Mohon tunggu...
andy lesmana
andy lesmana Mohon Tunggu... -

Just writing and trying be a professional writer in my dreams...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Politik Hukum Pemerintah Aceh Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh

6 November 2013   22:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:30 3675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Latar Belakang Permasalahan

Penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia, diatur dalam beberapa ketentuan sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui otonomi daerah yang antara lain yakni Undang Undang Dasar 1945 Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah, Undang Undang Nomo 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan dasar untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945, menyebutkan adanya pembagian pegelolaan pemerintahan pusat dan daerah. Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dalam amandemen kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur permasalahan pemerintahan daerah Undang Undang Dasar 1945.

Pasal 18 ayat (2) menyebutkan “pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya pada ayat (5) tertulis “pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang  ditentukan sebagai urusan  pemerintahan pusat” dan ayat 6 dalam pasal yang sama menyatakan “pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Berdasarkan otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada

pemerintahan daerah khususnya Aceh dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada pemerintahan Aceh untuk mengembangkan dan mensejahterakan masyarakat Aceh, mengingat sejarah konflik Aceh yang berharga dalam membangun masyarakat Aceh saat ini dan akan datang. Dengan terselenggaranya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah Aceh yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat Aceh, diharapkan memberikan arah kebijakan pemerintahan daerah yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus Aceh Tarik menarik kepentingan itu selalu terjadi di sektor-sektor yang berpotensi mendatangkan pemasukan keuangan bagi daerah, seperti sektor pertambangan dan sektor pertanahan serta kehutanan. Di tiga  sektor itu kita saksikan adanya tarik ulur kewenangan yang diberikan ke daerah.  Kalau dibiarkan orang di daerah nantinya akan menjadi penonton atas pemanfaatan lahan dan kekayaan alam di daerahnya.

Pelaksanaan     otonomi     daerah   yang   dilandasi  perubahan  paradigma sentralisai    ke    paradigma   desentralisasi   tidak   hanya   memperkuat   otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi di tingkat local, akan tetapi juga pemberdayaan berkelanjutan demokrasi di tingkat lokal akan tetapi pemerintah daerah kabupaten/kota dengan lahirnya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daearh, yang kini sudah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 telah melahirkan sistem politik baru di daerah, oleh karena kepada daerah/wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian proses check and balance dalam penyelenggaraan pemerintah daerah berjalan secara sistemik, oleh karena pada satu sisi DPRD Provisni dan DPRD Kabupaten /Kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu yang dilaksanakan secara regular, demikian pula halnya kepada  daerah/wakil kepada daerah yang dipilih secara lansung melalui melalui pemilukada demokratik.

Rumusan Masalah

Dari latarbelakang tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini antara lain adalah

1.Bagaimanakah Politik Hukum Pemerintahan Daerah Aceh berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh?

2.Bagaimanakah bentuk kebijakan politik hukum pemerintahan Aceh?

Politik hukum pemerintahan daerah Aceh berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Setiap pemerintahan daerah di Indonesia tentunya memiliki berbagai macam kebijakan pemerintahaannya sendiri-sendiri, dalam membangun dan mengembangkan potensi daerahnya yang ada, sehinga dapat dikatakan bahwa politik hukum antara satu daerah dangan daerah lainnya memiliki perbedaan bagaimana hukum tersebut dibuat dan bagaimana hukum yang dibuat tersebut dapat diterapkan.

Aceh sebagai daerah yang mendapatkan otonomi khusus hal ini ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan dasar penyelenggaraan otonomi daerah di Aceh. Hal ini dapat dilihat dalam point menimbang huruf b dan c yang menyebutkan “ Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia Aceh merupakan satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi dimana ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan Syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat. Sehingga Aceh menjadi daerah model bagi perjuangan dalam merebut   dan    mempertahankan kemerdekaan    Negara   Kesatuan    Republik

Indonesia.

Dari alenia tersebut diatas, yang menyebutkan bersifat khusus atau istimewa dapat di asumsikan bahwa Aceh memiliki karakter tersendiri jika dibandingkan dengan daerah lainnya perbedaan yang sangat memadai yang mencolok yakni Aceh dalam menjalankan pemerintahannya sosial politiknya berlandaskan Syari’at Islam sehingga dalam kebijakan politik pemerintahan daerah Aceh dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, perencanaan dan pengendalian pembangunan, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. Penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja, fasilitas pengembangan koperasi, usaha, kecil dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal dan penyelenggaraan pelayanan dasar lain didasarkan atas Syari’at Islam sebagai daerah serambi mekah.

Menyangkut kebijakan politik hukum yang dimiliki sebagai daerah istimewa tentunya tidak terlepas dari kebijakan politik pemerintahan pusat. Lahirnya lembaga-lembaga berbasiskan Syari’at di Aceh seperti Mahkamah Syari’yah, Majelis Permusyawaratan Ulama, Lembaga Wali Naggroe, Lembaga Adat yang terdiri dari  Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim Imeum chik,  Keuchik, Tuha Peuet, Tuha Delapan,  Imeum Meunasah, Keujreun Blang, Panglima laot, Pawang Glee, Peutua Seuneubok, Syahbanda. Dinas Syari’at Islam, Wilayatul Hisbah. Merupakan salah satu bentuk politik hukum pemerintahan daerah khususnya Aeeh dalam membawa arah kebijakan politik yang mengarah kepada bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan di berbagai segi atau aspek dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh.

Dalam peraktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat secara mendasar (grounded, dogmatic) demiensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di dalam deminsi lainnya, karena dalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (velue system). Selanjutnya system nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum  (law making) sebagai rambu-rambu yuridis, filosofis, dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan mencerminkan  nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan. Yang dapat diartikan bahwa seperangkat nilai yang tumbuh dan berkembang disuatu daerah yang kemudian nilai-nilai tersebut yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat suatu daerah yang dijadikan sebagai patrol perumusan kebijakan baik dalam bentuk peraturan pemerintahan  daerah  yang  sesuai  dengan   corak   suatu

daerah.

Kebijakan strategis tersebut dapat dicapai sejahu mana lembaga perumus kebijakan dan penyusun peraturan hukum secara konsisten tetap mengacu kepada sistem nilai iu supaya setiap garis kebijakan atauran hukum yang tercipta, di nilai akomodatif dan reponsif terhadap aspirasi masyarakat, secara adil dengan  perhatian yang merata.

Kebijakan politik hukum pemerintahan Aceh

Berdasarkan sejarah Aceh yang kental terhadap Islam memberikan Aceh sebagai salah satu daerah yang memberlakukan hukum-hukum syar’iah dan lembaga pendukung Syari’at di Aceh yang antara lain :

1.Mahkamah Syar’iah

Peradilan Syari’at Islam di Aceh berdasarkan Undang Undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Pengadilan Syari’at Islam,. mempunyai keunikan  yang berbeda dengan badan peradilan lainnya. Kekhususan atau keunikan tersebut terletak pada Seperti diketahui bahwa syari’at Islam mencakup seluruh aspek hukum, baik dalam aspek hukum publik maupun privat. Oleh karenanya kekuasaan dan kewenangan mahkamah syar’iyah yang ditetapkan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 mencakup pula seluruh aspek hukum yang memerlukan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Pokok pikiran tersebut antara lain termaktub dalam penjelasan umum angka 4 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam adalah untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang.

a.Ahwal al-Syakhshiyah meliputi: perkawinan, waris, wasiat, zakat, infak, dan ekonomi syariah;

b.Muamalah yang meliputi hukum kebendaan dan perikatan: jual beli, hutang pertanian), wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian), ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syufah (hak langgeng), ruhnun (gadai), ihyaul mawat (pembukaan lahan), ma’din (tambang), luqathah (barang temuan), perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful, perburuhan, harta rampasan, waqaf, hibah, shadaqah dan hadiah.

c.Jinayah,yang terdiri dari:

-Hudud45 yang meliputi: zina, menuduh berzina, mencuri, merampok, minuman keras dan Napza, murtad, pemberontakan.

-Qishash46 yang meliputi: pembunuhan, penganiayaan;

-Ta’zir47 yang meliputi: maisir (perjudian), penipuan, pemalsuan, khalwat, meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.

-piutang, qiradh (permodalan), musaqah, muzaraah, mukhabarah (bagi hasil

Keunikan tersebut

Peraturan daerah sebagai   pelaksanaan   undang-undang   di   wilayah

Aceh dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus yang berbentuk qanun mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Syar’iyah dengan didasarkan atas syari’at Islam. Sistem hukum yang hanya diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Peradilan Syari’at Islam di Aceh yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan khusus jika dilihat dari segi weweng di Provinsi Aceh, mempunyai 2 (dua) kewenangan sekaligus yakni kewenangan pengadilan umum dan kewenangan pengadilan agama yang dilakukan oleh satu badan peradilan.

Mahkamah Syari’ah merapakan pengganti pengadilan agama yang sudah dihapuskan Mahkamah ini  mengurus  perkara   muamalah   (perdata)   Jinnayah “ melakuan setiap perbuatan  yang menyimpang dan kebenaran keadilan dan jalan yang lurus (agama)” (pidana) yang sudah ada qanunya. Syari’at Islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung dari buku-buku fiqih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan Sunnah Rasul. Hingga saat ini  sudah ada beberapa qanun yand disusun dan disahkan bahkan sudah ada pelaku penggar syari’at yang ditindak dengan hukuman Syari’at.

-Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam bidang

aqidah, Ibadah dan Syari’at Islam

-Qanun Nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras) pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijathi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di berik izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukum bagi yang memproduksi khamar dijatuhi hukuman Ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dengan paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta dan paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupih).

-Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maysir (perjudian).

-Qanun Nomor 14 Tahun 2003  Tentang Larangan Khalwat.

-Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat.

2.Dinas Syari’at Islam

Dinas Syari’at Islam Aceh memiliki posisi sebagai perangkat daerah yang merupakan unsur pelaksana Syari’at Islam dilingkungan daerah, Dinas Syari’at Islam lahir pada tanggal 25 Januari 2002 yang dibentuk berdasarkan peraturan daerah Nomor 33 tahun 2001 yang mengatur qanun-qanun dan menelaskan tugas dan fungsinya.

3.Wilayatul Hisbah

Wilayatul Hisbah merupakan lembaga yang berwenang member tahau dan mengingatkan anggota-anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta perbuatan yang harus di hindarai karena bertentandang dengan Syari’at Islam

Wilayatul Hisbah ini memiliki beberapa tugas yang antara lain Memperkenalkan dan mensosialisasikan qanun dan peratauran peraturan lainnya yang berkaitan dengan Syari’at Islam dan juga mengingatkan atau memperkuatkan atauran akhlak dan moral yang baik, mengawasi masyarakat agar mereka memahami peraturan yang ada dan berakhlak dengan akhlak yang lehur yang dituntun Islam. Dan melakukan pembinaan agar para pelaku perbuatan pidana tidak melakukan perbuatan maksiat(kejahatan).

4.Lembaga Wali Nanggroe

Lahirnya lembaga wali naggroe menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat hal ini disebabkan Lembaga Wali Nanggroe Aceh tak dikenal dalam budaya di kabupaten-kabupaten tersebut, qanun itu diterbitkan dengan proses yang minim partisipasi masyarakat, Qanun Wali Nanggroe menutup kesempatan masyarakat di kabupaten-kabupaten tersebut menjadi Wali Nanggroe Aceh.

Oleh sebab itu hingga saat ini lahirnya lembaga wali naggroe masih dalam perdebatan sehingga permasalahan beberapa polemik mengengenai pembentukan lembaga Syari’at Islam di aceh sebagai salah satu tujuan pemerintahan Aceh.

Dalam konteks politik hukum pemerintahan daerah khusus pemerintahan Aceh, dalam konteks ini tersurat dalam konsiderans Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yakni pertama, bencana yang melahirkan  kesadaran untuk perewujudan  perdamaian dalan Negara kesataun Republik Indonesia (NKRI) dimana kesadaran ini melahirkan  komitmen penyelesaian konflik berkelanjutan “hitam di atas putih” melalui sebuah Momerandum of Understanding (MoU) dilanjutkan pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Kedua Undang-undang Pemerintahan Aceh harus mengkongkretkan prinsip kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan prinsip kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh untuk dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat keadilan serta pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak azasi manusia.

Kesimpulan

Politik Hukum Pemerintahan Daerah Aceh berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh mempertimbangkan hal hal sejarah aceh yang panjang dimana Aceh merupakan sebuah daerah yang dikenal dengan serambi mekah, yang memiliki arti bahwasannya Aceh memiliki khas tersendiri dari pada daerah-daearh lainnya yakni kepada corak keagamaan yang kental dan adat istiadat islam yang kental di Aceh. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan sebuah aspirasi dari masyarakat aceh untuuk memberlakukan syari’at Islam.

Bentuk kebijakan politik hukum pemerintahan Acehyakni dengan memberlakukan Syari’at Islam di Aceh dan dibentuknya beberapa lembaga  adat yang kental dengan keagamaan dan sebagai penunjang diberlakukannya Syari’at Islam di Aceh yang antara lain Mahkamah Syari’yah, Majelis Permusyawaratan Ulama, Lembaga Wali Naggroe, Lembaga Adat yang terdiri dari  Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim Imeum chik,  Keuchik, Tuha Peuet, Tuha Delapan,  Imeum Meunasah, Keujreun Blang, Panglima laot, Pawang Glee, Peutua Seuneubok, Syahbanda. Dinas Syari’at Islam, Wilayatul Hisbah.

saran

Agar dalam menentukan kebijakan politik hkukum pemeirntahn daerah di Aceh lebih menitik beratkan kepada hal-hal yang lebih memiliki suatu yang memberikan perubahan keapda masyarakat khususnya di Aceh dari pada hal

hal yang dalam pokoknya atau perinsipnya tidak dapat merubah apa yang diingkinkan oleh masyarakat Aceh. Lahinya qanun dapat dikatakan sebagai kebijakan pemerintah daerah khsusunya Aceh yang menentukan arah dan kebijakan pemerintahan daerah maka seharusnya Pasal 28 UUD 1945. Pada dasarnya, berdasarkan ilmu perundang-undangan, qanun memang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, termasuk tidak boleh juga bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, kita juga harus melihat bahwa ada UU No. 11/2006 yang menjadi dasar adanya qanun tersebut. Sehingga, ada yang berpendapat, seharusnya yang diuji terlebih dahulu adalah UU No. 11/2006 yang menjadi dasar dari qanun tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih Jinayah, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (filosofis,sejarah perkembangan dan problematika)”, Pustaka Pelajar, 2005.

Sulaiman Tripa, Hukum dan Kepentingan, http://aceh.tribunnews.com/2013/08/19/hukum-dan-kepentingan, Kolom Opini Serambi, diunduh 8 Oktober 2013, Pukul 09.00WIB.

Solly Lubis, Pembangunan Hukum (makalah), disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dlaam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusi RI, Denpasar.

Yusrizal,dkk. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh Sebagai Pengadilan Khusus, Kanun Peradilan, No. 53 edisi April 2011, Universyitas Syiah Kuala Press.

[2] Lihat Pasal 16 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan Urusan wajib yang menjedi kewenangan Pemerintahan Aceh sebagaimana dimaksud dalam  yang merupakan urusan dalam skala Aceh.

[3] Solly Lubis, Pembangunan Hukum (makalah), disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dlaam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusi RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

[4] Solly Lubis, Ibid. hal 18.

[5] Yusrizal,dkk. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh Sebagai Pengadilan Khusus, Kanun Peradilan, No. 53 edisi April 2011, Universyitas Syiah Kuala Press, hal, 100.

[6] Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih Jinayah, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 9.

[7] Sulaiman Tripa, Hukum dan Kepentingan, http://aceh.tribunnews.com/2013/08/19/hukum-dan-kepentingan, Kolom Opini Serambi, diunduh 8 Oktober 2013, Pukul 09.00WIB.

[1] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (filosofis, sejarah perkembangan dan problematika”, Pustaka Pelajar 2005, hal 18

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun