Doa-doa dirapalkan, harapan orang-orang sama sepanjang zaman: ratu adil turun dari langit. Namun masalah kita hari ini lebih dari sebatas masalah seperti yang dikemukakan Manson: dunia hari ini bukan lagi krisis ekonomi, lebih jauh dari itu adalah krisis eksistensial. Penyakit kronis "hubbud dunya" sebuah negeri yang jelas membutuhkan penanganan lebih. Membutuhkan lebih banyak keterlibatan masyarakat yang kuat nilai-nilai spiritualitasnya. Membutuhkan lebih banyak pemikir yang kepalanya bukan hanya berisi koprolit; yang sebatas pikiran untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah, seolah hidup hanya soal perut yang akan berakhir di lubang kakus: plung, lalu remuk dan meninggal dengan bau menyengat seperti remukan tahi yang selesai ditembakkan.Â
Negeri ini membutuhkan pendidikan yang sebenar-benarnya pendidikan, bukan pendidikan yang setelah sarjana hanya berteduh di bawah ketiak oligarki, bukan pula pendidikan yang hanya mengarahkan pada perdagangan dan pasar, sehingga pendidikan menciptakan lebih banyak dokter ahli khusus yang tangannya bersih untuk dapat mengangkat sarang penyakit dalam tubuhnya. Dan tentu saja membutuhkan pemuda, minimal 1 dari 10 yang disebutkan Soekarno.
Sejalan dengan itu, jauh sebelum pendapat Manson, Albert Camus--kalau saya tidak salah menerapkannya--pasca perang Dunia II, lebih dulu memberi penilaian terhadap kondisi yang dirasakan masyarakat dunia: angkuh, hedonis, dan lelah dari kehidupan. Energi kita mungkin terkuras sebab disibukkan dari hari ke hari oleh keangkuhan dunia yang terlampau hedon.Â
Hujan telah selesai menyisakan genangan, dan saya telah sampai di kediaman sepupu saya, memandang luka pasca operasinya.
Membayangkan laju peradaban ini hari jauh lebih mengerikan dari luka pasca operasi dan jauh lebih melelahkan dari perjalanan Bogor-Cengkareng. Saya harus mengasihani tubuh ini, terlebih menguras otak yang terlalu sibuk dengan urusan-urusan serupa gundukan tahi yang menjijikan itu. Namun saya percaya bahwa perjalanan adalah sebuah proses pertumbuhan pohon-pohon yang nantinya meneduhkan--ruang berkontemplasi.Â
Seketika saya teringat aforisme Horace dalam penggalan tulisannya di tahun 23 SM, "Carpe Diem: petiklah hari ini". Salah satu petikan dari pohon pertanyaan yang mungkin ditanyakan banyak orang: "Di mana hari ini yang masih tersisa sedikit celah untuk sekadar istirahat dari laju peradaban?"
Suatu kerinduan tetirah ke dalam diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H