Mohon tunggu...
Alexa Chan
Alexa Chan Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Designer, Konsultan Pajak/Keuangan

Liar..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Giliran "The New York Times" Ikutan “Ngomporin” Ahok

7 Juni 2016   11:30 Diperbarui: 7 Juni 2016   22:45 3724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Ahok - Netralnews.com

Entah ulasan Cochrane ini nantinya akan direspons secara agresif oleh para politisi namun yang pasti akan mendapat dukungan dari para pendukung Ahok. Apalagi ditambah dengan kutipan pernyataan Charlotte Setijadi, seorang peneliti program studi Indonesia pada Institut Studi Asia Tenggara-Yusof Ishak di Singapura, yang mengatakan bahwa pada dasarnya, Ahok telah memosisikan dirinya sebagai alternatif dari sistem politik nasional yang dianggap memuakan bagi kebanyakan orang di Jakarta. Inilah bargaining position yang dapat digunakan Ahok, mewujudkan impiannya itu atau malah justru sebaliknya mengikuti arus untuk megambil sikap  pada saat akhir untuk memilih “kendaraan” yang mana yang akan digunakan menuju pemilu DKI 2017 nanti.

Terlebih lagi menurut Cochrane, para analis mengatakan  bahwa rupanya Ahok nggak ingin bernasib yang sama seperti Joko Widodo, meskipun presiden, beliau hanya sebagai “petugas partai”, yang terkadang mendapatkan kesulitan dari partai pendukungnya sendiri dalam membuat atau mengambil kebijakan politik. Dengan demikian, untuk menuju Pilkada DKI 2017, Ahok menolak tawaran untuk berjalan di bawah payung PDI-P. Ini “pukulan” menohok bagi PDI-P sekaligus menguji sikap Ahok, apakah demkian adanya? Ini “Ngomporin” kan? hehehe....

Bertolak dari ulasan Cochrane, menurut Lexa, Ahok sendiri masih berada di posisi “abu-abu”, oleh karenanya masih akan diusik oleh berbagai pihak, khususnya dari elite politik yang merupakan representatif dari partai politik,  dimana media juga berperan penting  dalam menggiring opini publik.

Yang pasti, setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang, menjadi tantangan serius bagi calon kepada daerah yang memilih jalur perseorangan nantinya, jadi bukan saja untuk Ahok walau mungkin Ahok sebagai salah satu pemicunya. Karena menurut Ahok sendiri, ia yakin para pendukungnya (termasuk relawan dan Teman Ahok) akan sedikit repot saat verifikasi faktual. Jadi kesannya memang masih “gamang” untuk mengambil keputusan final, sementara Jokowi sebagai presiden, walau nggak terang-terangan, masih menginginkan Ahok melanjutkan pekerjaan rumah mereka bersama untuk membangun Jakarta yang lebih baik. Jadi rasa-rasanya, posisi Ahok seperti dibawah tekanan untuk dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan final. Oleh karenanya, dapat dimaklumi pula ketika pernyataan-pernyataan Ahok kadang memperlihatan keraguannya dalam menentukan sikap.

Sebenarnya jika memang harus meninggalkan “Teman Ahok” karena memimpin Jakarta bukan hanya memuaskan satu golongan saja, termasuk para anak muda yang berkelompok menjadi relawan atau simpatisanya, bila harus memutuskan kendaraan lain, janganlah ragu, walaupun memang akan menghadapi resiko tersendiri. Lagian, seperti artikel Lexa beberapa hari lalu, Lexa sempat mengambil kutipan dari politikus dan diplomat Amerika, Adlai E. Stevenson II, yang menyatakan bahwa “that the hardest thing about any political campaign is how to win without proving that you are unworthy of winning”. Hal yang paling sulit tentang kampanye politik adalah bagaimana caranya untuk menang tanpa membuktikan bahwa Anda layak untuk menang, atau membuktikan musuh Anda tak layak untuk menang. Jadi, caranya tidak harus melalui Teman Ahok saja sebagai  pilihan terbaik walau nantinya mengecewakan mereka dan diejek sekalipun seolah “menjilat ludahnya sendiri”, namun namanya juga politik, dinamis kan? Bila mereka diberikan pemahaman yang benar, pasti adalah yang mengerti.

Namun, bila Ahok tetap konsisten dengan keputusannya untuk mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur bersama Heru sebagai calon wakil gubernur melalu jalur perseorangan (independen), kemungkinan upaya penjegalan, dipersulit maupun diusik dengan segala cara, bisa saja terjadi. Sekalipun masyarakat turut mengawal prosesnya, pada kenyataannya akan sulit untuk berbuat banyak bila terjadi penyimpangan dalalam proses menuju pilkada DKI 2017. Sehingga dengan demikian, Ahok harus “legowo” menerima kemungkinan terjelek termasuk terpaksa kandas di tengah jalan.

Di lain pihak, bisa saja kenyataannya berbicara lain, bila dengan persiapan yang matang dalam mengawal proses verifikasi faktual terhadap kelengkapan administrasi para pendukungannya, dapat saja pasangan calon persorangan dalam prosesnya dapat berjalan dengan mulus. Dan juga penting, setidaknya segala tuduhan terhadap Ahok dapat segera dibuktikan agar dirinya serta calon pasanganya tidak memikul beban berat  yang secara langsung berpengaruh pada opini publik nantinya disaat verifikasi maupun pada saat menentukan pilihan mereka nanti di pemilu DKI 2017. Sepatutnya nih Koh Ahok, kalo memang anda sudah menjatuhkan pilihan melalui jalur perseorangan, Anda nggak perlu lagi mengeluarkan pendapat yang seolah-olah masih bimbang, ragu nan galau. Karena selain pendukung yang telah mengumpulkan dukungannya melalui KTP mereka, masih memungkinkan adanya silent voters, bahkan dinamika massa mengambang termasuk 32,78 persen warga yang nggak menggunakan hak suaranya pada pilkada Jakarta 2012 akan berpeluang untuk memilih anda, Ahok. Bisa saja kan? Walau Lexa bukan peramal. Who Knows?

Sekali lagi, kalo semuanya berjalan dengan mulus dan membuahkan hasil kemenangan, akan tetapi perlu diingat, bersedia atau nggak, suka ataupun nggak, Ahok harus memperbaiki caranya  berkomunikasi dengan parlemen dan tentu saja kepada publik juga, tanpa perlu meninggalkan jati dirinya yang dinilai banyak kalangan “bersih”. Karena walaupun masyarakat mengisyaratkan bahwa mereka telah muak terhadap kinereja dan tingkah polah anggota parlemen. Secara konstitusi, Ahok nggak akan mungkin dapat berjalan sendiri dalam memimpin Jakarta. Jika dipaksakan maka akan menjadi persoalan yang sama secara berulang-ulang, bahkan mungkin lebih berat, yang pada akhirnya berdampak pada percepatan dan proses pembangunan Jakarta di segala bidang  yang ujungnya merugikan rakyat Jakarta sendiri. Lexa pikir para pendukungnya sudah dewasa untuk melihat kenyataan ini. Apalagi Ahok!

Nah, kemudian bila keputusan yang diambil Ahok tanpa beban, seperti yang diutarakanya bahwa ia merasa “nothing to lose” menghadapi pertarungan untuk memperebutkan kursi DKI 1 dan menyerahkan sepenuhnya kepada warga Jakarta untuk memilih gubernur terbaik. Maka jalani aja sisa kepeimpinannya, melalui kinerja yang baik, menuntaskan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal bagi kesejahteraan masyarakat Jakarta dan meletakkan fondasi yang baik bagi gubernur yang baru nantinya, toh bila bisa menempatkan posisi secara baik dapat membatu jakarta dengan berbagai cara termasuk Gubernur yang baru, untuk melanjutkan program yang sudah dirntis bersama pak Jokowi bersama dirinya sendiri. Petarungan pada akhirnya akan melahirkan pemimpin yang sesuai dan baik untuk Jakarta, sehingga seharusnya optimis dong!

Terlepas dari apa yang menjadi pandangan Cochrane melalui artikelnya, The New York Times yang diterbitkan di New York City sejak 18 September 1851 oleh The New York Times Company dan telah memenangkan 117 Hadiah Pulitzer, juga nggak terlepas dari berbagai isu mulai dari Coverage issues hingga Ethics incidents yang di dalamnya terdapat masalah propaganda, keberpihakan khususnya untuk masalah-masalah internasional. Mudah-mudahan apa yang diulas oleh Cochrane masih dalam koridor Journalism ethics and standards.Ya pasti dong, emangnya redakturnya bego apa? Nggak sih - Lexa jawab sendiri dah - yang lain boleh nilai lain, mau pake teori konspirasi terserah asal jangan kebablasan, tapi terserah juga sih, sah-sah saja.

Seenggaknya selain judul tulisan Lexa dan asumsi Lexa bahwa artikel Cochrane melalui NYT, selain memberikan gambaran yang baik terhadap kondisi demokrasi di Indonesia, khususnya Jakarta, dalam pemahaman Lexa sekaligus artikel tersebut sekaligus memberi tantangan, atau dalam bahasa Lexa  seperti "ngomporin”, yang boleh diartikan bebas oleh siapa saja.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun