Saya mau berbagi pengalaman. Tapi saya bikin peryataan dulu di depan bahwa saya belum banyak menulis. Sedang dalam proses belajar terus-menerus. Masih jatuh-bangun.
Sudah sekitar 40-an buku yang saya tulis dan edit---sebagian besar adalah buku pesanan atau bekerja atas permintaan lembaga/yayasan/pribadi---serta menulis sekitar 300-an catatan perjalanan dan artikel.Â
Setiap kali menyelesaikan draft buku, saya akan kirim kepada editor atau penanggungjawab buku untuk dilakukan koreksi. Tetapi yakinlah, draft yang saya kirim sudah melewati masa "mengendap" minimal seminggu pada saya.Â
Saya membaca setiap artikel atau bab berulang-ulang. Nama orang, alamat, gelar, usia, saya pastikan tidak salah. Baru saya masuk ke inti pesan dari buku tersebut.
Setelah dibaca editor atau penanggungjawab, saya melakukan input atas koreksi mereka. Lalu kirim lagi agar mereka memeriksanya. Nanti, pas didesain, periksa lagi file pdf. Coret-coret lagi. Lalu input lagi. Kemudian naik cetak dan beredar.
Lima kali bolak-balik. Agar isi dan desain buku tak salah!
Kalau ia praktik baik tentang kesehatan misalnya, pesannya harus jelas. Clear! Kalau menyangkut sejarah, harus jelas sumbernya dari mana atau siapa, metodenya bagaimana? Saya menghitung, dari panjang 2000 kata untuk sebuah kisah atau artikel (untuk mengambil contoh), berapa persen "daging"nya dan berapa persen "bumbu" yang bikin ia enak dibaca. Bumbu jangan lebih banyak dari daging.
Saya kasih contoh. Suatu kali sekitar tahun 2015 kami menulis tentang para Saksi Jehova di Indonesia. Ada tulisan Panjang sekitar 15 ribu kata dalam format majalah. Dibagi dalam beberapa kompartemen. Setelah dua minggu berkutat dengan wawancara, transkrip, studi pustaka dll, sebuah draft sudah jadi. Kami mendatangi para anggota gereja ini di Jalan Gunung Sahari Jakarta.Â
Para narasumber yang kami wawancarai. Dan para petinggi Saksi Jehova. Minta waktu mereka untuk membaca seluruh isi tulisan. Terutama yang terkait dengan teologi mereka yang tidak menjadikan Yesus sebagai Tuhan, namun "hanya" sebagai utusan Tuhan. Seperti para nabi.
Sebab hal ini bertentangan dengan pengakuan sebagai bagian dari agama Kristen yang doktrinnya jelas: Percaya Yesus sebagai Tuhan.
Tujuan kami satu: Agar jangan ada salah paham. Sebab para Saksi Jehova kerap disudutkan dan tidak dianggap sebagai bagian dari Agama Kristen. Bahkan pernah dilarang di Indonesia. Sampai suatu ketika Presiden Gus Dur memulihkan lagi hak mereka.