkat dan diarahkan ke setiap gelas. Sangat presisi. Tak ada kopi yang tumpah. Atau gelas yg kelebihan isi. Ala bisa karena biasa).
"Ayam jago," seru seorang pelanggan yang baru masuk.
Pemilik warkop mengambil cangkir bergambar ayam jago. Ternyata "ayam jago" adalah tanda untuk ukuran cangkir terkecil di warkop ini. Isinya separuh cangkir biasa.
"Susu," kata yang lain. Kopinya minta dicampurkan susu cair. Susu kental manis.
Kalau Anda hanya minta kopi berarti yang datang secangkir kopi hitam dengan sesendok gula di dalam. Silahkan aduk sendiri untuk mengukur tingkat kemanisannya.
Cangkir di pasar ini mengingatkan saya pada sebuah cafe di dekat Putaran Abe di Jayapura, Papua. Persis sama motif dan ukurannya. Rasa kopinya juga mirip. Pahit yang mendekati asam. Melekat kuat di tenggorokan. Berbeda dengan Kopi Asiang di Pontianak.
"Kopi Robusta. Dari Kayong Utara," kata pemiliknya.
Yang berbeda antara kopi Pasar Hilir Ngabang dan Kopi Thiam Abepura adalah harganya. Â Kopi di Pasar Hilir "hanya" lima ribu rupiah. Di Abepura sudah seharga kopi di cafe-caf di Jakarta.
                                                     =000=
Gara-gara kopi pula, kami dua kali berjumpa. Masih di warkop Pasar Hilir itu. Kemarin pagi kami duduk berdampingan dipisah meja. Ia keluarkan HP androidnya. Saya tak paham bahasa Melayik, bahasa yang biasa dipakai di Ngabang. Tapi paham maksudnya. Ia minta tolong untuk mematikan mode getar pada HP androidnya.
"Rrrrrrrr..... Saya ndak suka, " kata dia. Sembari tangannya ia geletarkan.
Oh, kalau hanya hilangkan getar, saya bisa.Â
Pagi berikutnya, sehabis jalan cepat lima putaran, saya singgah di warkop yang sama. Kami berjumpa kembali. Duduk berdampingan lagi.
Ia memandang saya. Mukanya berkerut. Lalu meraba-raba kaca mata dan memakainya. Mencermati saya. Tetapi tak ada senyum diberi. Habis ngopi ia bayar dan pergi.
"Babe, jangan lupa maskernya," teriak pemilik warkop. Â
Ia buru-buru masuk kembali. Mengambil masker yang ia tinggalkan di atas meja.
"Pernah naik motor dari rumah. Pulang dia jalan kaki. Nanti cucunya yang datang ambil motor," kata pemilik warkop sembari ketawa.
Dalam hati saya berdoa. Tuhan, saya minta 65 tahun saja. Tapi yang sehat. Jangan pikun!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H