Dalam era digital yang terus berkembang, perdagangan telah menemukan rumah barunya di media sosial. Fenomena ini, dikenal sebagai "social commerce," telah mengubah cara perusahaan berinteraksi dengan pelanggan dan menjual produk mereka.
Berbeda dengan e-commerce yang kita ketahui, menggunakan website atau aplikasi yang berfungsi khusu untuk transaksi jual-beli. Nah, social commerce ini merujuk pada transaksi jual-beli yang dilakukan secara langsung melalui platform media sosial.
Bayangkan saja, kita bisa berkreasi dengan konten, berinteraksi, berkirim pesan, berjualan, berbelanja hingga bertransaksi secara aman (mang ea?) melalui satu platform yang sama. Nah, barusan itulah yang dikatakan sebgai social commerce dan sudah barang pasti, di antara sekian banyak social commerce yang tersedia saat ini, TikTok adalah sebuah nama yang paling 'terkenal' dan jadi juara.
Bahkan tak cuma mendominasi teluk pasar social commerce, melainkan menjadi merek yang paling diandalkan atas tren belanja melalui media sosial yang naik (bukan angkot) daun belakangan ini. Fitur tersebut menjadi pembeda antara TikTok dibandingkan media sosial popular yang lainnya.
Ide menggabungkan media sosial dengan e-commerce merupakan sesuatu yang cukup usang. Jauh sebelum ini terjadi, Meta sudah memperkenalkan social commerce terlebih dahulu kepada pengguna melalui fitur-fitur yang diluncurkan di platform besar miliknya, seperti Instagram shop, live shopping atau Facebook Catalogue.
Tapi, focus yang spesifik terhadap merek-merek mewah dan market negara maju telah membuat fitur-fitur tersebut lambat dalam berkembang. Lantas tak dibenahi, Meta jusru mengumumkan bahwa mereka berencana untuk secara drastis mengurangi fitur 'belanja' di platform besar mereka dan lebih memilih untuk focus dalam bisnis short video-nya Â
Suatu hal yang akan disesali di masa depan. Namun salah satu platform ini beda. Paska peluncurannya berbagi video pendek yang sangat digemari (aku juga sih hehehe) pengguna dan bikin candu banget, TikTok segera atau mungkin sudah memasukkan Social Commerce sebagai bagian integral ke dalam strategi bisnisnya.
Dalam waktu sekejap (udah seperti magic ae), TikTok memperkenalkan berbagai alat untuk membanti bisnis agar dapat berjualan di dalam platformnya. Tautan (bukan autan) produk, kolaborasi serta live streaming menjadi tiga hal yang diandalkan dari TikTok shop. Belum ditambah TikTok Affiliate yang sangat menggoda para 'content creator'.
Melalui rangkaian bisnis yang terus berkembang, TikTok melaporkan, bahwa 61% penggunanya telah terlibat dalam perlaku e-commerce, sedangkan 56% pengguna sudah menggunakan TikTok untuk menemukan produk atau merek baru.
Ada pepatah berkata "semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin berhembus. Â