Mohon tunggu...
alexa sidharto
alexa sidharto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

mahasiswi ilmu politik Universitas Bakrie tahun 2023

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penolakan Pembangunan Rumah Ibadah bagi Agama Minoritas: Tantangan Ruang Publik yang Inklusif di Indonesia

4 November 2024   16:00 Diperbarui: 4 November 2024   21:38 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS


Indonesia adalah negara yang terkenal dengan keragamannya, baik dari segi budaya, etnis, maupun agama. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia seharusnya menjunjung tinggi persatuan dalam perbedaan. Namun, kasus penolakan pembangunan rumah ibadah bagi kelompok minoritas, seperti gereja atau wihara, masih terus terjadi. Penolakan ini kerap dilandasi alasan ketidaksesuaian dengan "karakter lokal" atau mayoritas agama setempat, serta kekhawatiran mengenai stabilitas keamanan sosial.

Menurut Setara Institute, terdapat peningkatan kasus intoleransi terhadap kelompok agama minoritas di Indonesia. Data mereka mencatat setidaknya 35 kasus terkait pembatasan aktivitas keagamaan pada tahun 2022, termasuk larangan atau penutupan rumah ibadah milik minoritas. Lalu sebuah laporan terbaru menjelang Pemilu 2024 juga menunjukkan bahwa angka intoleransi semakin meningkat, dengan total 50 kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama terjadi hanya dalam enam bulan pertama tahun 2024 (Setara Institute, 2024).

Maka, penolakan ini tidak hanya menjadi persoalan bagi komunitas lokal, melainkan juga menggambarkan persoalan yang lebih mendalam dalam demokrasi kita: sejauh mana ruang publik di Indonesia benar-benar bisa dikatakan inklusif? Dan bagaimana seharusnya peran negara dan masyarakat sipil dalam memastikan setiap warga negara memiliki hak yang setara? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi refleksi penting dalam memperjuangkan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Ruang publik seharusnya menjadi tempat di mana semua warga negara, tanpa memandang latar belakang agama atau etnis, dapat berpartisipasi secara setara. Mengacu pada teori ruang publik Jurgen Habermas, idealnya, ruang tersebut harus memungkinkan dialog terbuka yang mempertemukan berbagai aspirasi masyarakat. Namun dalam praktiknya, ruang publik seperti sarana/fasilitas agama di Indonesia masih dikuasai oleh kelompok mayoritas yang memiliki pengaruh besar dalam kebijakan lokal, terutama yang berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah.

Sistem hukum yang ada seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) Tahun 2006, juga sering berpihak kepada mayoritas. Dalam peraturan tersebut, syarat dukungan dari masyarakat sekitar untuk pendirian rumah ibadah seringkali disalahgunakan sebagai alat diskriminasi, dimana warga mayoritas dapat menentukan apakah pembangunan rumah ibadah milik minoritas diperbolehkan atau tidak (PBM, 2006).

Salah satu contoh kasus terbaru adalah kasus penolakan pembangunan Gereja Toraja di Duri, Riau, yang terjadi pada tahun 2024. Masyarakat setempat yang mayoritas beragama Islam melakukan protes yang diwarnai oleh aksi massa, dengan tuntutan agar pembangunan gereja dihentikan.

Dalam insiden di Duri tersebut, gereja yang telah mengajukan izin pembangunan secara sah justru menghadapi penolakan keras dari kelompok mayoritas. Mereka berargumen bahwa kehadiran gereja akan mengganggu stabilitas sosial dan tidak sesuai dengan "karakter lokal" mereka. Penolakan tersebut mengakibatkan intimidasi terhadap jemaat gereja, termasuk ancaman kekerasan yang membuat mereka merasa tidak aman dalam menjalankan ibadah mereka. Kasus tersebut menyoroti betapa sulitnya situasi bagi kelompok minoritas dalam mendapatkan hak mereka untuk beribadah dengan pemerintah lokal yang tidak cukup berani untuk melawan arus penolakan dari kelompok mayoritas. Hal tersebut mencerminkan kegagalan institusi pemerintah dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi semua warganya, terlepas dari latar belakang agama mereka.

Penolakan pembangunan rumah ibadah bagi minoritas agama seperti yang terlihat dalam kasus penolakan pembangunan Gereja Toraja di Duri, merupakan bukti dominasi kelompok mayoritas yang bertentangan dengan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok mayoritas sering kali tidak hanya mengklaim kekuasaan atas ruang publik, tetapi juga berusaha mengontrol ruang spiritual kelompok minoritas. Ketidakadilan ini mencerminkan sikap intoleran yang bisa merusak integrasi sosial dan mengancam persatuan bangsa.

Pemerintah seharusnya berfungsi sebagai penengah yang adil, melindungi hak semua warganya, termasuk hak untuk menjalankan agama sesuai kepercayaan masing-masing. Namun, kenyataannya seringkali berbeda. Dalam banyak kasus, penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah dihadapi dengan penindasan dan intimidasi yang berasal dari kelompok mayoritas. Hal tersebut menciptakan lingkungan dimana minoritas merasa terancam untuk mengungkapkan identitas dan keyakinan mereka.

Selain itu, penolakan pembangunan gereja dan tempat ibadah lain seringkali didasarkan pada narasi yang tidak berdasar, seperti tuduhan bahwa kehadiran tempat ibadah minoritas dapat mengganggu stabilitas sosial atau keamanan. Dalam kasus Gereja Toraja di Duri, argumen yang diajukan oleh kelompok penolak mencerminkan ketakutan yang tidak rasional dan kurangnya pemahaman tentang pluralisme. Pemimpin agama yang seharusnya mendorong dialog dan pemahaman antaragama, lebih memilih untuk mengedepankan pandangan yang sempit dan eksklusif. Hal ini menunjukkan kurangnya pendidikan mengenai toleransi beragama yang seharusnya menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan nasional.

Penulis juga berpendapat bahwa penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah bagi kelompok minoritas bukan hanya pelanggaran hak asasi, tetapi juga sebuah tindakan yang berpotensi memecah belah masyarakat. Ketidakadilan yang dialami oleh kelompok minoritas dapat memicu perasaan keterasingan dan ketidakpuasan yang akan menimbulkan konflik sosial yang lebih luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun