Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI adalah organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia. Berdiri pada 5 Februari 1947, kiprah HMI tidak dapat dipandang sebelah mata. Sebagai organisasi yang berlandaskan pada kaderisasi, HMI telah banyak menelurkan bermacam-macam kader. Di antara alumni HMI ada yang berkiprah di bidang politik, akademik, budaya, sosial-ekonomi dan tentu saja keagamaan.
Sungguh pun demikian, keberadaan HMI sebagai wadah mahasiswa Islam saat ini, jika boleh dikatakan, dalam posisi antara ada dan tiada. Pasalnya, begitu jarang saat ini ada aksi-aksi yang menanyakan keputusan pemerintah yang bersifat fundamental. Kebanyakan para kader saat ini terninabobokan oleh kondisi serba nyaman yang justru membuat mereka statis, beku dan kaku.Â
Adakah seorang anggota atau kader yang memersoalkan kasus Saut Sitmorang? Mungkin sebagian ada yang tidak sepakat untuk reaksi yang dilakukan, namun kebanyakan sepakat bahwa apa yang diucapkan oleh Saut adalah sebuah pencemaran. Akan tetapi, titik persoalan bagi saya pribadi, bukan perlu atau tidaknya sebuah reaksi terhadap statement tersebut, melainkan mana aksi atau pro-aksi untuk mengadvokasi masyarakat?
Saya yakin, kawan-kawan satu cabang, satu komisariat akan menertawakan tulisan saya ini atau lebih buruknya mencaci maki dan menghina. Namun, inilah kegelisahan dan keresahan yang saya rasakan. Mau bagaimanapun, sekali berkecimpung di HMI, saya terus merasa terkait dengan HMI, sampai kapanpun. Dan tulisan yang tidak seberapa ini adalah sebuah curahan hati, jika tidak boleh dikatakan kritik dan saran, seorang kader akar rumput yang mungkin sudah tidak memiliki potensi untuk berkarier lebih lanjut, baik secara struktural maupun jenjang perkaderan.
Antara Gerbong Intelektual dan Gerbong Politik
Pembicaraan awal tulisan ini, saya pikir tepat membahas mengenai dua gerbong terkuat di HMI, yang secara silih berganti menjadi kendaraan bagi para kader setelah usainya berkarier di HMI. Di antara kedua gerbong ini, berdasarkan beberapa diskusi dengan kawan-kawan, saya menyimpulkan bahwa gerbong intelektual lebih dahulu muncul ketimbang gerbong politik. Gerbong intelektual dan gerbong politik yang dimaksud adalah sebuah istilah untuk menunjukkan concern dari para kader HMI.
Istilah gerbong intelektual dapat dipastikan, mulai dikenal sejak kepemimpinan PB HMI di bawah Nurcholish Madjid, satu-satunya Ketua Umum PB HMI yang menjabat selama dua periode. Selain disebabkan banyak bermunculan kader-kader yang memilih bidang akademik sebagai wadah untuk mengembangkan diri, juga Nurcholish sendiri adalah seorang pemikir muda Islam Indonesia yang disegani, baik oleh yang pro maupun kontra dengannya. Bersamanya, muncul tokoh-tokoh lain, seperti Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi dan sebagainya. Selama periode inilah, pemikiran-pemikiran fresh tentang keindonesiaan dan keislaman mulai marak diperbincangkan.
Akan tetapi, selepas Nurcholish saya berkesimpulan bahwa gerbong intelektual bukan lagi sebuah gerbong eksekutif yang diminati. Gerbong tersebut telah tergantikan oleh gerbong lain yang memiliki nilai jual tinggi. Gerbong yang dimaksud adalah gerbong politik.
Saya memang tidak berusaha menafikan bahwa HMI memang berpolitik, baik secara praktis maupun teoretis. Akan tetapi, sejak masa Akbar Tandjung menjadi Ketua Umum PB HMI, kebanyakan minat para kader selepas berproses di internal HMI dapat dipastikan mayoritas akan memilih gerbong politik sebagai wadah untuk memberikan yang terbaik bagi umat dan bangsa.Â
Sehingga muncul sebuah stigma bahwa berorganisasi (termasuk di HMI) adalah salah satu cara, jika tidak dikatakan sebuah cara, untuk menjadi seorang politikus handal dan disegani. Dan perpolitikan praktis saat ini, entah di masa lampau, menurut pandangan kerdil saya, sudah dimulai sejak para kader berproses di jenjang perkaderan. Sungguh hal yang sangat disayangkan.
Tidak heran kemudian, banyak kader-kader di kalangan anggota aktif lebih mengunggulkan kepiawaiannya dalam permainan politik di forum RAK, Konfercab atau bahkan sampai Kongres. Saya tidak terlalu memahami dan tidak terlalu ingin mengetahui, mungkin bisa saja sebenaranya apa yang mereka lakukan bukan untuk melakukan politik praktis itu sendiri, namun apalah daya yang tidak mengetahui hanya mampu menilai secara dzahir saja. Dan gerbong terakhir ini, menurut saya masih menjadi yang paling diminati oleh para kader.