Mohon tunggu...
Fadhly Ardhi
Fadhly Ardhi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya adalah guru informatika di SMK N 1 Kalijambe Kab. Sragen. Saya sudah mengejar selama 6 tahun.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar dari Ki Hajar

15 Desember 2022   14:43 Diperbarui: 15 Desember 2022   14:48 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita pasti pernah mendengar tentang Ki Hadjar Dewantara. Beliau merupakan bapak pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara mempunyai Slogan yang terkenal yaitu

“ Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”

Semboyan atau jargon tersebut mempunyai makna yang sangat dalam di dunia pendidikan, sebenarnya tidak hanya di dunia pendidikan saja, tetapi juga dapat kita terapkan pada setiap elemen masyarakat.

Ing ngarso sung tulodo : di depan harus dapat memberikan contoh, yang dapat dimaknai jika menjadi pemimpin (depan) harus dapat menjadi contoh yang baik untuk yang lain. Contoh yang baik ini merupakan suritauladan bagi setiap anggota yang lain.

Ing Madya mangun karsa : Ditengah dapat membangun semangat, yang dapat dimaknai jika berada di posisi tengah harus dapat memberikan motivasi atau semnagat.

Tut wuri handayani : Dibelakang harus memberikan dorongan, yang dapat dimaknai jika kita berada di belakang maka kita harus mampu memberikan dorongan.

Semboyan itu akan mengarahkan posisi kita dimana dan tugas kita seperti apa.  

Pada logo kementrian pendidikan dan kebudayaan juga menggunakan semboyan tersebut, akan tetapi hanya di gunakan pada semboyan frasa yang terakhir “ Tut wuri Handayani”. Kenapa demikian?

Karena sejatinya pendidikan itu hanya medorong peserta didik menuju kodratnya. Seorang pendidik sejadinya tidak sebagai pemimpin, seorang pendidik mampu menuntun dan mengarahkan anak menuju keselamatan dan kebahagian.

Beberapa pemikiran ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan

  • Menuntun
  • Maksud pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada  anak-anak , agar mereka dapat mencapai ke selamatan dan kebahagia an yang setinggi- tingginya baik sebagai manusia , maupun anggota masyarakat. (KHD, 1936, Dasar-Dasar Pendidikan, hal.1, paragraph 4)
  • Pendidikan dimaksudkan dapat menunutun atau mengarahkan anak kepada keselamatan dan kebahagiaan.
  • “Pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada  anak-anak, agar dapat memperbaiki laku nya hidup dan  tumbuh nya kekuatan kodrat anak”  (KHD, 1936, Dasar-Dasar Pendidikan, hal.1, paragraph 5). Kodrat yang dimaksud adalah semua sifat –sifat bawaan anak dari gen atau DNA orang tuanya.
  • Kodrat seoarang anak adalah merdeka dan bermain. Kodrat merdeka dapat diartikan anak dapat bebas dan mandiri, bebas seacara lahir dan mandiri secara batin. Kodrat anak yang selanjutnya adalah bermain. Seorang anak pasti suka bermain, karena dengan bermain anak merasa senang dan tidak terikat dengan satu ikatan. Permainan dapat mengasah Pikiran-Perasaan-Kemauan-Tenaga (Cipta-Rasa-Karsa/Karya-Pekerti) anak. Misal pada permainan “congklak” anak dapat menghitung dan mengatur prediksi dan strategi. Sedangkan pada permainan “gobak sodor” anak dapat melatih tenaga/fisik dan kerjasaman, dan strategi. Permainan – permainan tersebut dapat menjadi bagian dalam proses pembelajaran.

  • Berpihak kepada anak
  • Bebas dari segala ikatan , dengan  suci hati mendekati sang anak ,  bukan untuk  meminta sesuatu hak , melainkan  untuk berhamba pada sang anak  (Ki Hajar Dewantara, 1922)
  • Pemikiran tentang berhamba pada anak itu tercetus dari suatu penyesalan yang pernah dirasakanoleh Soewardi ketika menghadapi setumpuk pekerjaan yang belum terselesaikan. Tangis Asti yang tiada henti-hentinya dirasakan sebagai suatu hambatan yang mengganggu tugasnya. Lalu denganserta merta diseretnya anak itu keluar, dan tanpa berpikir panjang,  dibiarkannya Asti kecil menangis di balik hempasan pintu rumah. Salju yang berjatuhan di jendela tiba-tiba menyadarkan kekalutan pikirannya. Dia lari secepatnya, lalu dibukanya pintu dan Asti sudah tampak biru, menggigil kedinginan. Soewardi menyesal, sangat menyesal. Sambil memeluk anaknya yang  sedang tersengal-sengal berurai air mata itu, terucaplah kata kasih sepenuh hati: “Kowe bakale dak mulya ake selawase” Arinya: “Selamanya engkau akan aku muliakan.” Tuhan mendengar kata umat-Nya. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Asti tidak pernah dapat mengurus dirinya sendiri hingga sekarang; seluruh keluarga selalu berusaha untuk dapat melayani keperluannya. Pengalaman Soerwardi menjadi salah satu teori Pendidikan dalam perguruan yang dicita-citakan.
  • (Irna H.N. Hadi Soewita, Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan, 2019, hal.95-96)

  • Makna berhamba kepada anak atau pendidikan yang berpihak kepada anak adalah seorang pendidik harus cinta, kasih serta tulus dalam menuntun dan membimbing anak untuk mencapai keselamatan dan kebahagian. Proses kegiatan pembelajaran diorientasikan kepada peserta didik, dan berpusat pada peserta didik, sehingga dalam prosesnya peserta didiklah yang aktif dalam pembelajaran pendidik hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran mempersiapkan media dan sumber daya yang akan digunakan dalam proses pembelajaran.

  • Menebalkan kodrat
  • Anak lahir dengan kekuatan kodrat yang  masih samar- samar . Tujuan Pendidikan adalah menuntun (memfasilitasi/membantu) anak untuk menebalkan garis samar-samar agar dapat memperbaiki laku nya untuk menjadi manusia seutuhnya .  (KHD, 1936, Dasar-Dasar Pendidikan). Kodrat yang dibawa oleh anak perlu di pilah, antara kodrat positif dengan kodrat negatif. Dalam proses pendidikan, pendidik harus mampu menebalkan kodrat positif anak dan mennghilangkan kodrat negatif anak.
  • Dalam proses penebalan laku anak dengan kekuatan konteks diri anak itu sendiri dan  sosio-kultural/budaya. Konteks diri anak dapat di maknai terhadap perubahan mental dan perasaan anak. Anak usia SD lebih suka berlari, bermain, semua tentang raga(wiraga), sedangkan untuk anak usia 16-17 tahun lebih senang dengan “passion” kecintaan terhadap sesuatu/hobi, sehingga dapat di ibarakan wirama. Sehingga sebagai seorang pendidik tentunya kita dapat memahami perbedaan karakter anak atau peserta didik dengan baik.
  • Selain menebalakan laku anak dengan kekuatan konteks diri anak yang tidak kalah penting adalah dengan mengenalkan anak pada budaya atau sosio kultural di lingkungan peserta didik itu berada. Dengan mengenalkan budaya lingkungan sekitar, anak nantinya dapat mengenali lingkungannnya, sehingga anak dapat bersosialisai di masyarakat dengan baik.
  • Malaui penebalan laku anak tersebut diharapkan peserta didik mempunyai budi pekerti (karakter) dan pemikiran yang harmonis

  • Petani
  • seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam jagung misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya jagung, ia dapat memperbaiki kondisi tanah ,  memelihara tanaman jagung , memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya.  (KHD, 1936, Dasar-Dasar Pendidikan, hal.2, paragraph 1)
  • Pada hakekatnya setiap anak itu berbeda-beda, dan tidak ada yang sama, setiap anak unik. Dalam hal ini Ki Hadjar Dewantara mengibaratkan anak seperti tanaman jagung, padi, kedelai dll. Padi, jagung dan kedelai mempunyai perlakuan yang berbeda-beda, tidak dapat disamakan ataupu di bandingkan. Sebagai pendidik, atau pada hal ini Ki Hadjar Dewantara mengibaratkan sebagai petani, harus mengenal benihnya apakah kodratnya dia jagung, padi ataupun kedelai sehingga petani paham akan perlakuaan yang nantinya diterapkan pada masing-masing benih tersebut. Sehingga tidak semua benih akan dijadikan padi, ataupun jagung, biarkan padi tetap tumbuh jadi padi dan janung tetap menjadi jagung dan kedelai tetap menjadi kedelai. Semuanya mempunyai perannya masing-masing, dan tidak bisa di samakan.

Dari filosofi Ki Hadjar Dewantara tersebut dapat diambil benang merah kita sebagai seorang pendidik harus dapat memahami karakter dan kodrat anak, sehingga kita dapat menuntun dan membimbing anak sesuai dengan kodratnya sdemi mecapai keselamatan dan kebahagian dengan menebalkan laku budi pekerti yang baik dari peserta didik, dan menyamarkan laku yang dirasa kurang baik.

Referensi

Dewantara, K.H. (1936). Dasar-dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun