Mohon tunggu...
Alexander Philiph
Alexander Philiph Mohon Tunggu... Auditor - Buruh Pemerintah RI di BPKP || Founder PeopleTalkPeople || Pengamen & Tukang Potret di Jalanan || Gamer || Penulis Lepas

“Agama bukanlah candu bagi masyarakat, Agama itu pembenaran akan keyakinan yang telah menjadi tradisi dan budaya. Ketika pembenaran itu bertemu dengan pembenaran yang lain, distorsi bisa saja terjadi yang acapkali kaum minoritas menjadi korban dari pembenaran atas keyakinan itu sendiri, yang belum tentu apakah kenyakinan tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. (Alexander Philiph Sitinjak)” -LIA, Lux In Adulescens!! (Cahaya Dalam Anak Muda)-

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Eksekutor Mati 1 Juta Rupiah, Berjuta Beban Moral

13 Maret 2015   14:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:43 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


@alexpsitinjak

“1 Juta Rupiah, berjuta beban moral. Itulah curhatan hati yang dialami para eksekutor, seandainya mereka masih bisa menolak tugas, mereka tidak berhadapan dengan beban moral.”

Di awal tahun 2015 sampai sekarang (13/03), pembicaraan hukuman mati menjadi pembicaraan yang sangat hangat untuk diperdebatkan. Hukuman mati menjadi dilematis bila sistem peradilan tidak dibenahi dengan baik, bagaimana tidak? Mengutip pernyataan Romo Frans Magnis pada Kompas, “Seperti putusan hakim Sarpin yang banyak diragukan, bagaimana pula dengan putusan bahwa seseorang boleh dibunuh? Saya tidak percaya pada sistem yudisial kita. Mungkin boleh buat hukuman penjara, tetapi tidak untuk hukuman mati”.

Persoalan hukuman pembalasan ini sebagai bentuk keadilan dan memberikan efek jera bagi para calon pelaku kejahatan belum mampu ditunjukkan dengan data pendukung yang membuktikan dalil tersebut. Dalam periode 2010 s.d 2015 ada 11 orang yang sudah meregang nyawa, 8 orang karena kasus Narkoba dan  3 orang karena pembunuhan berencana. Padahal jika dibandingkan dengan data yang dirilis tahun 2014 oleh Kapolda Metro Jaya dalam rilis akhir tahun sejumlah sebanyak 48.503 kasus. Tindak kejahatan pidana masih tetap saja ada, permasalahan tersebut letaknya bukan di pelaku tindak kejahatan. Melainkan terletak pada kita sebagai calon pelaku kejahatan, moral yang rendah mengakibatkan mata hati tertutup.

Eksekutor pun hanya menjalankan tugas, mereka mungkin saja tahu hukuman mati belum tentu memberikan efek jera. Mengutip news.com.au tentang kisah para Algojo ini, dikatakan mereka mengingatnya seumur hidup, dalam satu kegiatan eksekusi anggaran untuk satu orang terpidana mati sebesar Rp 200 juta, setiap eksekutor hanya menerima Rp 1 juta. Dalam prakteknya para eksekutor melihat dari dekat selama masih hidup hingga terpidana mati purna bakti dalam kehidupan. Sebagaimana anggota Brimob menerima tugas dari atasan, mereka tidak punya pilihan lain. Mereka terikat oleh sumpah prajurit, aturan hukum, persoalan mereka berdosa atau tidak, itu urusan Tuhan dan para eksekutor.

Dengan hanya menerima Rp 1 juta, berjuta beban moral yang mungkin saja mereka terima. Dalam pelaksanaannya, mereka inilah pengadil yang sesungguhnya. Para eksekutor yang menceritakan pada news.com.au pun berharap mereka tidak secara terus menerus menjadi algojo, mereka pun berharap yang mereka eksekusi dapat beristirahat dengan tenang.

Apa daya aturan hukum di negeri ini masih abu-abu, amandemen kedua UUD 1945, pasal 28 l ayat 1 menyatakan, "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".  Mereka yang mendukung hukuman mati tidak kalah hebatnya berlindung di balik peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti KUHP, UU Narkotika, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Seyogyanya aturan tersebut seharusnya di revisi karena bertentangan dengan UUD 1945 yang digunakan sebagai salah satu pilar bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun