Perkembangan teknologi sejatinya bertujuan untuk memberikan manusia lebih banyak waktu untuk mengeksplorasi bidang-bidang lain, seperti seni atau olahraga, melalui mengurangi beban yang harus dipikul hanya untuk hidup. Revolusi industri melalui perkembangan teknologi dan otomasi, terlepas dari dampaknya terhadap ekonomi, selalu memungkinkan manusia untuk lebih fokus pada hal-hal kreatif melalui terciptanya waktu luang. Namun, dalam konteks revolusi audio visual situasinya tampak berbeda. Pada revolusi ini, daripada manusia yang memperoleh ruang untuk berkarya, sering kali AI yang justru mendapatkan kesempatan untuk menciptakan seni, sementara manusia terperangkap dalam rutinitas kerja untuk sekadar bertahan hidup.
Memberikan ayam sebagai pakan bagi ayam ternak merupakan pelanggaran hukum Allah. Kanibalisme yang terjadi dapat menimbulkan dampak serius seperti degradasi genetik dan potensi munculnya subtipe avian influenza baru. Hal serupa akan terjadi pada AI. AI yang bisa menciptakan gambar dan video pada aslinya tidak menciptakan, tetapi memodifikasi dari yang sudah ada. Di lain sisi, banyak karya audio visual sekarang merupakan hasil dari AI. Tentu suatu tiruan tidak dapat menyaingi yang asli dan bila dilakukan berkali-kali hasilnya akan hancur lebur.
Situasi yang terjadi sekarang sudah menyimpang dari yang awalnya direncanakan. Otomasi yang pada awalnya ditujukan untuk meluangkan waktu manusia malah menjadi pembuat seni. Manusia menjadi hanya sekedar donatur bagi AI tanpa bisa lebih memanfaatkan keleluasaan waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H