Mohon tunggu...
Alex AliAtmadikara
Alex AliAtmadikara Mohon Tunggu... Guru - Riang dan Gembira, suci dalam pikir, perkataan dan perbuatan

Experiential Education Practitioner, Spelunker, cave guide, outdoor trainer, principle of an elementary schooll, fulltime father of three kids

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru sebagai Duta Kesadaran akan Keselamatan

29 Februari 2020   09:27 Diperbarui: 29 Februari 2020   09:26 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menyimak kasus susur sungai di Sleman yang memakan korban sepuluh siswa SMP 1 Turi, reaksi saya yang pertama adalah marah, mengigil, lemas, dan kesedihan yang sangat. Karena kehilangan jiwa, sepuluh jiwa bukan cuma persoalan statistik, satu saja sudah terlalu berlebihan. Ini mengingatkan saya pada kejadian 2013 lalu di Yogya juga hanya aktivitasnya saja yang berbeda, kegiatan yang dilakukan saat itu adalah penelusuran gua. 

Kegiatan yang risikonya boleh dibilang tinggi. Kasus gua Serpeng yang memakan 3 korban jiwa, yang sampai kini saya yakin masih berbekas cukup dalam menyimpan trauma dalam diri beberapa teman2 saya. 

Sampai saat ini setiap mendengar berita kecelakaan pada kegiatan alam terbuka, perasaan selalu menjadi emosional, teringat dan membayangkan wajah2 terakhir mereka para korban yang penuh ketakutan, pasrah, tak berdaya menghadapi kematian yang seharusnya mungkin belum waktunya.

Saya tak ingin menyalahkan takdir. Karena pada kasus2 itu seharusnya takdir bisa dipilih. Seharusnya mereka masih bisa pulang dengan bahagia, dengan pengalaman yang mereka peroleh dari kegiatan tersebut, berceloteh pada orangtua mereka masing2 ttg pengalaman mereka. 

Seharusnya orang tua mereka tidak sampai bersedih seperti sekarang, seharusnya mereka bahagia karena melihat anak2 mereka berubah lebih baik setelah pelatihan2 itu, setelah petualangan mereka belajar tentang menemukan beberapa cuil pengalaman dan keterampilan hidup.

Peran guru, pembina, instruktur, pelatih, sebagai orang dewasa, representasi orangtua, representasi individu yang lebih berpengalaman, dalam semua kegiatan pendidikan di sekolah sudah seharusnya menjadi kontrol dan penentu hasil dari tujuan pendidikan. 

Termasuk salah satunya mengenai kesadaran akan keselamatan (safety awareness) dan berkewajiban membuat prosedur atau sistim pengelolaan risiko (risk management) dalam semua aktivitas, terutama lebih2 pada kegiatan yang memiliki risiko tinggi.

Pemilihan aktivitas, waktu kegiatan, lokasi kegiatan, durasi kegiatan, jumlah peserta, perbandingan rasio peserta dengan pembina atau instruktur sudahkah seimbang? Perencanaan kontijensi, rencana respon dalam kondisi darurat, rencana evakuasi jika kondisi darurat, nomor kontak untuk kondisi darurat yang harus dihubungi, kesiapan paramedis atau pertolongan pertama pada kecelakaan, keterampilan teknis pembina, instruktur atau pelatih apakah memadai? 

Rekam medis laporan kesehatan peserta, format laporan kecelakaan (accident report) dan surat ijin mengikuti kegiatan dari orangtua, surat ijin kegiatan dari kepolisian, dan lain sebagainya sudahkah menjadi prioritas pemenuhan dokumentasi berkegiatan oleh para guru, pembina, instruktur atau pelatih saat itu?

Karena kelalaian kecil dalam aktivitas berisiko seperti kegiatan di alam terbuka seperti membiarkan gumpalan salju kecil menggelinding ke bawah bukit semakin dibiarkan semakin menjadi bola salju besar yang mampu melumat semuanya. Dan kasus seperti kasus di atas selalu diawali dengan kelalaian serupa, abai pada pertanda alam. 

Padahal sumber bahaya terbesar yang harus dihindari karena tidak bisa diprediksi adalah alam sebagai bahaya objektif. Ditambah dengan kurangnya keterampilan manusianya dan persiapan dalam kegiatan yang menjadi bahaya subjektif, maka lengkaplah sudah menjadi kolaborasi prima menuju predikay katastropik atau bencana.

Mengapa susur sungai? Mengapa di musim hujan? Tujuan apa yang ingin dicapai dari kegiatan itu? Mengapa tidak mencari alternatif aktivitas lain yang memiliki objektif yang sama tapi relatif lebih aman? Karena tujuan pendidikan adalah memberikan pengalaman dan kesempatan siswa merefleksikan pengalaman sebagai nilai2 pembelajaran, jika kemudian mereka tidak mempunyai kesempatan itu karena harus menjadi korban, lantas apa yang dapat mereka pelajari?

Tapi terlalu menyudutkan guru, pembina, instruktur atau pelatih saat ini juga bukanlah suatu sikap yang bijak. Karena kesalahan terbesar ada pada sistem kontrol keselamatan pada masyarakt kita saat ini. Seharusnya yang bertanggungjawab pemimpin sekolahnya. Dimana beliau adalah kontrol utama yang seharusnya mengetahui dan merestui semua kegiatan di sekolah berlangsung. 

Karena dalam buku panduan Kepala Sekolah Profesional yg disusun H.A. Tabrani Rusyan, butir ke 13, butir terakhir tentang peranan Kepala Sekolah Profesional, kepala sekolah adalah sebagai "kambing hitam", tempat melemparkan kesalahan/keburukan yang terjadi dalam kelompoknya, berani dan mau bertanggungjawab atas kesalahan orang lain dalam kelompoknya. Nah, lho... Sesuai pesan Ki Hajar Dewantara, bahwa Kepsek sebagai pemimpin yang baik harus menjalankan peranannya yg " Ing Ngarso sung Tulodo, Ing Madyo mangun Karso, Tut Wuri Handayani".

Whateverlah dengan siapa yang akhirnya dijadikan kambing hitam,Karena saat ini kesalahan utamanya ada pada kesadaran akan keselamatan (safety awareness) dan pemahaman akan pengelolaan risiko (risk management) yg memang belum menjadi budaya atau kebiasaan (habit) dalam masyarakat kita. Jangankan memikirkan keselamatan orang lain, keselamatan diri sendiri juga kadang tidak peduli. 

Siapa yang berkendara memakai helm atau sabuk pengaman karena benar2 sadar akan pentingnya keselamatan? Saya yakin hampir Kebanyakan karena takut ditilang polisi. Atau bisa disurvey dari  100 populasi berapa orang yang benar2 paham dan mampu melakukan penanganan pertama pada kecelakaan? Saya yakin bisa dihitung jari. Kecuali di dunia Industri, K3 sangat dijaga, karena individu dibayar mahal, keselamatan mereka dihargai mahal karena menentukan hasil produksi.

Mengelola risiko dan menanamkan kesadaran akan keselamatan pada peserta didik sudah semestinya menjadi salahsatu kompetensi  yang dimiliki guru, terutama guru Pembina dalam kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler. Karena kesadaran akan keselamatan adalah habit atau sikap yang butuh pembiasaan. 

Dan pengelolaan risiko adalah prosedur yang dapat direalisasikan dalam bentuk dokumen acuan standar berkegiatan yang memuat semua kemungkinan risiko yang mungkin terjadi serta bagaimana melakukan mitigasi dan rencana antisipasinya. 

Dengan demikian dapat meminimalisir kesalahan atau bahaya yang disebabkan oleh faktor manusia dan faktor alam itu sendiri. Mengelola risiko adalah bentuk sederana dari mengoptimalkan ikhtiar sebelum kemudian bertawakal dan menyerahkan sepenuhnya urusan pada penentu takdir.

"Bagaimanapun, kehidupan hanyalah serangkaian kecelakaan -- rantai kejadian kebetulan. Sederetan pilihan, santai atau disengaja, yang menambah besar satu bencana yang kita sebut kehidupan".  (Rohinton Mistry)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun