Mohon tunggu...
Almahfudzi
Almahfudzi Mohon Tunggu... Petani - Ketika jurnalisme dibungkam, tetangga sebelah harus #nggosip

Pemuda kelahiran Bogor, 01 Maret 1995. Tulisan lainnya bisa dikunjungi di https://suakatarsis.wordpress.com/ https://penakota.id/penulis/aldyalmahfudzi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Bogor ke Cengkareng; ke Dalam Diri

26 Februari 2020   03:28 Diperbarui: 11 Mei 2020   09:54 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu terus bergerak, melangkah, dan sekarang menunjuk jarum jam ke posisi angka 1 lewat beberapa menit. Langit malam yang sedari tadi terbatuk akhirnya berdahak menumpahkan komplotan hujan--yang jika tak segera menepi ke bawah fly over, basahlah tubuh kita yang telanjang tanpa terbalut mantel. Malam bertambah larut ketika belum sampai ke tempat tujuan. Tapi dingin tak begitu menusuk. Ada apakah? Di kota, ini hari sebegitu panasnya? Oleh apa? Kalimat itu terdengar seperti pertanyaan yang dilontarkan anak kecil dari desa yang baru menginjakkan kaki di kota.

Sebelum sampai di jalanan itu, saya telah mendengar kabar seminggu kemarin tentang saudara sepupu yang kenikmatan hidupnya "dikurangi" barang sejenak oleh penyakit. Membayangkannya memang bukan sesuatu yang baik-baik saja bagi pikiran saya yang dirimbun masalah serupa tetumbuhan liar duniawi, terlebih penyakitnya itu membutuhkan penanganan lebih; melibatkan beberapa dokter ahli bedah untuk mengangkat sarang penyakit dalam tubuhnya. 

"Ini akan lebih banyak melibatkan orang-orang yang menengadah berharap memohon do'a keselamatan, melibatkan dokter ahli, juga malaikat yang diutus oleh-Nya bakal mengawasi di setiap sudut ruangan; menempel di sebilah pisau bedah tajam mengilat, dan maut adalah benang tipis nan lembut yang mudah putus jika disentuh oleh kehendak-Nya". Pikir saya waktu itu, sebelum bergegas pergi--dari Bogor ke Cengkareng--menemuinya sekadar urun semangat.

Tapi bukankah hidup ini memang tak pernah lepas dari keterlibatan-Nya dalam setiap tarikan nafas, di setiap gerakan, setiap langkah, dan sekarang, saya berada diantara bisingnya kota dengan perasaan diawasi ribuan pasang mata malaikat maut yang entah sudah berapa kali menoleh ke tubuh ini (saya pernah mendengar pemuka agama menyebutkan, tujuh puluh kali dalam sehari malaikat maut bertanya kepada Tuhan tentang kapan waktu mereka mengambil jatah hidup manusia), Maasyaa Allah. Itu artinya, bisa saja ia melempar saya ke tengah-tengah jalan dengan mobilitas yang tak pernah tidur ini kapan pun pertanyaan pasukan malaikat itu di-iya-kan oleh perintah-Nya. 

Atau dengan cara lain, "saya dibuat gila dengan masalah duniawi lalu mencari gedung tertinggi, dan setelah naik, saya akan terjun dari atas gedung lima puluh tingkat itu", misalnya. Tapi tidak, yang Maha menghendaki belum mau memisahkan ruhku dengan tubuh yang sedang menepi di tengah kota dengan kepungan gedung-gedung yang hampir mencium langit ini, beruntung pula saya tak pernah diberi tahu cara menaiki gedung-gedung itu atau menginjakkan kaki sekadar merasakan ruangan yang hawa dinginnya dibuat-buat.

Saya masih hidup, dan yang lebih penting dari itu adalah anugerah menikmati kegilaan--yang mudah-mudahan waras. Ayunan pisau bedah dokter ke tubuh sepupu saya tak sampai memutus benang tipis yang bisa saja membuat tubuh pengepung ruhnya itu terlepas. Oh syukurlah itu kabar baik, operasinya berhasil, ia diperbolehkan pulang untuk selanjutnya dirawat di rumah. Saya masih diberi kesempatan bertemu dengannya. 

Tapi sekarang baru sampai di jalanan ini; berpapasan dengan orang-orang dengan berbagai latar belakang kelas, berteduh di bawah fly over bersama buruh pabrik, driver ojek online, dan pedagang kopi eceran, bercakap tukar cerita bagaimana mengatasi atau sekadar menutupi biaya keseharian masing-masing dari mereka sambil menyaksikan pementasan semesta kota yang riuh tapi gagal menyusun bahasa keindahan. Bahasa keindahan? Siapa pula hari ini peduli bahasa.

Asumsi saya terhadap keterlibatan-Nya itu mesti diiringi permenungan yang lebih. Sebab, pikiran dungu saya dibawa lari oleh ingatan kampanye tentang era emas Indonesia di tahun 2045 yang makin gencar disuarakan. Belum lagi Omnibus law yang sejak rabu, 12 Februari 2020 kemarin telah sampai ke DPR. Membayangkannya, membuat kaca benggala saya yang awam makin mengembun, kemudian yang terpantul pada saya adalah pemahaman tentang rancangan sistem pembangunan jembatan yang nantinya hanya memudahkan akses para pemodal besar, korporat, investor, dan kaum terdidik. Mereka bakal semakin "enjoyyed" dibuatnya.

"Bagaimana jika jembatan itu berhasil direalisasikan? mereka semakin leluasa ngebut kian trengginas menginjak pedal gas; melejit di atas aspal peradaban dengan kubangan air keruh di sepanjang jalanan yang belum terselesaikan, dan tanpa disadari roda peradaban yang mereka tumpangi telah mencipratkan kubangan air keruh tersebut pada kita yang berteduh 'toto tentrem karto rahardjo' di bawah fly over". Saya makin menyangsikan "kemajuan" dan "era emas" itu, mengingat yang ditimbulkan di atas meja sana hanyalah silang sengkarut bahasa kekacauan dan saling curiga belaka.

Beberapa data memang ada yang menyebutkan negeri ini telah beralih dari negara berkembang ke negara maju. Kemajuan tersebut dilihat dari roda ekonomi dan sektor pembangunan yang sifatnya materialistis namun tidak diimbangi dengan pembangunan manusia yang mungkin hanya dianggap imateriel dan tak menguntungkan. Sementara anak kecil seperti saya dan masyarakat awam lain masih berkutat dengan masalah dari cipratan kubangan yang airnya makin keruh sambil membayangkan perjalanan menuju "era emas" yang nantinya, menurut hemat saya, hanya akan dinikmati mereka yang terdidik, dan faktanya "keterdidikan" hari ini masih milik mereka yang tingkat ekonominya di atas rata-rata. Di mana letak kemajuan yang sedang dituju? Untuk apa pembangunan ini? Lalu untuk siapa sebenarnya peradaban ini dibangun?

Saya menaruh syak pada mereka yang katanya membangun atau berbalik kekhawatiran jika ternyata "kemajuan" bergerak "say hello" meninggalkan kaum terpinggir karena sudah tak ada keterlibatan diri-Nya (bagaimana mungkin ia terlibat kalau manusia satu masih menginjak manusia lain?) atau mungkin ia hanya sebatas teks dalam kitab kuno yang tertinggal nun jauh di sana akibat cepatnya laju peradaban, sehingga diri-Nya makin bias dan tak diperlukan lagi bagi kelangsungan "pembangunan". Saya akan mengucap bela sungkawa lebih cepat terhadap "peradaban" jika ternyata roda pembangunan tak lagi melibatkan diri-Nya bahkan makin menggilas eksistensinya dalam setiap langkah (meskipun Tuhan sendiri tidak marah kalau ia tidak dilibatkan dalam pembangunan peradaban dan akan tetap dengan ada-Nya).

Doa-doa dirapalkan, harapan orang-orang sama sepanjang zaman: ratu adil turun dari langit. Namun masalah kita hari ini lebih dari sebatas masalah seperti yang dikemukakan Manson: dunia hari ini bukan lagi krisis ekonomi, lebih jauh dari itu adalah krisis eksistensial. Penyakit kronis "hubbud dunya" sebuah negeri yang jelas membutuhkan penanganan lebih. Membutuhkan lebih banyak keterlibatan masyarakat yang kuat nilai-nilai spiritualitasnya. Membutuhkan lebih banyak pemikir yang kepalanya bukan hanya berisi koprolit; yang sebatas pikiran untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah, seolah hidup hanya soal perut yang akan berakhir di lubang kakus: plung, lalu remuk dan meninggal dengan bau menyengat seperti remukan tahi yang selesai ditembakkan. 

Negeri ini membutuhkan pendidikan yang sebenar-benarnya pendidikan, bukan pendidikan yang setelah sarjana hanya berteduh di bawah ketiak oligarki, bukan pula pendidikan yang hanya mengarahkan pada perdagangan dan pasar, sehingga pendidikan menciptakan lebih banyak dokter ahli khusus yang tangannya bersih untuk dapat mengangkat sarang penyakit dalam tubuhnya. Dan tentu saja membutuhkan pemuda, minimal 1 dari 10 yang disebutkan Soekarno.

Sejalan dengan itu, jauh sebelum pendapat Manson, Albert Camus--kalau saya tidak salah menerapkannya--pasca perang Dunia II, lebih dulu memberi penilaian terhadap kondisi yang dirasakan masyarakat dunia: angkuh, hedonis, dan lelah dari kehidupan. Energi kita mungkin terkuras sebab disibukkan dari hari ke hari oleh keangkuhan dunia yang terlampau hedon. 

Hujan telah selesai menyisakan genangan, dan saya telah sampai di kediaman sepupu saya, memandang luka pasca operasinya.

Membayangkan laju peradaban ini hari jauh lebih mengerikan dari luka pasca operasi dan jauh lebih melelahkan dari perjalanan Bogor-Cengkareng. Saya harus mengasihani tubuh ini, terlebih menguras otak yang terlalu sibuk dengan urusan-urusan serupa gundukan tahi yang menjijikan itu. Namun saya percaya bahwa perjalanan adalah sebuah proses pertumbuhan pohon-pohon yang nantinya meneduhkan--ruang berkontemplasi. 

Seketika saya teringat aforisme Horace dalam penggalan tulisannya di tahun 23 SM, "Carpe Diem: petiklah hari ini". Salah satu petikan dari pohon pertanyaan yang mungkin ditanyakan banyak orang: "Di mana hari ini yang masih tersisa sedikit celah untuk sekadar istirahat dari laju peradaban?"

Suatu kerinduan tetirah ke dalam diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun