Mohon tunggu...
Andri Mulyawan
Andri Mulyawan Mohon Tunggu... -

lebih memabukkan dari anggur merah. anak HI yang doyannya joged - joged, ngopi, ama makan, idealis harus sableng tetep ✌

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekerasan Verbal di Lingkungan Gay, Ketika Tutur dan Logat sebagai Penyebab Perundungan di Kaum Homoseksual

28 Januari 2019   12:54 Diperbarui: 28 Januari 2019   14:28 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara dengan budaya, ras, agama, dan tata bahasa yang beragam serta sangat majemuk. Setiap daerah mempunyai kekhasan serta keunikan karena pengaruh daripada budaya yang menempel sejak lahir dan dia dibesarkan. Orang Indonesia bahkan dianggap mempunyai kemampuan trilingual yaitu berbahasa Inggris, Indonesia dan bahasa daerah yang dibawakannya sejak lahir. 

Bahasa daerah selalu identik dengan logat, logat adalah perbedaan pengucapan kata dari lekuk lidah yang khas berdasarkan daerah seseorang itu tinggal. Oleh karena itu, logat dikenal pula sebagai aksen ragam daerah. 

Setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri dalam mengucapkan suatu kata dan kalimat, karenanya jika beberapa orang dari berbagai daerah mengucapkan kata yang sama dalam bahasa Indonesia, akan terdengar cara pengucapan atau logat yang berbeda-beda. Logat juga menempel tidak memilih orientasi seksual, dia akan menempel kepada setiap orang yang lahir di daerah tertentu, tanpa terkecuali.

Di kalangan kehidupan gay sebagian besar, kadang logat dan tutur bahasa selalu dikaitkan dengan bagiamana mereka menilai seseorang itu feminin dan maskulin. Sebagai contoh adalah beberapa kaum gay menganggap bahwa panggilan "bro, sob, mameen" adalah salah satu panggilan yang dianggap maskulin dibanding menggunakan kata "aku, kamu, saya, beliau, dan dia" karena dianggap feminin. Belum lagi tentang logat, beberapa logat sunda sering dianggap sebagai logat yang feminin karena dianggap lebih soft, dibanding dengan logat-logat lainnya di Indonesia. 

Pertanyaanya, mengapa hal ini terjadi? Saya akan menguraikan beberapa penelitian yang saya coba uraikan dan dikaitkan kedalam sebuah pemaparan yang jelas mengapa hal ini terjadi. Yang pertama adalah, Stereotype atau yang disebut sebagai penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok dimana orang tersebut dapat dikategorikan. Artinya ada penilaian yang sangat pakem terutama terhadap image laki-laki harus bertindak. Beberapa stereotype ini dianggap warisan dari leluhur yang menggambarkan bahwa laki-laki itu harus tegas, bernada gagah, tidak lembek dan tidak lentur. Stereotype ini menjalar hingga ke tatabahasa, pemilihan diksi yang lembut, dan lentur dianggap sebagai femininitas.

Permasalahan Stereotype yang berkembang hingga kepada tata bahasa dan logat penuturan seseorang akan menjadi bahan perundungan dan parahnya kekerasan verbal, kekerasan verbal adalah kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata menyakitkan, sarkasme, kata kata ofensif, dan mendiskreditkan hingga menyebabkan depresi. 

Beberapa kaum gay masih senang melakukan kekerasan verbal, menjustifikasi seseorang pria "ngondek" dan mendiskreditkannya hanya karena mempunyai logat dan penuturan bahasa yang lembut, lentur, dan sangat jauh dari bayangan maskulinitas. Sebagai contoh pada salah satu akun twitter menyebutkan bahwa penyebutan "aku-kamu" oleh seorang pria berotot akan dianggap tidak pantas karena tidak sesuai dengan fisik yang dipunya (gagah dan berotot) memiliki tutur bahasa yang lentur dan lembut dan tidak sesuai dengan bayangan maskulinitas yang diharapkan, seharusnya  memilih kata "bro" supaya sesuai dengan bayangan maskulinitas.

Satu-satunya solusi ini adalah melepaskan semua stereotype yang terbentuk dengan lebih menghargai perbedaan dan kemajemukan logat. Karena tidak semua masyarakat mempunyai logat dan tutur bahasa yang satu frekuensi dengan stereotype yang terbentuk dan menjalar dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya di lingkungan kaum homoseksual. Sehingga, perlu ada kedewasaan untuk tidak menjadikan sebuah stereotype sebagai penentu karakter maskulin ataupun feminin pada seorang pria.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun