Ada dua kisah dari tukang ojek yang suatu hari saya minta menemani berkeliling Kota Biak di Papua.Â
Pertama soal runtuhnya Hotel Biak Beach Marauw (Hotel Marauw), dan kedua runtuhnya pabrik pengalengan ikan Biak Mina Jaya. Saya menulis soal Hotel Marauw.
Marauw adalah hotel bintang 4 pertama di Provinsi Papua. Tetapi karena salah urus dan salah prediksi bisnis, ia layu sebelum mekar.
Tahun 1990 Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi dijabat Soesilo Soedarman. Ia menilai pariwisata Indonesia hanya identik dengan Jawa dan Bali. Mengapa daerah lain tidak dikembangkan? Memang pada era 1980-1990 itu pariwisata di negara Asia-Pasifik bertumbuh paling pesat di dunia.Â
Jadilah sebuah hotel dirancang akan dibangun di Biak, di desa Marauw, atas kongsi beberapa pihak: Biak Tourism Development Corporation milik Pemprov Irian Jaya, Bali Tourism Development Corporation (BTDC), yayasan pensiun Bank Ekspor-Impor Indonesia, Bank Dagang Negara dan beberapa investor lokal Irian.
Tanggungjawab membangun diserahkan kepada pemborong plat merah Hutama Karya dengan anggaran Rp 112 miliar ketika dollar masih Rp 2.500. Kalau dihitung dengan harga dollar hari ini, biayanya mendekati Rp 1 triliun.
Desain hotel dibikin oleh Biro arsitek "Team 4 Architects" pimpinan Ir. Zachri Zunaid. Konstruksi dimulai tahun 1992 dan selesai pada 1995. Gubernur Irja ketika itu, Bas Suebu, meresmikannya. Perusahaan Aerowisata bertanggung jawab atas manajemen hotel secara keseluruhan.
Bagaimana pertimbangan bisnisnya?
Biak dipilih karena karena kecantikan alam dan sejarahnya pada masa Perang Dunia II. Hal ini tak perlu diragukan. Pertimbangan lain adalah di Biak ada bandara internasional sejak zaman Belanda, yakni Bandara Frans Kaisiepo.Â
Pas juga waktu itu ada koneksi penerbangan dari Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles p.p. Memang ramai jalur ini pada era 1990-an. Diharapkan wisawatan dari Jepang dan Amerika---sebab mereka memiliki sejarah di pulau ini---akan datang berkunjung. Para pengelola menaruh harapan besar kunjungan wisatawan dari kedua negara ini menjadi sumber pemasukan paling besar.
Tetapi tahun 1997 badai krisis moneter mulai menerpa Indonesia. Memasuki tahun 1998 perekonomian Indonesia sudah lumpuh. Garuda Indonesia yang menerbangi rute ini berhitung ulang. Mereka rugi melulu. Garuda memutuskan menutup jalur ini. Harapan atas wisatawan Jepang dan Amerika bahkan belum terwujud.