Mohon tunggu...
Alezandro Wibisono
Alezandro Wibisono Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Uhamka

Selanjutnya

Tutup

Financial

Analisis Kasus Fraud Dalam Laporan Keuangan PT Kereta Api Indonesia

8 Januari 2025   12:40 Diperbarui: 8 Januari 2025   12:40 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fraud theory merupakan teori yang mengulas hal-hal yang menjadi motivasi atau penyebab dari individu atau kelompok individu melakukan suatu kecurangan, sehingga hal pertama yang harus diketahui adalah definisi dari kecurangan. Kantor Akuntan Publik Ernst and Young (EY) mendefinisikan kecurangan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang mengetahui bahwa kesalahan tersebut dapat mengakibatkan beberapa manfaat yang tidak baik untuk individu atau badan atau pihak lain.

Teori pertama yang mengulas terkait penyebab terjadinya kecurangan dikenal dengan fraud triangle theory, sesuai dengan namanya segitiga kecurangan teori tersebut mengungkapkan tiga penyebab seseorang melakukan kecurangan. Lalu, berdasarkan ketiga penyebab tersebut kembali dikembangkan penyebab kecurangan dengan menambahkan satu unsur, sehingga fraud triangle theory mengalami pembaruan dan dikenal teori suatu teori baru yang dikenal dengan istilah fraud diamond theory. Empat teori yang sudah ada kembali ditambahkan dengan satu penyebab lagi kemudian kembali dikembangkan teori baru yang dikenal dengan fraud pentagon theory. Ketika dilakukan penelitian ini perkembangan terakhir dari penyebab kecurangan kembali ditambahkan satu unsur pembaharuan sehingga pada saat ini teori yang mengungkapkan penyebab terjadinya kecurangan dikenal dengan fraud hexagon theory.

  • Fraud Triangle Theory – Donald R. Cressey, 1953 

Fraud Triangle Theory atau segitiga kecurangan merupakan suatu teori yang mengulas tentang tiga motivasi atau tiga penyebab utama seseorang melakukan kecurangan. Teori ini dicetuskan oleh Cressey pada tahun 1953 melalui penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan wawancara terhadap 250 narapidana tindak pidana korupsi. Periode penelitian dilakukan selama lima bulan. Penelitian yang dilakukan Cressey, 1953 menunjukkan hasil bahwa penyebab dari para narapidana tersebut melakukan penyalahgunaan kepercayaan adalah adanya suatu kondisi dimana mereka memiliki masalah keuangan, sehingga ada tekanan (pressure) dan menyadari bahwa ada kesempatan (opportunity) untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut secara rahasia dengan melakukan pelanggaran kepercayaan atas posisi yang mereka miliki, pelanggaran kepercayaan tersebut dapat dilakukan secara mandiri dan menanggapnya sebagai perilaku yang biasa (rasionalisasi). Melalui hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya kecurangan dikarenakan tiga hal, yaitu: adanya tekanan (pressures), adanya peluang (opportunities) dan adanya rasionalisasi atas perbuatan tersebut (rationalization). Oleh sebab itu teori tersebut dikenal dengan istilah teori segitiga kecurangan atau fraud triangle theory yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Incentive/Pressure dari masalah finansial atau keuangan yang tidak dapat dibagikan oleh pelaku menjadi motif kecurangan (Cressey, 1950 dalam penelitian Dorminey et al, 2012) Seseorang mungkin tidak terlihat memiliki masalah keuangan karena mungkin untuk memenuhi gaya hidupnya agar terlihat seperti tidak memiliki masalah keuangan. Atau kemungkinan egonya yang besar membuat seseorang enggan atau malu untuk meminta bantuan ketika mengalami masalah keuangan sehingga dia mencari cara untuk keluar dari masalah keuangannya dengan usaha sendiri, yakni melakukan kecurangan.

Opportunities disebabkan oleh dua hal, pengendalian internal perusahaan yang lemah atau kecil kemungkinan akan tertangkap ketika melakukan fraud. Georgios (2019) mengatakan bahwa untuk menciptakan kesempatan ada dua hal yang diperlukan, yakni informasi dan kemampuan teknis. Yang dimaksud dengan informasi adalah pengetahuan mengenai bagaimana mencari celah dalam system pengendalian internal perusahaan sehingga pelaku dapat memperoleh kesempatan untuk melakukan fraud. Kemampuan teknis adalah bagaimana kemampuan pelaku dalam melakukan kecurangan atau pelanggaran. Jika hanya mengetahui celah pengendalian internal namun tidak memiliki skill teknis dalam melakukan kecurangan, maka pelaku tidak dapat menerobos sistem pengendalian internal perusahaan

Rationalization memungkinkan pelaku fraud untuk memahami Tindakan pelanggaran dan membuatnya tetap menjaga image dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya. Rasionalisasi ini bisa dikatakan sebagai motif pelanggaran karena pelaku tidak melihat dirinya sebagai seorang criminal, tetapi karena sedang butuh makanya pelaku melakukan pelanggaran dan menyalahkan lemahnya pengendalian internal perusahaan sehingga dia bisa menerobos pengendalian dan melakukan kecurangan.

  • Fraud Diamond Theory – Wolfe & Hermanson, 2014 

Penelitian yang dilakukan oleh Donald R. Cressey dikembangkan pada tahun 1953. Seiring berkembangnya zaman, tentunya penyebab terjadinya kecurangan juga turut berkembang. Wolfe and Hermanson, 2004 mengembangkan teori yang merupakan hasil pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Donald R. Cressey. Ketiga faktor penyebab kecurangan yang sebelumnya telah diteliti tidak dihilangkan melainkan meneliti dan menambahkan penyebab baru yaitu, kemampuan (capability). Kemampuan sendiri merupakan penyebab kecurangan yang tidak dapat dihindarkan sebab seiring berkembangnya teknologi perusahaan mulai melakukan pengembangan khusunya dengan membentuk suatu pengendalian internal guna meminimalisir terjadinya kecurangan. Hal tersebut tentu menyebabkan kemampuan atau kapabilitas seseorang merupakan salah satu penyebab utama dari terjadinya kecurangan. Tentunya sejalan dengan penelitian yang dikembangkan oleh Wolfe & Hermanson, 2004 yang membahas empat penyebab kecurangan dengan menyempurnakan penelitian sebelumnya dan membentuk teori baru dengan menambahkan unsur kapabilitas. Apabila teori tersebut diilustrasikan dapat digambarkan sesuai dengan gambar di bawah ini:

  • Fraud Pentagon Theory – Crowe Horwath, 2011 

Teori kecurangan pentagon merupakan teori kecurangan hasil pengembangan dari teori kecurangan diamond. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Horwart, 2011. Teori tersebut menambahkan satu unsur baru penyebab atau motivasi dari seseorang dalam melakukan kecurangan. Unsur baru yang ditambahkan adalah adanya sifat arogansi (arrogance). Pentagon theory ini juga dikenal dengan SCORE (Stimulus, Capability, Opportunity, Rationalization dan Ego). Ego ini merupakan sebutan untuk arogansi yang dimiliki oleh pelaku fraud dan juga merupakan motivasi dalam melakukan fraud.

Melalui penelitian yang dilakukan oleh Horwath, 2011 dapat diketahui jika arrogance adalah suatu perilaku yang menggambarkan sifat superioritas, serta adanya kekuarangan kesadaran akibat adanya sifat serakah, serta pola pikir jika peraturan yang ada pada saat ini tidak berlaku bagi mereka. Crowe (2011) Christian dkk (2019) menyebutkan tingkat arogansi pemimpin perusahaan memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • Memiliki ego yang tinggi dan menganggap dirinya seorang selebritas
  • Memiliki pemikiran bahwa pengendalian internal tidak dapat mencegah kecurangan yang telah dilakukannya
  • Memiliki perilaku yang cenderung sering mengintimidasi bawahannya
  • Memiliki gaya manajemen yang dictator dan otoriter
  • Memiliki ketakutan untuk kehilangan posisi yang telah dicapainya

Oleh sebab itu, selain empat penyebab yang telah digambarkan pada teori sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Horwath menambahkan unsur baru yaitu, arogansi yang mana dapat dilihat dalam bentuk ilustrasi di bawah ini:

  • Fraud Hexagon Theory – Georgios L. Vousinas, 2019 

Perkembangan terbaru dari teori kecurangan diungkapkan melalui teori yang dikenal dengan teori pentagon. Melalui teori ini Vousinas, 2019 kembali menambahkan unsur baru sebagai salah satu penyebab atau motivasi dari seseorang dalam melakukan kecurangan. Teori ini tentunya tidak menghilangkan satu pun unsur yang ada pada teori pendahulunya, melainkan menambahkan unsur baru, yaitu kolusi.

Vousinas, 2019 dalam teorinya fraud hexagon theory mengungkapkan bahwa kolusi yang dimaksudkan pada penelitiannya merefleksikan pada suatu kegiatan penipuan yang dilakukan melalui perjanjian untuk menipu suatu pihak yang mana pihak yang ditipu berjumlah lebih dari dua orang, penipuan tersebut dilakukan guna menipu pihak tertentu demi memperoleh keuntungan pribadi. Adanya teori ini merupakan bentuk pengembangan teori yang terbaru yang mana teori tersebut berisikan unsur diantaranya adanya tekanan (pressure), adanya kesempatan (opportunity), adanya rasionalisasi atas perbuatan curang (rationalization), pelakunya memiliki kemampuan (capability), pelakunya juga memiliki sifat arogansi (arrogance) dan yang terakhir pelakunya juga melakukan kolusi (collusion). Apabila diilustrasikan fraud hexagon theory dapat digambarkan dalam gambar yang ada di bawah ini:

Berdasarkan perkembangan dari Triangle Theory sampai dengan Hexagon Theory tersebut dapat dikatakan bahwa fraud lebih banyak menimbulkan kerugian ketika dilakukan oleh pihak yang memiliki kuasa besar di dalam suatu perusahaan seperti Direktur karena mereka memiliki kemampuan (capability), sifat arogansi (arrogance) dan juga bisa melakukan kolusi (collusion) untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan. Oleh karena itu pihak yang berkuasa dalam suatu perusahaan memiliki lebih banyak power atau kekuasaan untuk mengabaikan pengendalian internal perusahaan karena berpikir bahwa mereka tidak tersentuh oleh pengendalian yang telah dibentuk.

Contoh Kasus Fraud di Indonesia

PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) ditemukan terlibat dalam kecurangan terkait laporan keuangan, yang merupakan bentuk penipuan yang bisa merugikan investor dan pihak terkait lainnya. Kasus ini juga melibatkan pelanggaran kode etik profesi akuntansi, di mana diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, yang menunjukkan keuntungan Rp6,9 miliar, padahal seharusnya perusahaan mengalami kerugian Rp63 miliar.

Hekinus Manao, Komisaris PT KAI dan juga Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, menyebut bahwa laporan keuangan tersebut telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit untuk tahun 2003 dan sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sementara audit tahun 2004 dilakukan oleh BPK dan akuntan publik. Laporan keuangan tersebut kemudian diserahkan kepada Direksi PT KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham, namun Komisaris menolak menyetujui laporan tahun 2005 setelah menemukan kejanggalan dalam audit tersebut.

Beberapa kejanggalan yang ditemukan dalam laporan keuangan 2005 antara lain:

  • Pajak pihak ketiga yang tidak ditagih selama tiga tahun dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI meskipun tidak sesuai dengan standar akuntansi.
  • Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp24 miliar yang seharusnya dicatat sebagai kerugian seluruhnya pada tahun 2005.
  • Bantuan pemerintah yang statusnya belum jelas dimasukkan sebagai bagian dari hutang.
  • Tidak ada pencadangan kerugian atas kewajiban pajak yang tidak tertagih dari pelanggan.

    Perbedaan pendapat antara Komisaris dan auditor terjadi karena kurangnya tata kelola yang baik di PT KAI, yang juga membuat komite audit baru bisa mengakses laporan keuangan setelah diaudit. Akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik dan bisa mendapat sanksi jika terbukti bersalah.

    Kasus ini bermula dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum. Sebagai profesi, akuntan harus menguasai prinsip akuntansi dan menerapkan etika profesi dengan baik. Manipulasi laporan keuangan PT KAI tahun 2005 menimbulkan pertanyaan mengapa auditor menyatakan laporan tersebut wajar tanpa pengecualian, padahal banyak kejanggalan yang ditemukan. Sejak 2004, laporan PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan Publik, berbeda dengan sebelumnya yang melibatkan BPK, yang menimbulkan dugaan adanya kesalahan dari auditor. Profesionalisme dan etika profesi akuntan harus dijaga, karena kepercayaan masyarakat sangat bergantung pada integritas mereka. Tindakan tegas terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh akuntan perlu diberlakukan untuk menjaga kepentingan berbagai pihak.

    Pembahasan Kasus Fraud PT. Kereta Api Indonesia

  • Analisis 5 Question Approach

  • Profitable
    Pihak yang diuntungkan adalah Manajemen PT KAI karena kinerja keuangan perusahaan seolah-olah baik (laba Rp6.9 M), meskipun pada kenyataannya menderita kerugian Rp 63 M. Tidak tertutup kemungkinan, pihak manajemen memperoleh bonus dari “laba semu” tersebut.
    Pihak lain yang diuntungkan adalah KAP S. Manan & Rekan, dimana dimungkinkan memperoleh Fee khusus karena memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian.

  • Legal
    PT KAI melanggar Pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal “Dalam kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung maupun tidak langsung: Menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun; Turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek.”

    PT KAI dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 107 UU No.8 Tahun 1995 yang menyatakan: “Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

  • Fair
    Perbuatan manajemen PT.KAI merugikan publik/masyarakat dan pemerintah.
    Publik (investor); dirugikan karena memperoleh informasi yang menyesatkan, sehingga keputusan yang diambil berdasarkan informasi keuagan PT. KAI menjadi tidak akurat/salah.
    Pemerintah; dirugikan karena dengan rekayasa keuangan tersebut maka pajak yang diterima pemerintah lebih kecil

  • Right
    Hak-hak Publik; dirugikan karena investor memperoleh informasi yang menyesatkan, sehingga keputusan yang diambil menjadi salah/tidak akurat.
    Pemerintah; dirugikan karena pajak yang diterima pemerintah menjadi lebih kecil.

  • Suistainable Development
    Rekayasa yang dilakukan manajemen PT KAI bersifat jangka pendek dan bukan jangka panjang, karena hanya menginginkan keuntungan/laba untuk kepentingan pribadi/manajemen (motivasi bonus).

    Prinsip Etika Yang Dilanggar
    Selain akuntan eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal pencatatan laporan keuangan, akuntan internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya menerapkan 8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip-prinsip etika akuntan yang dilanggar antara lain :

  • Tanggung jawab profesi
    Dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
  • Kepentingan Publik
    Dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja memanipulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut
  • Integritas
    Dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi laporan keuangan.
  • Objektifitas
    Dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.
  • Kompetensi dan kehati-hatian professional
    Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun dalam laporan keuangan mengalami keuntungan.
  • Perilaku profesional
    Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melakukan pencatatanlaporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng  nama baik) profesinya.
  • Standar teknis
    Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.

    Pencegahan Kasus Fraud PT. Kereta Api Indonesia

  • Mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan publik.
  • Membangun kultur perusahaan yang baik; dengan mengutamakan integritas, etika profesi dan kepatuhan pada seluruh aturan, baik internal maupun eksternal, khususnya tentang otorisasi.
  • Merekrut manajemen baru yang memiliki integritas dan moral yang baik, serta memberikan siraman rohani kepada karyawan akan pentingnya integritas yang baik bagi kelangsungan usaha perusahaan.
  • Memperbaiki sistem pengendalian internal perusahaan.
  • Corporate Governance dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam rangka mengeliminasi atau setidaknya menekan kemungkinan terjadinya fraud. Corporate governance meliputi budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian wewenang.
  • Transaction Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada dasarnya adalah proses yang lebih bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan untuk memastikan bahwa hanya transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai yang dicatat dan melindungi perusahaan dari kerugian.
  • Retrospective Examination yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan untuk mendeteksi fraud sebelum menjadi besar dan membahayakan perusahaan.
  • Investigation and Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor forensik adalah menentukan tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat kefatalan fraud, tanpa memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran kecil terhdaap kebijakan perusahaan ataukah pelanggaran besar yang berbentuk kecurangna dalam laporan keuangan atau penyalahgunaan asset.
  • Penyusunan Standar yang jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa baik untuk jabatan fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang dianggap strategis dan kritis. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi dan implementasi (enforcement) tanpa ada pengecualian yang tidak masuk akal.
  • Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu dengan adil dan terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama dan adil untuk “terpilih”. Terpilih artinya walaupun pejabat lain diatasnya tidak “berkenan” dengan orang tersebut, tetapi karena ia yang terbaik maka tidak ada alasan logis untuk menolaknya ataupun memilih yang orang lain. Disinilah peran profesionalisme dikedepankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun