Mohon tunggu...
Aleksandr I
Aleksandr I Mohon Tunggu... Mahasiswa -

"Para penyambung lidah bernubuat palsu dan para wakil mengajar dengan sewenang - wenang, serta yang diajar menyukai yang demikian! Tapi apa yang akan mereka perbuat, apabila datang endingnya?"

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Hadapan Kebenaran-Nya

20 September 2018   18:54 Diperbarui: 20 September 2018   19:18 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangkamu, kita paham kitab suci
dan kita mampu nyatakan kebenaran dari dalamnya?
Lihatlah, Sang Firman sendiri membungkuk
dan menulis di tanah.
Dia menulis kebenaran di tanah bumi,
bukan di lembar kitab suci.
Tetapi kita sering membela kitab suci,
bukan membela tanah bumi. 

Sangkamu, kita tahu sabda-Nya
dan kita mampu lakukan seutuhnya kebenaran?
Jujurlah, bukankah kita tidak tahu
 gerangan apa dituliskan-Nya?
Kita membaca cuma kebenaran diri sendiri,
bukan kebenaran Dia yang sejati.
Pantas kita sering membela diri,
bukan membela dia yang miskin tersisih. 

Dalam kitab suci kita membaca kisah
para pembela agama
yang bernafsu untuk mendera
dia yang dipandang kelas dua atau kelas tiga,
yang dianggap menista agama
dan dicap kafir penuh dosa.
Itulah kisah wibawa kitab suci
yang dijumpai wibawa tanah bumi.
Para pembela tak bisa berbuat apa-apa.
Mereka meninggalkan dia,
bersama batu-batu tak terlempar,
pergi satu-satu tak komentar. 

Di hadapan kebenaran-Nya yang sejati,
nyatanya kita ditelanjangi;
dilucuti segala manipulasi
demi kepentingan diri sendiri.
Seharusnya kita berkata:
"Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi,
tidak sanggup aku mencapainya." 

Tak pernah kita paham seutuhnya,
pun tak tahu sejelas-jelasnya
Yang Mahasuci dan kebenaran-Nya.
Selalu ada misteri dari segala yang Dia beri. 

Lebih baik, kita berkata:
"Sesungguhnya, aku ini terlalu hina;
jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu?
Mulutku kututup dengan tangan.
Satu kali aku berbicara,
tetapi tidak akan kuulangi;
bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan." 

Lebih baik aporia
daripada euforia,
di hadapan kebenaran-Nya. 

Timur-Utara Jogja, 28 Mei 2017 hendrimsendjaja

A. N. : Puisi ini dimuat di Kompasiana atas seijin penulis, Hendri M. Sendjaja, M. Ac. Lic. Th., Dosen Fakultas Teologi UKDW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun