Mohon tunggu...
Alexander Fiandre Readi
Alexander Fiandre Readi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Hospitaliti dan Pariwisata Angkatan 2017

Mahasiswa Penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud, Program Double Degree STP Trisakti - Guilin Tourism University, Program Studi S1 Hospitaliti dan Pariwisata Angkatan 2017

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Di Balik Senyum Manis Seorang Waiter

24 Mei 2021   18:20 Diperbarui: 27 Mei 2021   09:35 1766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau pelanggan makan berantakan sampai berserakan di lantai, sampah dimana-mana, beli air putih saja lalu nongkrong berjam-jam, hiasan meja dirusak, atau yang terparah sampai muntah di meja atau kursi dan membuat kekacauan, ya hanya bisa elus-elus dada. Sambil bersih-bersih.

Salah satu meja yang sangat berantakan saat saya bekerja menjadi waiter, Dokumentasi Pribadi Alexander F
Salah satu meja yang sangat berantakan saat saya bekerja menjadi waiter, Dokumentasi Pribadi Alexander F
Di drama memang bisa melampiaskan sampai teriak-teriak, tapi di dunia nyata kan tidak. Mau sekesal apapun harus melayani dengan sepenuh hati. Kekesalan dipendam saja di dalam hati. Fenomena ini pada akhirnya banyak diteliti dan menemukan istilah "Emotional Labor".

Istilah ini pertama digunakan oleh Hochschild pada penelitiannya di tahun 1979. Emotional Labor atau Pekerjaan Emosional adalah pekerjaan yang memaksa pekerjanya untuk mengatur emosi sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Seperti waiter dan kawan-kawannya, ekspektasi pelanggan pada mereka adalah untuk bersikap ramah, sehingga pekerjaan mereka bukan hanya menguras tenaga secara fisik, namun juga dapat menguras emosi.

Karena saya pernah menjadi waiter, saya juga merasakan hal itu. Terkadang emosi positif yang diperlihatkan itu palsu. Hal ini disebut juga "surface acting". Waiter dalam bekerja juga bisa menjadi aktor. Surface acting terjadi jika waiter memalsukan emosi dan perasaannya, berakting seakan-akan dia merasa senang melayani pelanggan. Saat selesai bekerja, perasaan itu sudah tidak ada lagi.

Akting yang merupakan bagian dari Emotional Labor inilah yang dapat menyebabkan stres dan kelelahan emosional pada waiter karena harus memendam perasaan yang sebenarnya. Sudah lelah secara fisik, emosi terkuras juga. Gaji juga tidak seberapa. Pekerjaan di bidang service memang sedikit ekstrim.

Sekarang tahu kan sulitnya pekerjaan yang kelihatan sepele dan suka dipandang rendah itu? Terlihat sempurna saat melayani kalian. Tapi siapa tahu dia diam-diam kesal karena kamu.

Sebagai pelanggan yang baik, hargailah mereka yang suka dianggap remeh itu. Apa sulitnya kita juga ikut tersenyum dan berperilaku baik saat dilayani oleh para waiter? Lagipula kita sama-sama manusia biasa. Jika sama-sama senang, maka beban emosional waiter juga berkurang, dan mungkin dia akan melayani kalian dengan lebih baik.

Salam.

Referensi: Kim, Hyun Jeong. 2008. Hotel Service Providers' Emotional Labor: The Antecedents and Effects on Burnout. International Journal of Hospitality Management, 27, 151-161.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun