Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Merauke Setelah 13 Tahun

26 Juli 2022   10:16 Diperbarui: 26 Juli 2022   10:31 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu berada di Merauke  pada akhir Mei hingga awal Juni 2019, kalau tidak ada wawancara saya memilih hanya keluar rumah untuk misa dan makan. Selain cuaca yang tidak mendukung---sebentar terik lalu tiba-tiba turun hujan---ada beberapa tugas penulisan yang harus selesai sebelum bulan Oktober. Kalau sudah ditimpa deadline begini, baru terasa waktu sangat berharga!

Kalau bosan menulis, saya keluar memacu MegaPro yang dipinjamkan Paulus Budi Wibowo, Acting Manager AP Maro. Mas Bowo, demikian lelaki kelahiran Yogyakarta itu disapa. Ia tinggal di Merauke sejak 1999 sampai sekarang. Lalu menikah dengan sesama staf  Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI),  punya anak, dan kini telah 20 tahun di sana. Mereka sudah jadi orang Merauke.

=000=

Hanya ada satu jalan besar di Meroke yakni Jalan Mandala. Dari ujung ke ujung. Dari Universitas Musamus hingga Gudang Arang. Kadang dari Kelapa Lima saya berputar ke arah RS Bunda Pengharapan milik para biarawati PRR. Sudah di luar Merauke. Pergi-pulang.

"Mas boleh pake, tapi jangan keluar malam ke daerah ini...," Mas Bowo berpesan. Ia menyebut beberapa daerah yang rawan bila malam.

Tetapi suatu kali, habis ngobrol dengan Nato Beko (cek di youtube,lawak-lawak khas Meroke "Epen kah Cupen toh"---Nato salah satu pemainnya), menjelang pukul 22.00 malam. Waktu datang, Nato numpang naik motor temannya. Jadi saya mesti antar dia ke pinggir kota. Ada lokasi perumahan di sana. Tempat dia tinggal. Cukup jauh. Sekitar 20 menit.

Sudah pinggir beneran itu. Makhlum Meroke kecil saja. Hanya sedikit lebih besar dari Weetebula di Sumba Barat Daya, NTT. Pulang dari sana saya lewati banyak penjual buah di pinggir jalan. Bercakap-cakap dalam dialek Meroke. Tapi lidah mereka kentara Jawa-nya.

Saya ketemu Nato secara tidak sengaja, di Gereja Paroki Santo Yusup Bambu Pamali. Tak jauh dari Gang Sahabat di mana saya tinggal. Mas Bowo menunjuk gereja ini waktu saya bertanya, mana Gereja Katolik paling dekat.

Pagi-pagi benar hari Minggu akhir Mei itu, saya ke sana. Untuk misa. Ternyata tak sampai lima menit naik motor. Tahu begitu saya jalan kaki saja.

Saya pikir jadwal misa pertama di Meroke sama dengan jadwal misa pertama di Paroki Gembala Baik Waena, Jayapura. Yakni pukul 07.30 pagi. Sebab akhir April hingga minggu kedua Mei 2019, selama hampir tiga minggu, saya berada di RS Dian Harapan. Dalam rangka wawancara dan "bongkar" arsip-arsip di kantor keuskupan, di Dok II  Jayapura.

Ternyata jadwal misa di Meroke sejam lebih maju. Rupanya beda keuskupan beda jam misa.

Jadilah saya mondar-mandir saja di halaman gereja. Menunggu misa pertama selesai. Sambil cekrek-cekrek. Memotret sana-sini.

Halaman Gereja Santo Yusup sangat luas. Barangkali dua kali lapangan sepak bola. Tamannya rapi. Bunga-bunga sedang bermekaran. Lalu muncul Nato. Naik motor bebek. Melintas di depan saya. Rambutnya dikuncir. Pake batik lengan panjang. Rapi sekali dia pagi itu! Langsung ke depan ibu-ibu yang sedang menjual nasi kuning dan kue-kue. Parkir motor di sana.

Saya penasaran. "Entah di mana, saya pernah lihat orang ini," batin saya.

Karena penasaran, saya langsung datangi Nato.

"Wajahmu familiar. Kita pernah ketemu di mana?" tanya saya.

Nato kaget. Dia hanya angkat kepala dan menyorongkan tangannya. "Nato," kata dia pendek. Sembari menyeringai.

"Ah, Epen toh Cupen kah?" kata saya. Kali ini Nato ketawa lepas.

"Benar Abang. Saya main di sana," ujarnya.

"Sa pikir tadi Abang sopir taksi jadi.... Sa heran-heran juga tumben ada sopir taksi pagi-pagi sudah ke gereja. Rapi lagi," kata Nato sambil ketawa.

Anda jangan bayangkan sopir taksi Blue Bird di Jakarta. Di Meroke, taksi sebutan untuk angkot!

Ah, Nato jadi curhat! Barangkali setelah tahu saya wartawan. Khawatir juga saya. Soalnya baru ketemu.

"Papa saya pergi waktu saya belum lahir. Dia orang Buton. Jadi saya ini lahir tidak kenal Papa. Sekarang beliau tinggal di Manokwari. Sudah kawin lagi. Sementara Mama orang Muyu. Tinggal di kampung, di Tanah Merah," kata Nato. Tanah Merah berada di Kabupaten Boven Digul, sekitar 7-8 jam naik mobil. Kalau dengan pesawat  hanya 45 menit. Bandara berada di Tanah Merah. 

Dan Suku Muyu? Saya baru tuntas membaca Buku Manusia Irian, Dahulu, Sekarang, Masa Depan (Gramedia, 1986) yang ditulis Pastor Yan Boelaars, MSC, seorang biarawan dari Kongregasi Hati Kudus Yesus (Societas Missionariorum Sacratissimi Cordis Jesu) tentang suku ini, dan suku-suku lainnya di bagian selatan Papua. Pastor Yan seorang antropolog. Ia meraih gelar doktor linguistik dari Universitas Negeri Ultrecht, Belanda. Ia menjadi dosen di STFT Pineleng, STF Ledalero Flores dan STF Driyarkara Jakarta sekaligus.

Buku ini mula-mula ditulis dalam bahasa Belanda, sebelum diterjemahkan dengan sangat elok oleh Marcel Beding (1932-1998). Saya pikir Buku "Manusia Irian..." yang ditulis Pastor Boelaars ini salah satu yang paling komprehensif membahas tentang hubungan dan tata cara kehidupan masyarakat di selatan Papua.

Ternyata Nato baru pulang dari Jakarta. Ia tidak betah hidup di ibukota. Apalagi, menurutnya,  kontrak yang disodorkan produser untuk Sinetron Epen Cupen tidak jelas.

"Tra jelas. Kadang syuting. Kadang tidak. Jadi sa minta pulang Meroke saja. Sa baru kasih masuk lamaran ke kantor Diknas. Mau kerja kantoran saja," ujarnya.

Nato bisa bersekolah karena ikut pamannya. Ketika SMP dan SMA dia berjualan minyak tanah. Sambil itu dia bawa barang ke perbatasan PNG. Pakai motor. Barang-barang kelontong, minyak goreng dan rokok, yang ditukar dengan daging celeng atau rusa. Daging ini kemudian dijual di Meroke. Begitu terus setiap dua atau tiga hari.

"Saya hanya modal motor dan paspor," kata Nato.

Nato sambil bekerja sambil sekolah. Sampai selesai S1 di sebuah sekolah tinggi di Meroke.

"Saya bisa lulus S1 sungguh mukjizat," ucapnya.

Waktu kuliah itu, kata Nato,  ada orang cari-cari bakat. Yang bisa akting. Ternyata untuk syuting acara Epen Cupen. Nato ikut casting. Kata dia, aktingnya macam-macam. Salah satunya disuruh menangis.

"Saya lulus karena bisa menangis," kata Nato.

Baginya menangis perkara gampang. "Hidup saya sudah penuh air mata. Jadi saya tinggal pikir ulang semua kesedihan itu, air mata jatuh sudah. Atau paling mudah lagi kalau sa pikir Mama di Tanah Merah. Beliau sendiri. Dan tunanetra," suara Nato tercekat.

Akting dalam sketsa Mop Epen Cupen melambungkan nama Nato, Dody, Cello dan Cecil. Padahal mereka semua bukan komedian. Artinya, apa yang mereka perankan dalam video dan bikin orang banyak ngakak itu adalah kehidupan sehari-hari di sana. Setelah bermain dalam beberapa episode, datang tawaran dari sebuah PH untuk dibuatkan film. Jadilah film Epen Cupen the Movies. Semua terlibat di dalamnya. Nato jadi kepala penjahat dalam film itu.

=000=

Tahun 2006 saya pernah ke Meroke. Sebagai wartawan muda. Di Yogyakarta. Di Majalah Bahana. Tetapi hanya singgah sehari di Meroke, sebelum dengan pesawat MAF terbang ke Pantai Kasuari (PK). Bersama Johny Noya, Pricilla Christin, Herio Hattu, Jonson Tobing, Sisil Welu dan beberapa yang lain. Johny Noya sebagai kepala ADP Pantai Kasuari. Sekarang Johny kepala WVI di AP Sikka, Flores, setelah sebelumnya memimpin ADP Port Numbay di Jayapura. 

foto-1-62df5f703555e4423f44b7f2.jpg
foto-1-62df5f703555e4423f44b7f2.jpg
Waktu itu saya diutus Bahana untuk meliput kerja Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) yang sudah membuka ADP di sana. Untuk mengetuk hati para pendonor lokal menyumbang bagi proyek pendidikan dan kesehatan di sana. Meskipun disokong oleh World Vision, pembiayaan ADP PK 75 persen dari dana lokal.

Di Pantai Kasuari sudah menanti Andri Sadu dan Sam Wambrauw. Belakangan saya tahu Andri pulang ke Manggarai, sementara Om Sam tetap bertahan di Kamur, Pantai Kasuari sebagai guru PNS. Sementara Sisil mengajar di salah satu SMP di Meroke, sedikit di luar kota.

Kami berkeliling. Menyusuri Sungai Kronkel. Masuk Primapun dan Airo. Lalu balik ke Basim. Saya jumpa Pastor Bavo di Basim. Teman saya Ansel Kahan yang suka bertualang ke hutan-hutan Papua, ternyata ketemu beliau di Basim juga. Sampai sekarang kabarnya beliau masih pegang paroki di sana. Rupanya Basim susah melepasnya pergi!

Waktu ke Primapun itu, saya dan Johny Noya ambil kesempatan. Speedboat kami pacu ke arah Airo. Untuk ketemu Stef Sumardi. Guru di SD Airo. Orang Lampung keturunan Jawa. Dia kader WVI. Tahun 2017 lalu saya dengar kabar dan baca di beberapa media online kalau Pak Stef tewas dalam kecelakan di Laut Aru. Kapal motor yang mereka tumpangi dihantam gelombang tinggi. Beberapa orang meninggal bersamanya. Rest in Peace Pak Guru Stef. Semoga karena kerahiman Allah kita boleh jumpa lagi di surga!

Waktu di Meroke itu yang mencolok mata adalah "Bapak Rambut Putih". Aloysius Bambang. Kepala ADP Maro. Habis makan kami "bertanding" merokok. Sambung-menyambung. Sambil cerita tentang tokoh-tokoh di sana. Rupanya Pak Alo tahu betul "isi dalam" hampir semua tokoh di Meroke. Dari perilaku mereka yang paling amis hingga yang harum-wangi. Seperti buku terbuka saja orang-orang ini di hadapan beliau.

Jauh hari setelah itu, saya tahu alasan beliau dipilih sebagai kepala ADP Maro.

Pasalnya, saya jumpa Roriwo "Iwo" Karetji, zonal manager WVI Papua yang pensiun pada 2013. Dia buka kartu. Ceritanya, waktu WVI masuk Meroke, Gereja Katolik seperti berat hati menerima lembaga ini. Soalnya WVI terlanjur identik dengan Protestan. Sementara Meroke mayoritas penduduknya beragama Katolik. Gereja Katolik punya pengaruh besar di sana. Demikian pula banyak petinggi beragama Katolik menduduki posisi kunci di pemerintahan. Persoalan ini menurut Roriwo harus bisa dipecahkan.

"Saya datang ke Uskup Leo (Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM) di Jayapura dan tanya, siapa yang bisa kami angkat sebagai pimpinan WVI di Meroke? Beliau hanya kasih satu nama yakni Pak Alo Bambang. Beliau masih Ketua Delsos (Keuskupan Agung Merauke) waktu itu. Ya sudah, kami telepon dan tawari jabatan itu. Kalau tidak salah beliau minta waktu beberapa minggu untuk memberi jawaban. Tetapi akhirnya setuju. WVI bisa leluasa dan diterima di Meroke," jelas Roriwo.

Setelah kembali ke Jawa, berselang setahun, saya dan Bung Hendy (Yohanes K. Herdiyanto-CDC WVI Maro, kini menjadi dosen di Universitas Udayana Bali) janjian ke Purwodadi, Jawa Tengah. Ketemu Pak Bambang dan keluarga. Kalau tidak salah istri beliau orang Purwodadi, sementara Pak Bambang sendiri adalah anak dari kaki Gunung Merbabu. Dari daerah Sawangan. Tak jauh dari Muntilan. Bertepatan Hendy sedang dalam proses berpindah tugas ke Rote, NTT. Mengurus petani rumput laut di sana. Masih dalam WVI. Kami berboncengan motor dari Yogyakarta.

Saya ingat, sejak dari Solo kami telah kuyup. Pandangan hanya dua meter ke depan. Malam sangat gelap. Pekat. Hujan lebat! Apalagi waktu masuk hutan-hutan jati menjelang Purwodadi. Lampu motor tak mampu menembus hitamnya malam. Patokan kami hanya garis putih yang membagi dua jalan raya. Itu yang kami ikuti sampai tiba di Purwodadi. Esok pagi saya lanjutkan perjalanan ke Rembang. Dan belum lagi jumpa Hendy sampai kini. Kecuali saling sapa lewat FB.

Waktu menjadi Pimred harian Bintang Papua di Jayapura, terjadi KLB Campak di Asmat. Itu Januari 2018. Saya telepon Pak Bambang, minta nama yang bisa saya wawancarai. Dia kirim beberapa nama,  lengkap dengan jabatan dan nomer kontak mereka. Juga dengan pesan yang spesifik tentang karakter mereka. "Kalau si anu...jangan tanya tentang hal ini," pesan beliau.

Nama Pak Alo kami singgung lagi waktu saya ketemu Marthen Sambo di Bangi Kopithiam Kotaraja di dekat Putaran Abepura. Itu bulan Mei 2019. Saya sedang di Jayapura dalam rangka "belanja" bahan untuk penulisan sejarah 25 tahun RS Dian Harapan.  Kami sedang merancang rencana ke Meroke. Salah satu narasumber dalam catatan saya adalah beliau.

"Tapi Pak Alo sedang sakit. Mas Joko (Wahyu Joko Susilantara) ada dampingi beliau untuk berobat ke Semarang," kata Marthen.

                                                            =000=

Awal Juni. Setelah beberapa minggu di Meroke, saya perlu singgah di Jayapura. Untuk wawancara dan ambil keterangan tambahan tentang karya WVI.  Malam-malam kami  jumpa Roriwo Karetji di Kopithiam di depan bundaran Abepura.  Saya datang bersama Eninofa Rambe dan Mian Panjaitan. Keduanya staf WVI. Bung Iwo bercerita tentang pemakaman Pak Alo Bambang. Di kampung halamannya. Di Sawangan. Di kaki Gunung Merbabu!

"...Jika biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah."---Yohanes 12: 24.

=000=

Sabtu 8 Juni 2019. Hari ketiga lebaran. Kami menuju Kumbe. Melewati jalan yang jauh. Sekitar tiga jam perjalanan. Karena jalan yang lebih dekat telah rusak. Tidak bisa lagi dilewati mobil. Akibat dihantam banjir dan abrasi. Padahal kalau lewat jalur pendek, sekitar satu setengah jam saja. Meskipun harus menyeberang Sungai Kumbe. Naik 'belang' yakni kapal kayu yang menyerupai fungsi ferry penyeberangan. Bisa muat mobil dan motor. Sekitar 20 menit saja.

Sebenarnya rencana ke Kumbe sudah dirancang pada minggu terakhir Mei. Sebab di sana ada beberapa guru yang pernah dilatih dan didampingi WVI. Tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan metode PAKEM. Mereka perlu diwawancarai. Juga ada SD YPPK Santa Theresia. Milik yayasan Katolik. Sekolah ini salah satu binaan WVI.

foto-7-62df5fe7a51c6f5c581fadb4.jpg
foto-7-62df5fe7a51c6f5c581fadb4.jpg
Perayaan Hari Anak Nasional pernah dipusatkan di SD Santa Theresia. Para staf dan orang-orang yang kami jumpai masih ingat peristiwa itu. Padahal sudah sekitar sepuluh tahun lewat. Karya baik pasti selalu dikenang.

Tetapi rencana ke sana diundur dua kali. Sebab susah mendapatkan kendaraan. Sedang "musim" lebaran. Penyewaaan mobil sedang laris-larisnya. Orang-orang dari Meroke kota mesti pulang kampung. Mengunjungi sanak-saudara mereka. Di lokasi-lokasi transmigrasi yang jauh. Atau di kabupaten lain. Bulan yang baik untuk saling memaafkan.

Kalaupun ada mobil, harga sewanya naik tinggi. Biasanya Rp 500 ribu per 24 jam. Menjadi Rp 1,2 juta. Hari pertama lebaran bahkan tembus Rp 1,7 juta. Padahal bensin harus ditanggung sendiri. Hukum ekonomi berlaku di sini.

Sebenarnya WVI punya mobil yang tangguh. Dari jenis 4WD. Tapi karena jarang dipakai jadi sering macet. Takutnya tiba-tiba ngadat dalam perjalanan. Kalau dekat pemukiman tak jadi soal. Tapi kalau di tengah padang belantara? Mesti jalan kaki berkilo-kilometer. 

=000=

Kami berkendara melewati kampung-kampung ini: Kuprik, Semangga, Tanah Miring, Netto, Salor, Harapan, Kurik, baru Kumbe. Sebagian besar badan jalan sudah diaspal. Saya lancar mengeja nama-nama daerah ini berkat Maria Widiastuti, Dosen Universitas Musamus yang ikut hari itu. Maria mantan staf bidang Monev di WVI. Karena kerap mendampingi mahasiswa melakukan praktik lapangan, ia hafal luar kepala daerah-daerah ini.

Beserta kami ada pula staf WVI MARO Adrian Johanis bersama istri dan putra kecil mereka. Putra Mas Bowo, Totti, juga ikut. Mas Bowo tak tergantikan mengendalikan setir hari itu.

Kami berhenti sejenak di Tanah Miring. Ada monumen LB Moerdani di sana. Patung tentara baret merah di tengah pertigaan jalan. Sedang memegang senjata laras panjang dan tali-temali parasut. Di tempat inilah LB Moerdani bersama pasukannya mendarat pada Juni 1962. Untuk merebut Meroke dari tangan Belanda. Biar konsentrasi Belanda yang berpusat di Biak, di bagian utara Papua, kacau.

"Kalau anak-istri Belanda bisa kita tawan, mereka pasti kerahkan pasukan dari Biak untuk serang ke Merauke. Biak akan diserang oleh tentara Indonesia dan mudah dikuasai," kata Moerdani seperti dituturkan dalam biografi Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan yang ditulis wartawan Julius Pour.

Operasi Naga yang dipimpin Moerdani melibatkan 215 personel: 55 RPKAD dan 160 pasukan dari Batalyon 530/Brawijaya. Karena kurang persiapan, pasukan nyasar 30 km ke utara dari droping zone. Sungai Kumbai disangka Sungai Merauke yang mestinya menjadi titik pendaratan. Pilot susah melihat daratan. Pohon-pohon tinggi menjulang. Sebulan kemudian barulah sebagian besar anggota pasukan bisa disatukan. Dalam kondisi compang-camping.

LB Moerdani masih berpangkat mayor kala itu. Tetapi kemudian ia menjadi ikon di TNI. Ahli strategi. Intel jempolan. Dijuluki 'unsmiling general'. Karena irit senyum. Pembawaannya serius melulu. Mungkin seperti Jenderal (purn) Luhut Panjaitan sekarang. Guru dan murid setali tiga duit!

Moerdani pensiun dengan pangkat jenderal. Pernah menjadi Panglima ABRI. Juga Menteri Pertahanan dan Keamanan. Juga sebagai Pangkopkamtib. Semua pada zaman Soeharto.

Dus, dia kawan baik Pak Harto. Sebelum pecah kongsi. Lalu jatuh sakit dan meninggal pada tahun 2004 dalam usia 71 tahun. Moerdani dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Dalam Operasi Naga itu ada tentara lain. Seorang dokter. Letnan Satu Ben Mboi. Lengkapnya dr. Aloysius Benedictus Mboi, MPH (1935-2015). Orang Manggarai, Flores. Lulusan Universitas Indonesia. Pensiun Mayor Jenderal. Yang kemudian menjadi Gubernur NTT periode 1978-1988 dan mendapat penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay Award pada 1986 karena berhasil menghijaukan dan menaikan taraf hidup tiga juta warga NTT. Sang istri, Andi Nafsiah Mboi pada era Presiden SBY diangkat menjadi Menteri Kesehatan. Menggantikan Endang Rahayu Sedyaningsih yang meninggal karena kanker. Hari pertama menjadi menteri, Nafsiah sudah didemo. Gara-garanya Nafsiah melegalkan kondom untuk dipakai bebas.

"Waktu saya bilang kondom boleh dibagikan gratis, salah satu ormas radikal langsung demo dan datang maki-maki saya di kantor. Tapi setelah saya tantang bagaimana menghentikan penularan HIV-AIDS, sebab banyak bapak yang suka 'jajan' di luar, semua pada menunduk," kata Nafsiah dalam sebuah wawancara panjang dengan saya pada pertengahan tahun 2014.

Kisah Operasi Naga dalam rangka Trikora bisa dibaca dalam buku; Ben Mboi, Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja.

=000=

Selepas  Tanah Miring, perjalanan melewati padang-padang yang rata. Luas dan masih kosong. Sejauh mata memandang hanya gerumbulan semak dan savana. Musamus, yakni rumah rayap dari rumput yang dipadatkan dengan lumpur muncul di sana-sini. Tingginya sekitar 45 cm. Mirip candi mini. Kalau kita ke Taman Nasional Wasur, silakan berpose di depan musamus setinggi dua meter. Ini hasil kerja rayap dari spesies macrotermes. Mungkin hanya ada di Meroke. Karena itu, menjadi ciri khas daerah ini. Eloknya diambil jadi nama universitas negeri di sana.

Melihat savana saya selalu ingat Sumba. Atau spesifik lagi daerah Kodi yang rata, di bagian barat daya pulau ini. Sebab di Kodi bagian utara ada padang terbuka sejauh mata memandang. Kala kemarau datang, debu beterbangan seperti kabut di udara.

Cuaca di Meroke dan Kumbe sama perangainya. Terang-benderang sekarang. Berubah hujan lebat nanti. Tetapi hanya sebentar.

Begitulah. Di depan Gereja Santo Petrus dan Paulus Kumbe belum ada tanda-tanda turun hujan. Cenderung terang. Begitu pula saat kami berada di rumah Ibu Damiana Samderubun, Kepala SD Santa Theresia. Tetapi ketika kami berpindah ke rumah Subagio, guru di SD Islam Negeri Kumbe, hujan seperti tumpah dari langit. Tiba-tiba deras.

Tak jadi soal, karena tuan rumah menyediakan sajian lebaran. Meja penuh dengan makanan dan minuman.

"Waktu WVI masuk ke sekolah kami untuk melakukan pendampingan, warga muslim di sini pada was-was. Mereka khawatir. Jangan-jangan WVI akan melakukan kristenisasi terhadap anak-anaknya. Tetapi saya bilang pada mereka, WVI ini bukan lembaga agama. Meskipun berbasis Kristen. Mereka lembaga kemanusiaan yang bekerja di bidang pendidikan dan kesehatan. Saya tahu hal ini karena waktu kami di Pantai Kasuari, saya sudah kenal dengan WVI lewat Pak Riswanto. Dan saya sangat yakin dengan cara pendampingannya. Karena itu saya memberi jaminan kepada warga muslim di sini bahwa WVI tidak akan melakukan kristenisasi,"kata Subagio.

Jaminan dari Subagio membuat warga muslim mempercayainya. Dalam proses selanjutnya, warga muslim justru mendorong anak-anak mereka ikut ke dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan WVI. Termasuk di antaranya perayaan Hari Anak Nasional yang fenomenal di atas.

Di depan Gereja Katolik terdapat balai yang dibangun oleh WVI. Sebuah gedung permanen. Sebagai Pusat Belajar Masyarakat. Staf WVI untuk urusan Kumbe dan sekitarnya pernah tinggal di sini. Sampai program dinyatakan berakhir. Tetapi gedung belum dimanfaatkan lagi. Diserahkan kepada gereja.

WVI ini lembaga yang tak punya hak kepemilikan atas aset. Barangkali sudah digariskan demikian dalam AD/ART-nya. Jadi begitu program selesai di suatu tempat, barang-barang dilelang atau dihibahkan saja. Seperti terjadi di Meroke selama dua minggu penulis di sana. Mobil, motor, PC, meja, kursi ada yang dilelang. Kamera dan barang-barang lain dihibahkan.

Harga lelang pun kelewat miring. Kantor WVI di Gang Sahabat selalu ramai dalam dua minggu itu. Saya kenal Sr. Rosalia, PRR di sana. Beliau menyewa mobil pick up untuk mengangkut meja-kursi hasil menang lelang dan barang hibah. Waktu saya ke SD Theresia Kelapa Lima yang dipimpinnya, "Ini Pak Alex duduk di atas kursi hasil menang lelang di WVI," ujar biarawati asal Ende Flores itu. Ia tertawa.

Saya berfoto di depan Gereja Katolik Kumbe. Posting ke dinding facebook. Entah sedang berada di Jayapura atau Tiom di Kabupaten Lanny Jaya, sahabat saya Yohanis Philips "Ais" Reawaruw kirim komentar. Ah, ternyata kawan ini anak Kumbe. Besar di sana. Bahkan ia menikah di GPI Ora et Labora Kumbe.

Saya kenal Bung Ais di Jayapura beberapa tahun silam. Dalam rangka wawancara untuk menulis biografi Pak Chris Sohilait (Beta Papua: Kisah Hidup dan Pengabdian Chris Sohilait). Bung Ais kakak kelas Pak Chris di Sekolah Tinggi Teknik Jayapura (STTJ). Sekarang menjadi USTJ, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura. Kampusnya di bilangan Abepura. Malam-malam kami ditraktir Pak Chris makan papeda di Cafe Blue Ocean bersama alumnus USTJ yang lain. Kali itu saya baru dengar Pak Chris tarik suara. Ah, mana ada orang Ambon tidak bisa menyanyi, kawan?

=000=

Barangkali Anda bertanya-tanya, di mana tulisan tentang HIV-AIDS? Bukankah Meroke pernah melambung namanya ke pentas nasional gara-gara persoalan ini? Ngeri-ngeri sedap juga saya menulisnya.

Saya jumpa Pastor Apolinaris "Miller" Senduk, MSC. Anggota Kongregasi Hati Kudus Yesus. Dua puluh tahun sudah dia berkarya di Meroke. Pernah menjabat Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Meroke (2010-2017). Pernah pula menjadi Sekretaris Uskup. Sekarang ia fokus mendampingi Kelompok Muda Katolik.

Menurut dia, Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) di Merauke seolah-olah turun angkanya. Sebab kini yang terungkap ke publik paling tinggi angkanya dipegang Manokwari.

"Tapi yang sesungguhnya terjadi adalah penularan AIDS di Merauke sudah melalui ibu ke anaknya. Sudah masuk ke rumah tangga," kata dia. Bagi Pastor Miller, ini sudah lampu merah!

Sudah demikian, kata dia, tidak ramai lagi NGO yang melakukan pendampingan dan pemberdayaan bagi ODHA. Seperti yang pernah dilakukan WVI.

"Dulu lembaga yang mendampingi sangat ramai. Bahkan terkesan seperti rebutan lahan.Tetapi saya tahu mana yang benar-benar serius, mana yang sekadar untuk kasih habis anggaran. WVI melalui Program CAKAP sangat baik ketika itu," kata dia.

Tetrin W. Mandik, Behavior Change Communication Coordinator WVI, yang khusus menangani proyek CAKAP mengatakan, generasi muda di Papua termasuk di Meroke masuk pada resiko tinggi karena beberapa fakta menunjukkan mereka telah melakukan praktik seks pada usia sangat muda, film porno sangat mudah ditemukan, seks untuk uang juga dilakukan di kalangan remaja perempuan. Banyak pemuda terlibat dalam mengendus lem, merokok dan miras.

Kepada penulis, Tetrin membeberkan angka-angka.

"HIV mulai menyebar ke populasi umum di Papua," simpul dia.

Kongregasi MSC sebenarnya memiliki shelter. Rumah tiga lantai. Berada sedikit di luar kota Meroke. Dibangun khusus untuk menampung dan memberdayakan ODHA. Tapi rumah itu sekarang kosong. Tak ada penghuninya.

"Pernah ada yang tinggal, tetapi tidak betah. Entah bagaimana lagi kita mau mulai sekarang," ujar Pastor Miller mashgul.

Saya bertemu Pdt. Sefnat Lobwaer di Jayapura. Dia Ketua Yayasan Cendrawasih Bersatu Mandiri (CBM). Dulu, Sefnat sukarelawan dalam program CAKAP dan Tander Loving Care (TLC) WVI. Program yang terakhir ini juga dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Meroke. Sambil ikut sebagai sukarelawan, ia mendirikan CBM.

"CBM atas usul Pak Alo Bambang. Kami diminta bikin yayasan. Tetapi jangan gabung dalam gereja atau berada di bawah lembaga tertentu. Jadilah CBM menjadi yayasan pada 2016. Kami sekarang berada di 8 kabupaten/kota di seluruh Provinsi Papua, dengan 32 orang staf," jelasnya. Yayasan CBM fokus pada pendampingan dan pendataan ODHA.

Sefnat bercerita tentang kesendiriannya mengurus ODHA kini. Sementara permasalahan ODHA di Papua justru kian membesar. Selain penularan melalui ibu ke anak, sekarang muncul fenomena baru yakni penularan melalui LSL (Lelaki Suka Lelaki).

"LSL ini sedang trend di Papua," kata Sefnat.

Tentu saja Sefnat ingin partner yang tangguh seperti WVI. Menurut dia, cara kerja CBM sama dengan cara kerja WVI. Karena semua sistem dan cara kerja yang mereka terapkan diadopsi dari WVI. "Ya semangatnya. Ya cara kerjanya. Ya pertanggungjawabannya. Pasti klop," kata dia.

Karena mendampingi ODHA bukan sekadar tugas. Tapi panggilan!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun