Dukung Sawit Indonesia, NKRI Harga Mati!
Kita mengenal Indonesia sebagai negara agraris yang menghasilkan berbagai jenis hasil pertanian dengan jumlah besar seperti karet, kakao, kopi, teh, kayu manis, beras, tembakau dan kelapa sawit. Beberapa diantaranya bahkan mampu menjadi nomor satu dalam bidang ekspor pertanian ranah global, sebut saja kelapa sawit yang belakangan ini menjadi pembicaraan hangat dengan Eropa.
Kelapa sawit muncul sebagai komoditas yang menjanjikan dengan jumlah ekspor CPO (Crude Palm Oil/ Minyak Kelapa Sawit Mentah), PKO (Palm Kernel Oil/ Minyak Inti Kelapa Sawit) dan turunannya yang mencapai angka 34,71 juta ton di tahun 2018, sehingga dari komoditas kelapa sawit mampu menyumbang sebesar 20.54 USD untuk pendapatan negara.
Minyak kelapa sawit ini sudah berhasil di ekspor ke berbagai negara, dari negara di Asia, Afrika, bahkan hingga Eropa. Tiga negara importir minyak kelapa sawit Indonesia yang terbesar adalah India (6,71 juta ton), Uni Eropa (4,78 juta ton), dan China (4,41 juta ton). Uniknya jumlah ekspor kelapa sawit selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, yang berbanding lurus dengan jumlah produksinya.
Begitu banyak manfaat minyak kelapa sawit dalam kehidupan kita, salah satunya adalah penerapannya sebagai bahan baku energi terbarukan, biodiesel, yang belakangan ini sedang digalakkan oleh Joko Widodo. Secara resmi, Indonesia sudah menerapkan mandat B20 pada September 2018. Bahkan Badan Litbang Kementrian Pertanian sudah berhasil kembangkan B100, yaitu bahan bakar nabati dari kandungan 100 persen minyak kelapa sawit. Jika hal ini bisa diterapkan di bagian ekspor, maka penyerapan CPO akan jauh semakin baik.
Kampanye Hitam Kelapa Sawit
Bagi industri pertanian, memang sudah tidak asing lagi bahwa ada banyak kampanye hitam tentang tuduhan perusakan lingkungan yang ditujukan kepada perusahaan kelapa sawit. Munculnya berbagai tuduhan-tuduhan (kampanye hitam) yang menuduh perusahaan sawit Indonesia sebagai perusak lingkungan tersebut berdampak fluktuatif terhadap nilai ekspor.
Munculnya berbagai kampanye hitam dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tidak berdampak baik bagi komoditas sawit. Banyak dari LSM menuduh perusahaan kelapa sawit sebagai penghancur lingkungan, tanpa ingin mengetahui dan mempertimbangkan upaya-upaya keberlanjutan yang telah dilakukan selama ini. Mereka (yang menuduh) hanya menunggu munculnya sebuah kesalahan, tanpa pernah menghargai sederet prestasi dan upaya yang telah dilakukan jajaran komoditas kelapa sawit.
Mungkinkah mereka didalangi oleh Eropa yang sedang takut akan hebatnya komoditas kelapa sawit Indonesia di ranah global? Kita belum tahu, dan bukti pendukungnya juga belum ada. Namun yang pasti adalah, para negara di Eropa memang takut akan ekspor kelapa sawit Indonesia, hingga munculnya kampanye anti sawit.
Hal ini dikarenakan besarnya jumlah ekspor kelapa sawit ke negara-negara di Eropa yang mampu mengalahkan komoditas penghasil minyak nabati mereka seperti kanola, biji bunga matahari, kedelai, biji rapa, dan lainnya. Akibatnya, kini Eropa sedang gencar berbalik melawan kelapa sawit Indonesia melalui kampanye anti sawit, dengan tuduhan perusakan lingkungan.
Kampanye anti sawit yang digaungkan Uni Eropa semakin giat dilakukan, bahkan telah meluncurkan kebijakan turunan EU delegated act dari RED II (Renewable Energy Directive II) yang bertujuan menekan penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel di Uni Eropa hingga 2020. Tentu saja hal ini bisa berdampak terhadap penyerapan CPO dari ekspor, yang merugikan jutaan petani sawit Indonesia dan mengurangi pendapatan negara.
Beberapa hal yang perlu diingat, bahwa Eropa belum mampu hasilkan pasokan minyak nabati seperti Indonesia. Komoditas pertaniannya juga sangat boros lahan dibandingkan dengan kelapa sawit. Biji rapa, komoditas penghasil minyak nabati terproduktif kedua setelah minyak kelapa sawit hanya mampu menghasilkan 0,8 ton/hektar, sangat sedikit jika dibandingkan dengan kelapa sawit yang mampu menghasilkan hingga 3,5 ton/hektar. Kelapa sawit memang tidak terkalahkan dalam hal produksi minyak nabati dunia.
Langkah Indonesia Lawan Delegated Act Uni Eropa
Hingga Mei 2019, pemerintah Indonesia bersama dengan negara pengasil minyak kelapa sawit lainnya sedang berjuang melawan EU Delegated Act yang merugikan dan lebih tidak berkelanjutan bagi lingkungan. Beberapa diantaranya yaitu melakukan gugatan hukum ke Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO dan juga mendorong para pelaku usaha serta asosiasi industri sawit Indonesia agar menggugat kebijakan Eropa ini melalui Mahkamah Eropa (Court of Justice of the European Union/CJEU).
Kelapa sawit akan selalu menjadi komoditas yang mengangkat pendapatan Indonesia melalui ekspor, serta pendapatan bagi banyak petani swadaya maupun plasma. Tentu saja akan baik jika dilakukan dengan cara-cara yang lebih berkelanjutan dan mempedulikan lingkungan sekitar, baik alam maupun sosial, seperti yang selama ini selalu digaungkan oleh perusahaan-perusahaan sawit melalui program CSR-nya (Corporate Social Responsibility).
Maka dari itu sebagai masyarakat Indonesia, sudah seharusnya kita ikut mendukung berbagai komoditas dari industri pertanian tanah air kita, salah satunya kelapa sawit yang memberikan pendapatan bagi Indonesia melalui ekspor sekaligus menyerap banyak tenaga kerja yang bermanfaat bagi peningkatan pendapatan perkapita Indonesia. Ternyata komoditas kelapa sawit memang sangat menjanjikan, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H