Mohon tunggu...
Aleitha Alamanda
Aleitha Alamanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Representasi Toxic Masculinity dalam Film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas"

7 Januari 2024   16:48 Diperbarui: 7 Januari 2024   16:51 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Sumber Foto: Imbd.com

Film memiliki kekuatan yang mampu mempengaruhi penontonnya. Film yang mencakup hal positif dapat memberikan dampak positif dan bermanfaat bagi penontonnya, begitupun sebaliknya. Perfilman di Indonesia semakin berkembang dengan banyak merilis film yang memiliki alur cerita beragam serta banyak mengangkat isu-isu yang ada di kehidupan kita sehari-hari. Salah satu film yang juga mengangkat isu yang ada di sekitar kita namun banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa isu itu sangat penting yaitu terdapat pada film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas". Merupakan sebuah film yang memiliki genre drama romance dan action, dengan durasi 114 menit film ini dikemas dengan sangat baik. Film yang diangkat dari novel karya Eka Kurniawan dengan berlatar cerita tahun 1980-an ini dirilis pada Tahun 2021 dan diproduseri oleh Meiske Taurisia juga Muhammad Zaidy serta disutradarai oleh Edwin. Dalam film ini menceritakan tentang seorang laki laki yang harus selalu kuat dan tidak boleh terlihat lemah. Hal ini mencuri banyak perhatian penonton sebab film ini berani mengangkat isu-isu sensitif seperti kekerasan seksual, kepercayaan terhadap hal gaib dan juga membahas isu toxic masculinity. Namun, tahukan kamu apakah toxic masculinity itu?

Berbicara tentang toxic masculinity mungkin masih awam di sekitar masyarakat kita dan masih banyak yang tidak aware terhadap isu ini. Pada dasarnya, toxic masculinity merupakan konstruksi sosial mengenai bagaimana laki-laki seharusnya berperilaku dengan "memaksakan" standar "jantan" atau "laki-laki sejati" dimana laki - laki tidak boleh menangis, tidak boleh lemah, harus selalu kuat dan stereotip lainnya (Sheren 2020). Stereotip seperti inilah yang menghasilkan banyak tuntutan bagi laki-laki sehingga memberikan dampak buruk pada kesehatan mental mereka dan memunculkan tindakan kekerasan pada diri mereka. Psikolog Inez Kristanti (dalam Warastri 2019) mengatakan bahwa ketika anak laki-laki terus tertekan dalam berekspresi atau melampiaskan emosi sejak kecil, maka ia tidak mengetahui bagaimana mengelola emosi tersebut dengan baik hingga dewasa. Emosi-emosi tersebut akan cenderung diekspresikan dalam bentuk yang tidak baik, seperti kekerasan. Salah satu riset yang dilakukan World Health Organizatin (WHO) menyatakan bahwa sekitar 2,9% dari 100.000 orang melakukan bunuh diri dimana pria mendominasi dari angka tersebut. Disebutkan bahwa penyebab utama nya adalah banyak pria yang melakukan bunuh diri disebabkan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi tuntutan masyarakat kepada mereka dalam menjalani peran sosial sebagai pria. Tidak dapat dipungkiri memang di Indonesia sendiri masih banyak masyarakat yang secara tidak sadar sudah menerapkan stereotip toxic masculinity (Novalina et al. 2022).

Anggapan-angapan bahwa laki-laki tidak boleh lemah, harus selalu kuat dan tidak boleh menangis sudah tidak asing lagi bagi kita. Padahal, menangis merupakan sebuah ekspresi yang manusiawi. Menangis adalah suatu bentuk pelepasan emosi yang penting bagi kesehatan mental seseorang. Dengan menangis, kita dapat mengungkapkan perasaan kesedihan, kekecewaan, atau bahkan rasa lega. Tidak ada batasan dan larangan bahwa yang boleh menangis hanya perempuan dan laki-laki tidak boleh menangis. Ketika stereotip semacam itu semakin meluas, akan muncul ketidakseimbangan gender dalam masyarakat. Masyarakat akan sering menilai tingkat maskulinitas seseorang berdasarkan aturan dan norma yang berlaku, seperti yang diperlihatkan oleh masyarakat itu sendiri. Stereotip mengenai toxic masculinity ini direpresentasikan pada sebuah film berjudul "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" yang menceritakan tentang Ajo Kawir (diperankan Marthino Lio), pria jagoan yang memiliki hasrat yang besar untuk bertarung dengan siapa pun, tak takut mati, dan seringkali melakukan tindak kekerassan pada orang lain. Pada kenyataannya Ajo Kawir adalah pria impoten yang memiliki kekurangan dan berusaha menutupi kekurangannya dengan segala cara agar ia terlihat jantan. Dalam film ini sangat merepresentasikan penguatan karakter toxic masculinity pada karakter utamanya yaitu Ajo Kawir.

Salah satu scene dalam film dimana Ajo Kawir yang sedang bertarung dengan Iteung. Sumber foto: Imbd.com
Salah satu scene dalam film dimana Ajo Kawir yang sedang bertarung dengan Iteung. Sumber foto: Imbd.com

Sisi toxic masculinity pada film diperlihatkan dari beberapa scene yang ditunjukan, salah satunya terdapat pada scene saat Ajo Kawir yang ditantang bertarung oleh Iteung (diperankan oleh Ladya Cheryl). Awalnya Ajo tidak ingin terlibat dengan wanita. Namun, saat iteung mulai memukul, Ajo merasa tertantang dan sisi maskulinitas Ajo Kawir terlihat, karena Ajo tidak mau dianggap rendah sehingga akhirnya ingin melawan Iteung. Dalam scene itu terlihat jelas bahwa Ajo merepresentasikan bahwa laki-laki tidak boleh terlihat lemah dihadapan orang lain. Scene lain yang menunjukan sisi toxic masculinity Ajo terdapat pada scene dimana saat Ajo sedang berada di sebuah tempat billiard, kemudian ada salah satu karakter yang menyindir Ajo dan mengakibatkan Ajo memukul karakter tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa Ajo ingin mendominasi laki-laki tersebut didepan banyak orang agar ia tidak dianggap remeh dan mampu melawan siapapun yang sedang berhadapan dengannya. Scene ini juga bentuk representasi hasil dari toxic masculinity dimana menghasilkan dampak buruk pada laki-laki sehingga berakhir sering melakukan tindakan kekerasan.

Meskipun film ini berlatar tahun 1980-an, tetapi film ini sangat dianggap relevan di zaman sekarang sebab masyarakat zaman sekarang masih banyak yang kurang aware mengenai isu toxic masculinity ini dimana seharusnya masyarakat sudah memiliki pemikiran lebih terbuka dibandingkan zaman dahulu. Representasi toxic masculinity pada film ini sangat memberikan efek yang cukup membuka mata akan kenyataan yang ada di masyarakat dulu dan sekarang bahwa hal tersebut sangatlah berdampak negatif sehingga tentunya harus dihilangkan dari hubungan sosial kemasyarakatan. Mengubah cara pandang maskulinitas dan menghadapi toxic masculinity pada masyarakat membutuhkan waktu yang cukup panjang. Hal tersebut dikarenakan keduanya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat sejak lama dan akan sangat sulit jika diubah dalam waktu yang cepat. Selain itu, untuk mengajak perubahan pandangan negatif tentang toxic masculinity, perlu dilakukan dengan hati-hati dan melalui proses secara perlahan agar tidak menimbulkan risiko atau konflik.

Potret salah satu scene yang dterdapat dalam film. Sumber Foto: Imbd.com
Potret salah satu scene yang dterdapat dalam film. Sumber Foto: Imbd.com

Salah satu cara untuk mengatasi isu toxic masculinity adalah dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyakarta mengenai isu ini. Masyarakat harus diberikan pemahaman mengenai kesetaraan gender, hak-hak individu, dan pentingnya menghormati pilihan hidup orang lain terlepas dari apa gender mereka. Selain memberi kesadaran pada masyarakat, hal paling utama adalah dengan dimulai dari meningkatkan kesadaran pada diri kita sendiri untuk aware terhadap isu tersebut. Dalam menghadapi isu toxic masculinity pada laki-laki, kita dapat mencoba memberi pemahaman dan mendorong mereka untuk lebih terbuka dalam mengekspresikan emosi mereka.

Orang tua juga harus bisa memberi pemahaman kepada anak-anak sejak kecil bahwa tidak ada larangan untuk menangis atau bersedih serta berbagi perasaan yang dirasakan. Satu langkah penting yang lain adalah dengan berbicara tentang emosi dengan laki-laki, tanpa menghina mereka atau mempermalukan mereka jika tidak sesuai dengan stereotip maskulinitas dalam masyarakat (himapsikologi 2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun