Kesal dan jenuh karena tidak menemukan apa yang mereka inginkan, akhirnya ke empat sekawan ini memutuskan untuk berpergian ke sebuah desa di Jawa Barat bernama Angkerbatu yang kabarnya banyak terjadi kasus kerasukan disana. Setibanya disana, mereka mendapatkan sebuah kuburan tanpa nama di tengah hutan desa tersebut.Â
Kuburan tersebut sangatlah misterius karena penempatan nya yang seperti diasingkan dari kuburan yang lainya. Setelah tiga hari tanpa berbuah hasil, ke empat sekawan ini memutuskan untuk pulang ke Jakarta pada hari ke empat.Â
Semalam sebelum hari kepulangan, salah satu dari empat sekawan ini yaitu Soni memutuskan untuk melakukan ritual Jelangkung di kuburan misterius tersebut. Mengetahui perbuatan tidak terpuji yang dilakukan oleh Soni, teman-teman lainnya  memaksa Soni untuk menghentikan ulahnya tersebut.Â
Kesal tidak mendapat hasil yang diinginkan, Soni akhirnya menancapkan boneka Jelangkung ke dalam kuburan misterius tersebut dan meninggalkan teman-temannya. Akibat dari tindakan yang tidak terpuji ini, satu persatu dari mereka mulai mengalami peristiwa aneh nan mengerikan dan diteror oleh hantu yang bergentayangan di sana dan tanpa mereka sadari rencana mereka untuk pergi dari desa Angkerbatu ternyata tidak semudah itu (Andara, 2022)
Peran film Jelangkung (2001) dalam perfilman Indonesia tidak hanya semata demi menjadi sebuah film horror yang mengerikan atau sebuah film horror yang berhasil mengusung tema "urban legend". namun film keluaran 5 Oktober 2001 ini berhasil melakukan perubahan besar bagi perfilman Indonesia, terutama bagi film dengan genre horror.
Produksi film horror di Indonesia mengalami masa kejayaan nya pada tahun 1970-an, yang mana kebanyakan film horror pada masa itu, selalu mengusung tema folklore lokal atau mengambil kisah-kisah yang berasal dari tanah Jawa. Seperti film Lisa (1971) atau Beranak dalam Kubur (1971) yang menggunakan hantu-hantu khas Indonesia seperti Kuntilanak maupun Sundel Bolong ( Kusumaryati dalam Permana, 2014, h.562). Setelah dekade 1970-an, tren pembuatan film horror di Indonesia mengalami penururan yang cukup drastis.
Pada dekade 1980-an, tercatat hanya ada 78 judul film horror yang diproduksi oleh perfilman Indonesia. Tidak berhenti disitu, pada dekade 1990-an, penurunan tersebut malah makin parah, yaitu hanya ada 35 judul film horror yang diproduksi oleh perfilman Indonesia (Kusumaryati dalam Permana, 2014, h.562). Hingga akhirnya, setelah mengalami penurunan drastis, film horror Indonesia memasuki periode baru yaitu periode pasca reformasi, yang mana jejak awal periode ini diawali oleh film Jelangkung (2001).Â
Sebagai film horror yang terpandang bagi masyarakat Indonesia setelah perfilman Indonesia terkhusus film horror mengalami penurunan drastis, Jelangkung (2001) tentu memiliki prestasinya sendiri. Di kawasan Jabodetabek, pada bulan Oktober 2001 hingga Januari 2002, film ini berhasil meraup sebanyak 784.003 penonton dan sekitar satu juta lebih penonton apabila ditambahkan dengan penonton di luar kawasan Jabodetabek (Permana, 2014, h. 563).Â
Tidak hanya itu, pada Festival Film Bandung di tahun 2002, film Jelangkung (2001) berhasil memenangkan penghargaan dalam kategori Efek Khusus Terpuji  (Permana, 2014, h. 563).Â
Film Jelangkung (2001) berhasil menjadi titik balik film horror Indonesia dan menghidupkan kembali semangat tren film Horor Indonesia yang telah lama mati suri. Film Jelangkung (2001) digadang-gadang sebagai tonggak tren film horror remaja di Indonesia (Ichsan, 2013). Serta menjadi tapak awal bagi film horror Indonesia di tahun 2000-an.Â
Akibat dari suksesnya film Jelangkung (2001) ini, dalam periode 2001 - 2007 dominasi film horror dalam produksi film di Indonesia kembali muncul. Sebanyak 40% film yang diproduksi dari perfilman Indonesia pada rentang waktu tersebut ialah film horror (Kusumaryati dalam Permana, 2014, h.561)Â