[caption caption="https://www.google.co.id/search?q=Politik&es_sm=122&biw=1517&bih=741&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAcQ_AUoAmoVChMIiMbZyfCJyAIVpiymCh2ZvQHU&dpr=0.9#tbm=isch&q=politik+kristen&imgrc=k1kSJy9koLAPqM%3A"][/caption]Menyimak pernyataan yang kurang tepat dari definisi politik itu sendiri dari Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan saat membuka acara Sidang Sinode Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) ke -33 di Bumi Tii Langga Kompleks Perkantoran Baa, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Minggu (20/9/2015). Luhut mengingatkan para pimpinan Gereja tidak boleh ada ambisi politik, Gereja berperan bukan untuk berpolitik, karena Gereja merupakan perpanjangan tangan Tuhan, dan harus membawa persatuan yang lurus dan utuh untuk umatnya sehingga jemaatnya menjadi lentera pembangunan dimana saja di seluruh pelosok Indonesia.
Sebagai tokoh Kristiani yang tertempatkan di Kabinet, pernyataan beliau tidak berbanding lurus dengan apa yang dilakukan Yesus (Isa) dalam memperjuangkan kebenaran dan keilahian dari Allah itu sendiri, Yesus itu berpolitik. Politik dalam arti kehadiran Yesus merupakan proses untuk melawan ketidakadilan yang ada pada jamannya. Apa yang diungkapkan oleh Luhut kurang tepat memaknai politik, yang tepat seharusnya beliau mengatakan Gereja tidak boleh memuarakan suara umatnya kepada kandidat-kandidat Kepala Daerah yang sebentar lagi akan dilakukan Pilkada di bulan Desember ini.
Pandangan Gereja dalam berpolitik sudah jelas, untuk menyelamatkan umat manusia dari belenggu ketidakadilan, bukan menggiring umat kepada salah satu kandidat. Gereja dalam situasi menjelang Pilkada hanya menawarkan kepada umat-umatnya, “ini loh calon pemimpin-pemimpin kita.. Dengarkan suara hati, lihat program kerja yang ditawarkan, lihat jejak rekamnya...”. Karena Gereja merupakan lembaga spritual (Spritual Government) dengan tugas membengkeli umat Tuhan yang menghamba pada keagungan Sang Pencipta. Gereja juga sebagai pembimbing rohani bagi siapapun orang yang akan melakukan politik praktis (menuju kekuasaan). Pesan Gereja dalam proses politik menyuarakan suara kenabian, untuk memperbaharui fase-fase kehidupan bernegara dan bermasyarakat ke arah yang lebih baik. Para pemimpin Gereja wajib berpolitik (in proccess) kepada siapapun untuk melakukan kontrol nilai sosial dan norma dengan menanamkan nilai-nilai Kristianitas yakni adalah kasih dan bersuara pada ketidakadilan.
Setiap kali berhadapan dalam masalah politik, Gereja seakan-akan takut dengan paham tidak boleh berpolitik. Ketakutan yang terbalut dalam keragu-raguan dalam bertindak inilah yang menjadikannya masalah besar. Padahal definisi Gereja tidak boleh berpolitik, sebagai lembaga spritual, tidak boleh mendirikan Partai Politik dan menggiring suara umat kepada Partai/kandidat tertentu. Hanya itu. . .
Politik sendiri bagi saya merupakan ide yang terselebungkan oleh gagasan, menurut teori klasik Aristoteles bertujuan untuk Bonnum Commune (kepentingan bersama), tidak hanya berbicara tentang kekuasaan saja, itu hanya alat saja untuk mengendalikan gagasan.
Apa itu Bonnum Commune (kepentingan bersama). Yakni kebebasan yang tidak sebebas-bebasnya, perbaikan taraf kehidupan, stabilisitas dalam kesejahteraan, dan keadilan yang proporsional. Yang mengendalikan adalah kekuasaan. Yang berkuasa itu perlu dikontrol oleh Gereja (disini Gereja mulai melakukan aktivitas politiknya). Gereja harus mempunyai bargaining power (daya tawar) dengan memberikan efek yang besar.
Gereja merupakan pergerakan yang menghubungkan manusia, Yesus (Isa), dan dunia. Di semua kehidupan, Gereja sudah menjadi sewajarnya masuk dan mengambil bagian. Walaupun Gereja bukan organisasi politik, tapi harus menyadari dulu bahwa Gereja merupakan bagian dari polis (kota, dari kata inilah lahir istilah politik, seni mengelola sebuah kota).
Yeremia 29:7 berkata, “Usahakanlah kesejahteraan kota (polis) ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota (polis) itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Sederhana bukan? Politik adalah lapangan kesaksian gereja. The Scandal of Avangelical Politics (2008), menceritakan bagaimana orang-orang Injili di Zambia merebut kekuasaan politik dan mengantarkan Chiluba sebagai presiden (1991), beliau yang mendeklarasikan negara itu sebagai “Negara Kristen”, tetapi akhirnya ia dipecat sebagai Presiden karena: korupsi!
Alkitab kitapun merekam berbagai cerita bagaimana nabi-nabi muncul dalam panggung sejarah untuk menyuarakan suara Tuhan dan mengkritik para penguasa yang lalim, arogan, korup yang tidak melindungi janda-janda, yatim piatu dan mereka yang lemah. Bukankah Gereja hadir sebagai Wakil Allah yang menggantikan peran para nabi penyuara kebenaran itu?
Dalam konteks ke-Indonesiaan yang Pancasilais ini, Gereja tidak boleh apatis (tidak peduli) lagi, namun amat sangat menyedihkan bila Gereja menjadi “alat politik” dari Partai Politik maupun kandidat-kandidat penguasa ini (Pdt. Roy Charly Sipahutar, M.Th).
Dengan pandangan seperti itu, para pemimpin Gereja harus berani aktif melakukan kontrol sosial dan menanamkan nilai-nilai Kristiani. Ketika Pemerintah korup, para Pemimpin Gereja harus berani mengkoreksi. Di sisi lain, umat Kristiani (bukan pemimpin Gereja) justru harus aktif berkarya di dunia politik (dan di berbagai bidang lainnya) dalam rangka menjadi garam dan terang dunia. Jadi, politisi Kristiani semestinya adalah “misionaris di dunia politik”, bukan sekedar mencari nafkah di dunia politik, apalagi sekedar mengejar kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri.
Lihat tulisan saya sebelumnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H