Mohon tunggu...
Angga Usfal
Angga Usfal Mohon Tunggu... Relawan - Penyuka Sastra

"Berhentilah memasung hidupmu dalam kesempitan mimpi dan harapanmu"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Tua di Persimpangan, Ketika Wajahmu Menyanderaku!

22 Mei 2019   08:26 Diperbarui: 22 Mei 2019   08:36 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki tua di persimpangan...
Ia masih di situ. Duduk beralas kegetiran dan berpayung kemelaratan. Entah sampai kapan. Sesekali ia tertunduk mendengar angin yang membisikan kata-kata kematian. Ia berada di penghujung senja, dan malam mulai menampakan wajahnya berusaha memeluk dan membawanya ke tempat tidur penistaan. Ia sekarat, kelaparan di antara orang-orang berpunya. Ia miskin di kota yang hidup dan kaya. Akankah ia terus seperti itu? orang-orang yang menari di sekitarnya pun enggan peduli.

Lelaki tua di persimpangan...
Kini menjadi tawanan kesengsaraan. Makanannya sebongkah roti pahit kesepian dan segelas anggur masam kemalangan. Ia berontak, berusaha melepaskan diri dari penjara yang menelan habis sisa-sisa kebahagiaan dalam tubuh rentanya. Sayang, penderitaan yang kejam lebih kuat mencengkeram dengan cakar yang tajam. Ia bahkan tak diberi kesempatan sekadar menghirup udara segar kemuliaan. Ah, hidup telah menghisap habis madu yang manis dari tubuh rentanya.

Lelaki tua di persimpangan...
Ia tak ingin beranjak dari situ. Matahari kepedihan mulai menyengat kulit keriputnya yang mulai dijamah usia. Ia masih sendiri berteman piring tua yang kumal seperti dirinya. Sesekali ia terbang jauh, hilang dari dirinya dan masuk ke dalam realitas tak bernyawa. Kosong. Seperti tubuhnya yang tak berisi. Di sana, ia menuntut keadilan terhadap semesta yang telah melemparkan dia ke neraka dunia. Ia kembali tersadar kala tangan-tangan malaekat singgah di piring tuanya. Mata sayunya melirik ke dalam piring itu berharap menemukan secercah sinar kehidupan di sana. Namun ia tersenyum kecut. Ah, koin-koin kecil itu hanya memperpanjang sejarah hidupnya yang kelam.

Lelaki tua di persimpangan...
Ia tak tahu ke mana harus melangkah. Kakinya hanya mengenal jalan-jalan bertabur bara dan ke sanalah dirinya dituntun. Ia terlahir dari jeritan, merangkak dalam tangisan berjalan dalam kepedihan dan berlari dalam keperihan. Ia lupa akan kenyamanan surga. Baginya, hidup adalah kematian yang paling mengerikan. Oh,,, khalik...

Lelaki tua di persimpangan...
Ia masih di situ. Terperangkap dalam tahanan derita. Kematian mungkin menjadi sahabat yang paling dirindukan saat itu. Kematian memberi kesempatan untuk menikmati surga. Itulah impian terbesar dalam kesendiriannya... Datanglah oh Khalik... bawalah terbang bersama-Mu jiwa yang kini terkungkung dalam pelukan neraka dunia....

Lelaki tua... ketika wajahmu menyanderaku siang itu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun