Mohon tunggu...
Alexander Fiandre Readi
Alexander Fiandre Readi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Hospitaliti dan Pariwisata Angkatan 2017

Mahasiswa Penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud, Program Double Degree STP Trisakti - Guilin Tourism University, Program Studi S1 Hospitaliti dan Pariwisata Angkatan 2017

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Di Balik Senyum Manis Seorang Waiter

24 Mei 2021   18:20 Diperbarui: 27 Mei 2021   09:35 1766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelayan restoran oleh LuckyLife11 dari pixabay

Waiter atau Waitress, sebutan untuk pelayan yang melayani kalian di restoran atau cafe, yang seringnya dipanggil Mas atau Mbak.

"Selamat malam Pak/Bu, selamat datang di restoran kami. Apakah Bapak/Ibu sudah melakukan reservasi?"... Dan seterusnya. Sampai makanan disajikan dan kalian pergi dari restoran, kalian akan dilayani oleh seorang waiter yang selalu menyambut dengan senyum terbesarnya.

Waiter yang selalu tersenyum dan bergerak cepat untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya tentunya sangat disukai. Pelanggan yang datang pun pasti merasa senang dan puas dengan perlakuan waiter yang ramah. Namun sebenarnya menjadi waiter memiliki tantangan tersendiri. Senyuman yang terlihat sepele itu menjadi tantangannya.

Senyum. Mudah bukan untuk tersenyum? Apalagi kalau habis dapat THR, pasti senyumnya lebar sekali. Kita sebagai manusia pasti nyaman melihat orang yang tersenyum. Ekspresi senyum melambangkan hati yang senang dan kegembiraan dari orang tersebut.

Tapi bagaimana jika kalian terpaksa tersenyum? Suasana hati sedang buruk buruknya, tapi harus tersenyum. Itulah tantangan yang dihadapi oleh waiter. Bukan hanya waiter saja, namun semua yang bekerja dalam service industry yang mewajibkan interaksi dengan pelanggan.

Pekerja yang berurusan dengan pelanggan harus melayani dengan senyuman, terlihat friendly dan senang. Waiter, pramugari, front office, customer service, teller bank, dan masih banyak lainnya. Mereka semua bekerja di lingkungan yang mewajibkan mereka untuk tersenyum, tak peduli suasana hatinya sedang buruk atau tidak.

Saat saya menonton drama serial Imperfect the Series, ada satu adegan sangat lucu yang menarik perhatian saya. Pada adegan itu salah satu karakter drama bernama Maria berperan sebagai pelayan restoran dan sedang memarahi pelanggannya. Kalian bisa menonton klipnya disini.

Adegan Maria memarahi pelanggan, Imperfect The Series; Sumber: Youtube StarvisionPlus
Adegan Maria memarahi pelanggan, Imperfect The Series; Sumber: Youtube StarvisionPlus
"Itu makanan dihabiskan! Kau tak tahu apa di luar sana masih banyak orang yang butuh makan? Gak bisa bersyukur orang ini."

"Sedot! Sedot terus minuman itu, dari awal restoran buka sampai sekarang cuma pesan es teh manis!"

Adegan itu sangat menggambarkan kekesalan waiter pada pelanggan yang agak rese. Andaikan waiter bisa melampiaskan kekesalannya pada pelanggan, tapi nanti reputasi hancur dan biasanya sih pelanggannya yang lebih galak...

Kalau pelanggan makan berantakan sampai berserakan di lantai, sampah dimana-mana, beli air putih saja lalu nongkrong berjam-jam, hiasan meja dirusak, atau yang terparah sampai muntah di meja atau kursi dan membuat kekacauan, ya hanya bisa elus-elus dada. Sambil bersih-bersih.

Salah satu meja yang sangat berantakan saat saya bekerja menjadi waiter, Dokumentasi Pribadi Alexander F
Salah satu meja yang sangat berantakan saat saya bekerja menjadi waiter, Dokumentasi Pribadi Alexander F
Di drama memang bisa melampiaskan sampai teriak-teriak, tapi di dunia nyata kan tidak. Mau sekesal apapun harus melayani dengan sepenuh hati. Kekesalan dipendam saja di dalam hati. Fenomena ini pada akhirnya banyak diteliti dan menemukan istilah "Emotional Labor".

Istilah ini pertama digunakan oleh Hochschild pada penelitiannya di tahun 1979. Emotional Labor atau Pekerjaan Emosional adalah pekerjaan yang memaksa pekerjanya untuk mengatur emosi sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Seperti waiter dan kawan-kawannya, ekspektasi pelanggan pada mereka adalah untuk bersikap ramah, sehingga pekerjaan mereka bukan hanya menguras tenaga secara fisik, namun juga dapat menguras emosi.

Karena saya pernah menjadi waiter, saya juga merasakan hal itu. Terkadang emosi positif yang diperlihatkan itu palsu. Hal ini disebut juga "surface acting". Waiter dalam bekerja juga bisa menjadi aktor. Surface acting terjadi jika waiter memalsukan emosi dan perasaannya, berakting seakan-akan dia merasa senang melayani pelanggan. Saat selesai bekerja, perasaan itu sudah tidak ada lagi.

Akting yang merupakan bagian dari Emotional Labor inilah yang dapat menyebabkan stres dan kelelahan emosional pada waiter karena harus memendam perasaan yang sebenarnya. Sudah lelah secara fisik, emosi terkuras juga. Gaji juga tidak seberapa. Pekerjaan di bidang service memang sedikit ekstrim.

Sekarang tahu kan sulitnya pekerjaan yang kelihatan sepele dan suka dipandang rendah itu? Terlihat sempurna saat melayani kalian. Tapi siapa tahu dia diam-diam kesal karena kamu.

Sebagai pelanggan yang baik, hargailah mereka yang suka dianggap remeh itu. Apa sulitnya kita juga ikut tersenyum dan berperilaku baik saat dilayani oleh para waiter? Lagipula kita sama-sama manusia biasa. Jika sama-sama senang, maka beban emosional waiter juga berkurang, dan mungkin dia akan melayani kalian dengan lebih baik.

Salam.

Referensi: Kim, Hyun Jeong. 2008. Hotel Service Providers' Emotional Labor: The Antecedents and Effects on Burnout. International Journal of Hospitality Management, 27, 151-161.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun