Jam 3 pagi, Kanisian masih tertidur dengan lelap di tempat peristirahatan mereka. *Tong tong tong* *Brak brak brak* Â "Bangun sholat sholat!" pun berkumandang dari para santri. Suaranya bagai konser rock metal, penuh dengan suara heboh. Kanisian pun terkaget mendengarkan ini. Sebagai bagian dari acara ekskursi, Kanisian diperlukan untuk memperoleh pengalaman dari perbedaan ini. Mengikuti sholat, belajar malam, dan pembelajaran di sekolah yang ada di situ menjadi proses pembelajaran dalam menghadapi perbedaan dunia nyata secara langsung.
Perbedaan kurikulum, perbedaan jadwal, perbedaan wajah, perbedaan perbedaan dan perbedaan. Beberapa dari Kanisian menanggapinya dengan baik, ada juga yang menanggapinya secara kurang baik. Penolakan pun terjadi karena tidak sesuai dengan zona nyaman kehidupan kota. Namun, tujuannya memang begitu, membawa Kanisian keluar dari zona nyaman untuk pengalaman yang baru dan beragam.Â
Kenyataan Toleransi Indonesia
Kanisian yang kembali dari ekskursi mendapatkan sudut pandang baru mengenai perbedaan dan menjadi lebih toleran terhadap kebudayaan, agama, dan kebiasaan lain. Menjadi lebih toleran berarti Sumpah Pemuda dan Pancasila tidak sia-sia dibuat oleh para leluhur. Sumpah Pemuda 1928 menjadi tulang punggung persatuan Indonesia: menyatukan perbedaan dari berbagai macam aspek, seperti ras, budaya, agama, dan pendapat, untuk mencapai sebuah tujuan. Keberadaan Sumpah Pemuda 1928 mendorong dan mempercepat kemerdekaan Indonesia dengan mengurangi adanya konflik antarsaudara yang berdasar dari perbedaan. Melalui kesadaran bersama dan perasaan senasib, rakyat Indonesia bisa bersatu dalam perbedaan.
Menurut Kementerian Agama Republik Indonesia, angka kerukunan beragama sudah naik hingga mencapai angka 76,46 di tahun 2024. Perkembangan ini sangat fenomenal, menjadi bukti bahwa Indonesia mampu untuk menjadi toleran terhadap perbedaan. Sosialisasi dan acara-acara yang diselenggarakan, baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi independen lainnya telah mendorong tren positif ini. Rakyat telah menyembuhkan dirinya sendiri dari intoleransi dan rasa acuh tak acuhnya.Â
Walau begitu, kasus-kasus yang melawan data juga masih ada di Indonesia. Perbedaan masih menjadi masalah yang besar di Indonesia, terutama di berbagai wilayah dimana radikal dan fanatik menjadi sifat ideologinya. Pancasila telah menyatakan bahwa semua manusia itu sama derajatnya, baik di mata Tuhan ataupun di mata manusia lain. Dengan begitu, apakah saat ini sudah sepenuhnya tercapai?
Sebagai seorang Kanisian, sudah menjadi fakta bahwa isu ini adalah isu yang sangat sulit dipecahkan. Maka, dari ekskursi apakah yang bisa didapatkan sebenarnya? Dan terakhir, apakah langkah konkrit yang bisa dilakukan untuk menghadapi hal ini?Â
"Aksi lebih nyata daripada omongan manis seorang".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI