Bhinneka Tunggal Ika
"Peran agama sesungguhnya membuat orang sadar akan fakta bahwa dirinya bagian dari umat manusia dan alam semesta."
- Gus Dur
Saya tentu berbeda dengan anda. Anda tentu berbeda dengan tetangga anda. Perbedaan bisa muncul dalam bentuk latar belakang sosial, ekonomi, budaya, hingga keyakinan yang kita anut. Setiap individu memiliki perjalanan hidup yang unik, dan tak mungkin ada dua orang yang memiliki pengalaman yang sepenuhnya sama. Namun, meskipun kita berbeda dalam banyak hal, satu hal yang menyatukan kita adalah kenyataan bahwa kita semua adalah ciptaan-Nya. Terlepas dari perbedaan yang ada, baik itu dalam budaya, agama, atau pandangan hidup, kita tetap satu sebagai warga negara Indonesia, dan warga dunia, yang penuh kebergaman.Â
Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, tentu tidak asing dengan keberagaman. Berdasarkan hasil sensus penduduk Republik Indonesia tahun 2010 (Badan Pusat Statistik, 2012:9), Indonesia adalah rumah bagi setidaknya 31 suku dengan kebudayaanya masing-masing, serta mencangkup 6 agama besar dengan kepercayaan dan tata caranya sendiri. Keberagaman ini juga tercermin dalam berbagai aspek kebudayaan, mulai dari bahasa, adat istiadat, seni, hingga tradisi yang ada di setiap daerah.Â
Secara historis, wilayah Nusantara telah lama menjadi tempat pertemuan berbagai peradaban dengan latar belakang kepercayaan yang berbeda, seperti Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha, Kerajaan Sriwijaya yang memeluk agama Buddha, hingga Kesultanan Samudera Pasai yang menganut agama Islam. Keberagaman budaya ini bukan hanya menjadi cerminan identitas bangsa, tetapi seharusnya juga menjadi kebanggaan yang memperkaya khasanah budaya Indonesia. Keberagaman yang ada di Indonesia bukanlah penghalang, melainkan sebuah kekuatan yang menjadikan negara ini unik dan penuh warna.
Penghambat Empati dan Toleransi
Sering kali kita hanya berinteraksi dengan lingkungan yang sama dari hari ke hari. Lingkungan tersebut biasanya juga terdiri dari orang-orang yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang serupa dengan kita. Oleh karena itu, prespektif kita hanya sebatas gelembung sosial yang sudah lama tidak berkembang dengan drastis, walaupun masih banyak yang di luar gelembung tersebut.
Saya menyadari bahwa saya pun sering kali terjebak dalam gelembung sosial saya sendiri, interaksi saya terbatas pada lingkungan terdekat. Hal ini, pada kenyataannya, bukanlah hal yang jarang terjadi bagi banyak orang. Banyak dari kita cenderung merasa nyaman dengan lingkungan sosial yang sudah akrab, baik itu keluarga, teman-teman dekat, ataupun komunitas yang memiliki pandangan dan nilai-nilai yang serupa dengan kita. Kenyamanan inilah yang membuat kita enggan untuk keluar dari zona tersebut, meskipun kadang kita sadar bahwa dunia di luar sana jauh lebih luas dan beragam.Â
Gelembung sosial yang kita ciptakan seringkali membuat kita enggan untuk berinteraksi dengan orang-orang di luar gelembung kita. Kita merasa lebih nyaman dengan mereka yang memiliki kesamaan nilai, pandangan, atau pengalaman hidup. Namun, pepatah "tak kenal maka tak sayang" mengingatkan kita bahwa tanpa membuka diri untuk berinteraksi dengan orang lain, kita tidak akan pernah benar-benar mengenal mereka. Padahal, proses mengenal orang lain adalah langkah pertama dalam membangun empati. Tanpa empati, akan sulit bagi kita untuk memahami perspektif atau perasaan orang yang berbeda dengan kita. Di sisi lain, empati adalah fondasi utama bagi terciptanya toleransi antara berbagai golongan, baik itu berdasarkan agama, budaya, maupun latar belakang lainnya. Dengan empati, kita belajar untuk saling menghargai perbedaan, dan dari sana, toleransi dapat tumbuh dan memperkuat ikatan kita sebagai sesama manusia.
 Pecahnya Gelembung
Lebih dari dua minggu yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan di Pesantren Daarul 'Uluum Lido selama tiga hari. Selama waktu itu, saya terlepas dari rutinitas sehari-hari di Kolese Kanisius dan memasuki lingkungan yang sangat berbeda dari yang biasa saya kenal. Di sana, saya belajar banyak tentang agama, budaya, dan kebiasaan yang awalnya terasa asing bagi saya. Namun, pengalaman tersebut bukan merupakan pengalaman negatif, justru sebaliknya. Gelembung sosial saya pecah dan membuat mata saya terbuka untuk melihat keberagaman Indonesia secara langsung.
Sambutan oleh pihak Pesantren Daarul 'Uluum Lido sampai saat ini masih terukir dalam ingatan saya hingga kini. Sambutan mereka meriah dengan musik, tetapi musik yang mengiringi jauh dari yang biasa saya dengar. Alat musik perkusi dengan berbagai ukuran dimainkan dengan cara tertentu sehingga menghasilkan irama yang harmonis dan memesona. Pengalaman tersebut, meskipun sederhana, memberikan saya pencerahan bahwa musik tidak hanya bisa dimainkan dengan satu cara. Ternyata, ada banyak cara untuk mengekspresikan diri melalui suara.
Pengalaman tersebut berserta dengan pengalaman-pengalaman lain yang saya alami di sana membekali saya untuk lebih siap menghadapi dunia yang semakin terpolarisasi. Selebihnya, pengalaman-pengalaman tersebut menyadarkan saya bahwa bila Tuhan tidak menghendaki tidak adanya perbedaan maka tidak akan ada perbedaan di antara kita. Namun, kenyataan tidak mencerminkan hal tersebut. Perbedaan yang ada di dunia ini seperti bermain musik, bila hanya ada satu nada maka tidak akan pernah terciptakan suatu harmoni indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H