Pertarungan politik para legislator di DPR RI semakin hari semakin menarik. Layaknya gladiator yang dipertandingkan di Colosseum menilik sejarah Romawi kuno, sebagian berhasil memenangkan pertarungan demi pertarungan dengan terhormat sementara sebagian lainnya harus menempuh cara-cara kotor untuk menang, yang lebih parah lagi sebagian lainnya ternyata ada yang memilih mengumpulkan pundi rupiah dalam diam dan cenderung menghindari gelanggang.
Tontonan di awal masa jabatan terlihat jelas sejak DPR seolah 'terbelah' menjadi dua kubu, KMP (Koalisi Merah Putih) dan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) dimana lewat UU MD3, akhirnya KMP berhasil menyapu bersih kursi pimpinan DPR RI hingga pimpinan di komisi-komisi DPR.
Pasca itu, situasi memang terlihat sedikit mereda, tawuran yang melibatkan gerbong-gerbong politik nampaknya tidak menjadi pilihan. masing-masing pihak mencoba untuk melebur. Hingga kenyataan politik memaksa satu per satu partai pendukung Koalisi Merah Putih menyatakan dukungannya dan keinginan untuk bergabung di pemerintahan Jokowi yang didukung oleh Koalisi Indonesia Hebat.
Namun harus diingat, sejumlah politisi yang memang memiliki kemampuan menonjol dan idola media terus mendapatkan panggungnya. Disinilah pertarungan sebenarnya dimulai, dimana figur-figur politisi yang memiliki karakter dengan sendirinya akan tampil dan menjadi sorotan.
Dua kasus terakhir yang cukup menguras rasa ingin tahu publik adalah pertarungan yang melibatkan para pimpinan DPR vs kelompok anggota DPR lintas partai yang dimotori oleh Adian Napitupulu. Dimana dalam prosesnya tidak tanggung-tanggung mampu mendongkel Setya Novanto dari kursi pimpinan dewan dan berikutnya Fahri Hamzah yang saat ini terpojok karena dipecat oleh Partainya PKS.
Setya Novanto, Fahri Hamzah dan Fadli Zon, sangat menonjol di awal terbentuknya DPR RI hasil pemilu 2014.Posisi masing-masing yang cukup berpengaruh di partainya, ditunjang dengan kedudukan ketiganya yang merupakan Ketua dan wakil ketua DPR RI membuat langkah politik yang diambil seolah tidak tergoyahkan. sebagai gladiator, ketiganya merupakan anak emas bagi 'pemilik' (baca: partai) masing-masing.
Disisi lain ada Adian Napitupulu, pendiri Forum Kota, angkatan 1998 yang sempat merajai jalanan ibukota dan menggemparkan republik lewat aksi-aksi mahasiswa di era reformasi hingga pasca reformasi. Terdidik dan terlatih bertarung tanpa dukungan politik dari partai, mahir mengorganisir rakyat dan tajam dalam melontarkan kritik keras ke DPR hingga pemerintahan.
Di sidang Paripurna pertama sesaat setelah dirinya dilantik, Adian seolah menabuh genderang perang melawan dominasi KMP yg dalam komposisi keanggotaan di DPR unggul secara jumlah. Tidak tanggung tanggung setelah hujan Interupsi dari berbagai penjuru arah, Adian dengan tenang maju ke depan meja pimpinan sidang yg di pimpin Ceu Popong. Majunya Adian diikuti beberapa anggota DPR lainnya dari KIH dan berujung pada keributan, saling dorong hingga hilangnya palu sidang yg mengakibatkan sidang paripurna pertama itu diskorsing selama 4 jam.
Berikutnya Lontaran "anggota DPR rada rada blo'on" yang terucap dari Fahri Hamzah dalam sebuah acara talk show disalah satu TV swasta menjadi genderang perang ke dua yg dengan lincah dan berani dimainkan Adian.
Pernyataan Fahri Hamzah itu tidak hanya dibalas dengan kritik keras oleh Adian Napitupulu tetapi lebih dari itu Adian yg baru 10 bulan menjadi anggota DPR RI bahkan mengadukan Fahri Hsmzah yg sudah 3 periode di DPR RI dan menjadi salah satu pimpinan DPR itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan.
Saat itu banyak yg menduga Adian pasti akan terjungkal melawan Fahri Hamzah yg lebih sudah 10 tahun bertarung di Colloseum DPR namun dalam berbagai wawancara TV terkait pengaduan terhadap Fahri Hamzah ke MKD, tidak ada sedikitpun ekspresi kegentaran Adian. Adian menunjukan ketenangan diri luar biasa yg menunjukan bahwa Adian sudah menghitung matang dan sangat memahami medan pertempurannya ini.
Ke "Gila" an semakin sempurna karena belum selesai kasus Fahri Hamzah, Adian justeru kembali mengadukan 2 pimpinan DPR lainnya yaitu Setya Novanto dan Fadli Zon ke Mahkamah Kehormatan Dewan terkait pertemuan keduanya dengan Donald Trump.
Lawan Adian Tidak tanggung2, satu dari dua pimpinan DPR itu justeru sedang menjabat sebagai ketua DPR.
Ibarat pertarungan Gladiator, Adian bertarung melawan 3 gladiator sekaligus. 557 Anggota DPR dan sekian banyak pemerhati politik, jurnalis, aktivis dan Rakyat seperti menahan nafas melihat kenekatan Adian. Secara pengalaman politik Adian tentu sangat tidak masuk hitungan ketika dia berhadapan dengan 3 pimpinan DPR sekaligus. Jika ada pasar taruhan bisa dipastikan banyak yang akan menduga Adian akan terkapar berdarah darah dengan tulang patah patah dalam hitungan detik.
Benarkah demikian? Di luar dugaan Adian mampu berkelit dari berbagai serangan sembari terus menberikan pukulan2 telak ke 3 pimpinan DPR itu bergantian. Ibarat Gladiator sungguhan Adian melompat kiri melompat kanan, menunduk sambil menghujamkan pedang nya bergantian. Di akhir persidangan MKD memutuskan bahwa ketiga pimpinan DPR dikenakan sanksi ringan. Sanksi yang dalam sejarah DPR baru kali ini dijatuhkan pada 3 pimpinan DPR sekaligus.
Senior senior Adian di PDIP sepertinya sengaja membiarkan Adian melatih kemampuan politik nya langsung di arena real. Banyak senior2 PDIP yg sudah mengenal Adian sejak peristiwa 27 Juli 1996 dengan bijak tidak mencampuri pertarungan Adian melawan 3 pimpinab DPR. Mereka yg memahami Adian sadar bahwa walaupun baru 10 bulan di DPR tapi Adian sudah ditempa perlawanan panjang di jalanan melawan rezim Soeharto. Mereka tahu bahwa Adian bukan politisi karbitan yg lahir dari ketiak orang tuanya.
Pertarungan berikutnya bagi Adian haruslah menjadi tusukan pedang yg "mematikan" bagi Setya Novanto. Momentum itu datang saat Setya Novanto harus berurusan dengan MKD untuk kedua kalinya.
Pengaduan menteri ESDM di manfaatkan dengan baik oleh Adian untuk menyelesaikan babak pertarungannya dengan Setya Novanto.
Di babak penentuan ini Adian betul betul menggunakan semua jaringan politiknya di berbagai partai, akademisi, kampus hingga Demonstran untuk bergerak menyerang bersama sama.
Banyak yg kemudian terkejut ketika sikap anggota DPR di KMP menjadi terbelah dalam pro kontra di Kasus "Papa Minta Saham" ini. Tapi jika dicermati Adian sepertinya juga memiliki jaringan kuat lintas partai di dalam DPR yg tidak terlihat tetapi siap bergerak ketika momentum nya telah datang dan matang.
Kasus Papa Minta Saham berhasil memaksa politisi Partai Golkar ini harus terdongkel dari kursi Ketua DPR RI. Disini kepiawaian politik Adian melawan kekuatan loby dan uang jelas terlihat. ia mampu menciptakan gelombang kesadaran di kalangan anggota DPR RI hingga bereaksi secara keras lewat aksi "Save DPR" yang membangkitkan dukungan masyarakat baik di media sosial maupun dalam bentuk aksi jalanan.
Kini, Fahri Hamzah. Meski pemecatan dari Mahkamah Partai lebih mencerminkan adanya "persoalan internal" di tubuh PKS, namun dalam pertarungannya di DPR, Fahri Hamzah kali ini harus mengakui bahwa langkah-langkah politiknya kalah piawai dengan langkah-langkah politik seorang Adian Napitupulu, yang tidak memiliki posisi berpengaruh di partainya (Bukan bagian DPP PDI Perjuangan) namun mampu membangun dukungan baik di internal maupun di eksternal partainya. Suka tidak suka, kecaman Adian ternyata mendapat sambutan di internal partai PKS yang mungkin memang sudah merasakan langkah avonturir seorang Fahri Hamzah.
Dalam kacamata politik, langkah Adian meski tidak terucap dalam pernyataanya ternyata mampu menggeser fokus dan sorotan politik publik yang tadinya melulu menyerang pemerintahan Presiden Jokowi berhasil dialihkan Adian dengan manuver yg manis beralih menyerang tiga pimpinan DPR. Adian dengan sangat cerdas melindungi Jokowi dengan membuka perang tanding di dalam Colloseum DPR.
Entah disadari atau tidak, entah karena kesadaran atau perintah PDIP, perintah Presiden atau nafsu bertarung Adian tapi nampaknya peran Adian Napitupulu dalam melindungi Presiden tetap dijalankannya baik semasa pilpres maupun setelah pilpres selesai. Adian tetap memposisikan di garda terdepan mengamankan sikap PDIP sebagai partai yg melahirkan Jokowi dan bertekad akan mengamankan Pemerintahan Jokowi.
Lewat karakternya yang memang terkenal ceplas-ceplos dalam berbicara, bahkan track recordnya saat pilpres yang mampu 'menggoda' Prabowo dengan sebutan pengurus kuda yang baik, Adian mampu mengelola langkah politiknya dengan matang. Jauh lebih matang dibanding para pimpinan DPR yg dilawannya.
Diatas kertas dengan posisi di partai masing-masing yang cukup kuat ditambah dengan posisi di DPR RI, harusnya Setya Novanto dan Fahri Hamzah mampu berdiri lebih kuat dan tidak tergoyahkan secara politik. Namun kenyataan justru bicara lain. Karena adian meski PDIP tidak secara terang-terangan memberikan dukungan terhadap langkah-langkahnya, namun sejumlah senior partai moncong putih ini seolah memberikan kesempatan luas kepada adian untuk bertarung sebebas-bebasnya.
Kini setelah ditinggalkan koleganya, Setnov dan berikutnya menyusul Fahri Hamzah, Fadli zon nampaknya harus lebih berhati-hati. Bergabung saja kalah apalagi sekarang Fadli Zon tertinggal sendirian!
Saat ini banyak mata pengamat politik dalam dan luar negeri yg sedang menanti pertarungan Adian berikutnya dalam Colloseum DPR. Ada yg menduga Adian sudah berhenti tapi ada yg menduga Adian sedang mengasah pedang, melatih otot dan merumuskan jurus jurus baru untuk pertarungan berikutnya.
Wassalam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H