Mohon tunggu...
Alexa Chan
Alexa Chan Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Designer, Konsultan Pajak/Keuangan

Liar..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Giliran "The New York Times" Ikutan “Ngomporin” Ahok

7 Juni 2016   11:30 Diperbarui: 7 Juni 2016   22:45 3724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para pendukung Ahok pasti bangga dong ya, junjunganya dimuat oleh harian The New York Times (NYT), salah satu harian terbesar di Amerika Serikat. Sepak terjang Sang Gubernur ini diulas pada halaman A10, yang terbit pada 5 Juni 2016, dan diberi judul Independent Run by Jakarta Governor Up ends Indonesia’s Party PoliticsArtikel ini kemudian dilansir ulang oleh beberapa media daring di Indonesia sebagai berita dan sebagian besar memberi judul kurang lebih sama, “Ahok Guncang Sistem Perpolitikan Indonesia “.

Veris cetak pada harian NYT ini sebenarnya sempat dimuat melalui situs nytimes.com sehari sebelumnya, 4 Juni 2016, oleh Joe Cochrane, Indonesia correspondent, International New York Times, yang diberi judul “Governor of Jakarta Bucks Indonesia’s Party Politics

Sebagian artikel udah diterjemahin dan diberitakan beberapa media daring Indonesia, baik secara garis besarnya maupun disajikan cukup detail. Namun secara substansi, beritanya sama dengan artikel aslinya dan mudah dicerna oleh para pembaca. Jadi nggak perlu repot membaca dari sumber aslinya.

Tanpa bermaksud mengulas kembali, khususnya menyoroti judul artikel, dalam memahami kontennya, bagi Lexa sebenarnya apa yang diulas oleh NYT tersebut merupakan artikel dari sebuah opini sang koresponden, dalam hal ini Joe Cochrane. Kalaupun kemudian menjadi berita melalui media daring di Indonesia, dapat dipahami karena memberitakan apa yang dimuat oleh NYT.

Jika kemudian artikel ini menjadi kebanggaan bagi pendukung atau simpatisan Ahok, Lexa rasa wajar aja lah, lagian jarang ada tokoh Indonesia yang secara khusus diulas oleh koran yang berkelas dunia itu, walaupun di halaman A-10. Jadi nggak usah dipersoalkan, yang penting memahami substansi dari artikel tersebut.

Kalo Lexa sendiri cukup suka dengan ulasannya secara keseluruhan, namun bukan karena sosok yang diulas lho, eh tapi juga bukan karena nggak suka ama orangnya. Suka kok, cakep lagi, apalagi ngeliat beliau kadang dalam keadaan galau, terlebih jelang pendaftaran Pilkada DKI 2017, tambah gemes lagi. Jadi boleh dong kalo melihatnya dari sisi lain. Halah malah ngelantur....

Jadi, jika dibaca secara keseluruhan artikel tersebut, selain meyampaikan informasi kepada dunia, khususnya bagi warga Amerika, yang mudah-mudahan pada ngebaca walau kemudian dicuekin. Lexa rasa, artikel tersebut  layak untuk menjadi perhatian berbagai kalangan di Indonesia bahkan mungkin dunia, karena menyajikan informasi tentang wajah baru Indonesia yang mengalami transformasi politik dari masa Orde Baru, Reformasi kemudian menuju negara demokrasi seutuhnya, yang tentu saja mengalami pasang-surut dan banyak tantangan namun menjanjikan untuk menuju pada perubahan yang lebih baik. Walaupun dari sisi judulnya dan isinya agak “menyentil” berbagai pihak, dan karena berita internasional, tentu akan mendapat respons menurut pemahaman pihak-pihak yang terkait.

Entah apakah sebuah artikel harus memenuhi Journalistic objectivity atau cover both side, bukan urusan Lexa, karena yang lebih paham hanya para pakar atau pengamat jurnalis. Namun, menurut kacamata Lexa yang tambah minus kalo bacain berita tentang Ahok, apa yang diulas oleh Cochrane, rada-rada tendensius walau nggak terlalu berlebihan, di mana ia menempatkan Ahok sebagai sosok yang notabene berasal dari kelompok minoritas tetapi berani mengambil sikap untuk melawan arus untuk menghadapi partai-partai politik yang ada. Terkhususnya menyoroti posisinya secara langsung ketika berhadapan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang katanya masih membuka peluang untuk dirinya (menurut para tokoh-tokoh partai PDIP lho nih).

Bahasa kasarnya nih, kalo diartikan seenak udelnya Lexa dengan gunain kacamata kuda minus, mulai dari judul hingga isi artikel tersebut, selain secara nggak langsung memuji sepak terjang Ahok, Lexa merasa seolah-olah artkel Cochrane tersebut memberikan nuansa lain bagi pembacanya, yang dalam pemahan Lexa seperti  “ngomporin” Ahok apakah masih konsisten dengan sikap dan pilihannya saat ini, dan di sisi lain menyoroti para elite politik partai untuk mengevaluasi  keberadaan mereka selama ini, yang tentu saja perlu membenahi diri agar menjadi lebih baik di mata rakyat. Namun dalam pilihan praktis jangka pendek boleh saja untuk tetap keukeuh memberikan perlawanan terhadap Ahok atau generasi muda Indonesia yang sering mengritisi kinereja mereka di parlemen dan menginginkan perubahan yang signifikan dan lebih nyata dalam tubuh partai dan elitenya agar benar-benar bersih dari KKN, berpihak dan bekerja sepenuhnya untuk kepentingan rakyat bukan golongan atau memperjuangkan kepetingan partai saja. Kenyataan ini jelas, terlihat akrobatik para elite yang dipertontonkan oleh media memang banyak mendapat kritikan dari warga masyarakat.

Sedangkan untuk Ahok sendiri,  artikel tersebut bila dipahami, menurut Lexa lagi, memberikan  tantangan tersendiri kepadanya untuk bersikap tegas. Walau mengaku berteman baik dengan para elite politik dan pimpinan partai, keberadaannya sebagai politikus non partai (political outsider) yang kemudian menjadi simbol perlawanan bagi sistem politik di Indonesia, secara langsung akan berhadapan atau boleh saja diartikan “menantang” para elite politik partai khususnya menjelang Pilkada DKI 2017 nanti dengan kesadaran bahwa konsekuensi yang harus dihadapi adalah  mendapat "serangan" melalui berbagai cara dari kubu yang berlawanan dengannya.

Apalagi menurut Cochrane bahwa sebagian besar dari 10 partai yang memiliki kursi di parlemen dan duduk di kabinet, dijalankan atau dikendalikan oleh dinasti politik, mantan jenderal angkatan darat atau taipan bisnis yang membiayai mereka. Hal ini memberikan kesan yang kurang baik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Benarkah demikian? Selain kelompok yang disebutkan Cochrane, penyelenggara negara, dihadapkan pada "kecurigaan" bahwa berjalannya pemerintaahn tidak semulus yang diharapkan. Begitu pula kepada Ahok, kecurigaan yang sama pun sudah mulai diperbincangkan, oleh karena itu ia  harus berusaha "mencitrakan” dirinya sebagai sosok yang bersih, taat konstitusi, dan berpihak pada rakyat bukan untuk dan dipengaruhi oleh berbagai golongan yang dimaksud oleh Cochrane tersebut,  walau lawan-lawanya masih ada yang berpikir sebaliknya.

Entah ulasan Cochrane ini nantinya akan direspons secara agresif oleh para politisi namun yang pasti akan mendapat dukungan dari para pendukung Ahok. Apalagi ditambah dengan kutipan pernyataan Charlotte Setijadi, seorang peneliti program studi Indonesia pada Institut Studi Asia Tenggara-Yusof Ishak di Singapura, yang mengatakan bahwa pada dasarnya, Ahok telah memosisikan dirinya sebagai alternatif dari sistem politik nasional yang dianggap memuakan bagi kebanyakan orang di Jakarta. Inilah bargaining position yang dapat digunakan Ahok, mewujudkan impiannya itu atau malah justru sebaliknya mengikuti arus untuk megambil sikap  pada saat akhir untuk memilih “kendaraan” yang mana yang akan digunakan menuju pemilu DKI 2017 nanti.

Terlebih lagi menurut Cochrane, para analis mengatakan  bahwa rupanya Ahok nggak ingin bernasib yang sama seperti Joko Widodo, meskipun presiden, beliau hanya sebagai “petugas partai”, yang terkadang mendapatkan kesulitan dari partai pendukungnya sendiri dalam membuat atau mengambil kebijakan politik. Dengan demikian, untuk menuju Pilkada DKI 2017, Ahok menolak tawaran untuk berjalan di bawah payung PDI-P. Ini “pukulan” menohok bagi PDI-P sekaligus menguji sikap Ahok, apakah demkian adanya? Ini “Ngomporin” kan? hehehe....

Bertolak dari ulasan Cochrane, menurut Lexa, Ahok sendiri masih berada di posisi “abu-abu”, oleh karenanya masih akan diusik oleh berbagai pihak, khususnya dari elite politik yang merupakan representatif dari partai politik,  dimana media juga berperan penting  dalam menggiring opini publik.

Yang pasti, setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang, menjadi tantangan serius bagi calon kepada daerah yang memilih jalur perseorangan nantinya, jadi bukan saja untuk Ahok walau mungkin Ahok sebagai salah satu pemicunya. Karena menurut Ahok sendiri, ia yakin para pendukungnya (termasuk relawan dan Teman Ahok) akan sedikit repot saat verifikasi faktual. Jadi kesannya memang masih “gamang” untuk mengambil keputusan final, sementara Jokowi sebagai presiden, walau nggak terang-terangan, masih menginginkan Ahok melanjutkan pekerjaan rumah mereka bersama untuk membangun Jakarta yang lebih baik. Jadi rasa-rasanya, posisi Ahok seperti dibawah tekanan untuk dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan final. Oleh karenanya, dapat dimaklumi pula ketika pernyataan-pernyataan Ahok kadang memperlihatan keraguannya dalam menentukan sikap.

Sebenarnya jika memang harus meninggalkan “Teman Ahok” karena memimpin Jakarta bukan hanya memuaskan satu golongan saja, termasuk para anak muda yang berkelompok menjadi relawan atau simpatisanya, bila harus memutuskan kendaraan lain, janganlah ragu, walaupun memang akan menghadapi resiko tersendiri. Lagian, seperti artikel Lexa beberapa hari lalu, Lexa sempat mengambil kutipan dari politikus dan diplomat Amerika, Adlai E. Stevenson II, yang menyatakan bahwa “that the hardest thing about any political campaign is how to win without proving that you are unworthy of winning”. Hal yang paling sulit tentang kampanye politik adalah bagaimana caranya untuk menang tanpa membuktikan bahwa Anda layak untuk menang, atau membuktikan musuh Anda tak layak untuk menang. Jadi, caranya tidak harus melalui Teman Ahok saja sebagai  pilihan terbaik walau nantinya mengecewakan mereka dan diejek sekalipun seolah “menjilat ludahnya sendiri”, namun namanya juga politik, dinamis kan? Bila mereka diberikan pemahaman yang benar, pasti adalah yang mengerti.

Namun, bila Ahok tetap konsisten dengan keputusannya untuk mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur bersama Heru sebagai calon wakil gubernur melalu jalur perseorangan (independen), kemungkinan upaya penjegalan, dipersulit maupun diusik dengan segala cara, bisa saja terjadi. Sekalipun masyarakat turut mengawal prosesnya, pada kenyataannya akan sulit untuk berbuat banyak bila terjadi penyimpangan dalalam proses menuju pilkada DKI 2017. Sehingga dengan demikian, Ahok harus “legowo” menerima kemungkinan terjelek termasuk terpaksa kandas di tengah jalan.

Di lain pihak, bisa saja kenyataannya berbicara lain, bila dengan persiapan yang matang dalam mengawal proses verifikasi faktual terhadap kelengkapan administrasi para pendukungannya, dapat saja pasangan calon persorangan dalam prosesnya dapat berjalan dengan mulus. Dan juga penting, setidaknya segala tuduhan terhadap Ahok dapat segera dibuktikan agar dirinya serta calon pasanganya tidak memikul beban berat  yang secara langsung berpengaruh pada opini publik nantinya disaat verifikasi maupun pada saat menentukan pilihan mereka nanti di pemilu DKI 2017. Sepatutnya nih Koh Ahok, kalo memang anda sudah menjatuhkan pilihan melalui jalur perseorangan, Anda nggak perlu lagi mengeluarkan pendapat yang seolah-olah masih bimbang, ragu nan galau. Karena selain pendukung yang telah mengumpulkan dukungannya melalui KTP mereka, masih memungkinkan adanya silent voters, bahkan dinamika massa mengambang termasuk 32,78 persen warga yang nggak menggunakan hak suaranya pada pilkada Jakarta 2012 akan berpeluang untuk memilih anda, Ahok. Bisa saja kan? Walau Lexa bukan peramal. Who Knows?

Sekali lagi, kalo semuanya berjalan dengan mulus dan membuahkan hasil kemenangan, akan tetapi perlu diingat, bersedia atau nggak, suka ataupun nggak, Ahok harus memperbaiki caranya  berkomunikasi dengan parlemen dan tentu saja kepada publik juga, tanpa perlu meninggalkan jati dirinya yang dinilai banyak kalangan “bersih”. Karena walaupun masyarakat mengisyaratkan bahwa mereka telah muak terhadap kinereja dan tingkah polah anggota parlemen. Secara konstitusi, Ahok nggak akan mungkin dapat berjalan sendiri dalam memimpin Jakarta. Jika dipaksakan maka akan menjadi persoalan yang sama secara berulang-ulang, bahkan mungkin lebih berat, yang pada akhirnya berdampak pada percepatan dan proses pembangunan Jakarta di segala bidang  yang ujungnya merugikan rakyat Jakarta sendiri. Lexa pikir para pendukungnya sudah dewasa untuk melihat kenyataan ini. Apalagi Ahok!

Nah, kemudian bila keputusan yang diambil Ahok tanpa beban, seperti yang diutarakanya bahwa ia merasa “nothing to lose” menghadapi pertarungan untuk memperebutkan kursi DKI 1 dan menyerahkan sepenuhnya kepada warga Jakarta untuk memilih gubernur terbaik. Maka jalani aja sisa kepeimpinannya, melalui kinerja yang baik, menuntaskan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal bagi kesejahteraan masyarakat Jakarta dan meletakkan fondasi yang baik bagi gubernur yang baru nantinya, toh bila bisa menempatkan posisi secara baik dapat membatu jakarta dengan berbagai cara termasuk Gubernur yang baru, untuk melanjutkan program yang sudah dirntis bersama pak Jokowi bersama dirinya sendiri. Petarungan pada akhirnya akan melahirkan pemimpin yang sesuai dan baik untuk Jakarta, sehingga seharusnya optimis dong!

Terlepas dari apa yang menjadi pandangan Cochrane melalui artikelnya, The New York Times yang diterbitkan di New York City sejak 18 September 1851 oleh The New York Times Company dan telah memenangkan 117 Hadiah Pulitzer, juga nggak terlepas dari berbagai isu mulai dari Coverage issues hingga Ethics incidents yang di dalamnya terdapat masalah propaganda, keberpihakan khususnya untuk masalah-masalah internasional. Mudah-mudahan apa yang diulas oleh Cochrane masih dalam koridor Journalism ethics and standards.Ya pasti dong, emangnya redakturnya bego apa? Nggak sih - Lexa jawab sendiri dah - yang lain boleh nilai lain, mau pake teori konspirasi terserah asal jangan kebablasan, tapi terserah juga sih, sah-sah saja.

Seenggaknya selain judul tulisan Lexa dan asumsi Lexa bahwa artikel Cochrane melalui NYT, selain memberikan gambaran yang baik terhadap kondisi demokrasi di Indonesia, khususnya Jakarta, dalam pemahaman Lexa sekaligus artikel tersebut sekaligus memberi tantangan, atau dalam bahasa Lexa  seperti "ngomporin”, yang boleh diartikan bebas oleh siapa saja.  

Pada akhirnya perlu diakui bahwa artikel Cochrane tersebut merupakan salah satu artikel dan berita tentang Indonesia saat ini yang di kemudian hari mungkin akan menjadi perhatian dunia dalam mengamati (namun mudah-mudahan nggak ikut campur saja) jalannya proses demokrasi di Indonesia  menuju masa depan yang terus akan bertumbuh secara dewasa seiring dengan usaha untuk membenahi diri baik aparat/penyelenggara negara, khususnya elite politik dan partai potik itu sendiri  untuk bersama-sama rakyat mewujudkan Indonesia sebagai salah satu negara Demokrasi terdepan di dunia yang patut dicontoh.

Jadi yang merasa dikomporin siapa? Ahok atau Parpol? Dua-duanya kali... termasuk Lexa juga. Jangan-jangan Anda juga.... hahaha. Sudahlah... ntar kepanjangan artikel yang “ngaco” ini....

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa.. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun