[caption id="attachment_328246" align="aligncenter" width="240" caption="Sumber: Ilustrasi www.economist.com oleh David Simonds"][/caption]
Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi persaingan yang ketat antar produk dan jasa yang terus menerus berinovasi demi memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Beriklan merupakan salah satu upaya dari perusahaan untuk menarik hati serta mempersuasi khalayak. Ternyata, menurut riset yang dilakukan oleh media matters pada tahun 2007, seorang individu terpapar oleh 600-625 iklan setiap harinya, baik yang ia sadari maupun tidak. Iklan kini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang tidak bisa kita hindari.
Kreativitas merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah iklan. Namun, persaingan yang ketat membuat para pengiklan menyimpang dari nilai dan norma yang ada di masyarakat demi mendapatkan perhatian. Hal ini tentunya dapat berakibat buruk ke khalayak, karena ternyata seorang individu menyerap hingga 25% dari iklan yang ia tonton (Young:1990). Terlebih lagi, tidak sepenuhnya khalayak iklan adalah orang dewasa, namun juga anak-anak. Dikarenakan keberadaan iklan yang tidak dapat kita hindari, serta dampak besar yang dapat ia berikan kepada khalayak, maka isi dan pesan iklan harus dijaga agar sesuai dengan nilai dan norma yang ada di Indonesia. Lalu, siapa yang diberi wewenang untuk menjaga dan menegur para pengiklan agar taat dengan nilai dan norma yang ada?
Di Indonesia sendiri, ternyata masalah ini sudah mendapatkan perhatian dari pemerintahan dan berbagai lembaga terkait. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya kitab etika pariwara Indonesia (EPI) oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI) yang membahas mengenai tata krama dan tata cara periklanan di Indonesia. Teguran hingga pencabutan iklan akan diberikan kepada mereka yang melanggar EPI! Dari mulai isi iklan, jenis iklan, pemeran iklan hingga wahana iklan diatur dalam kitab ini. Selain untuk melindungi khlayak, dirancangnya EPI dengan tujuan menciptakan lingkungan periklanan yang kondusif, adil dan sehat.
Salah satu pasal yang paling sering dilanggar oleh para pengiklan adalah pasal-pasal yang terkait dengan pornografi dan pornoaksi. Apapun produk maupun jasa yang ditawarkan, pendekatan pornografi seringkali digunakan, meskipun tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk maupun jasa yang ditawarkan. Menurut saya, pendekatan pornografi paling sering digunakan karena pendekatan ini memiliki daya tarik yang kuat sehingga mampu mencuri perhatian khalayak. Pornografi pada dasarnya memang sudah melanggar norma dan nilai yang ada di masyarakat Indonesia, belum lagi pengaruhnya yang dapat ia berikan ke khalayak. Berikut bunyi pasal pornografi dan pornoaksi yang tertera di kitab Etika Pariwara Indonesia.
1.26 Pornografi dan Pornoaksi “Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan
cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun.” Definisi dari pornografi yang diberikan oleh EPI adalah segala penampilan gambar dan atau suara dalam pesan periklanan yang mengeksploitasi erotisme atau seksualitas.”
Dengan membaca pasal ini, tentu sudah terbayang beberapa iklan yang telah melanggar ataupun berpotensi melanggar ketentuan tersebut! Selain itu, berkaitan dengan pasal ini, seringkali yang dijadikan objek seksual dalam pelanggaran pornografi adalah wanita, maka EPI pun memiliki pasal yang membahas posisi perempuan dalam iklan.
3.2 Perempuan “Iklan tidak boleh melecehkan, mengeksploitasi, mengobyekkan, atau mengornamenkan perempuan sehingga memberi kesan yang merendahkan kodrat, harkat, dan martabat mereka.”
Pasal tersebut hanya beberapa dari pasal yang tertera di EPI. Tidak hanya posisi perempuan, namun kesetaraan jender dan khalayak anak anak pun tercantum dalam beberapa pasal lainnya. Hal ini memperlihatkan bagaimana EPI berupaya melindungi segala aspek dari iklan sehingga efek yang diberikan kepada khlayak tidak bersifat negatif dan tidak menuai kontroversi.
Apabila dilihat dari sisi pengiklan, tidak sedikit dari mereka yang menganggap EPI sebagai sebuah batasan bagi mereka untuk berkreasi dalam beriklan. Namun menurut saya adanya batasan-batasan justru membantu para pengiklan untuk mengasah dan menguji kreativitas mereka. Apabila diberi kebebasan yang mutlak maka para pengiklan pun tidak harus memutar otak untuk menciptakan sebuah iklan, karena apapun bisa dibuatnya. Oleh sebab itu dengan adanya batasan, para pengiklan mampu menciptakan karya yang luar biasa. Tentunya tanpa melanggar etika yang berlaku di masyarakat! Jonah Leher, penulis dari buku Imagine: How Creativity Works, mengatakan bahwa “...the imagination is unleashed by constraints. You break out of the box by stepping into shackles.”. Jadi sebaiknya para pengiklan menganggap EPI sebagai sebuah tantangan untuk berkreasi, dan tidak membatasi. Selain itu, dengan mengikuti pedoman dalam etika pariwara, para pengiklan melakukan tanggung jawabnya untuk melindungi konsumen dan khalayak dari pengaruh-pengaruh negatif periklanan!
Bagi yang penasaran dengan etika pariwara, pedoman ini dapat diunduh secara online diberbagai situs. Iklan-iklan yang melanggar dan diberi peringatan juga dapat dilihat di situs Komisi Penyiaran Indonesia. Dengan iklan yang beretika, maka khalayak tidak perlu takut akan pengaruh negatif dari iklan. Namun meskipun demikian, khalayak harus tetap menjadi khalayak yang melek media dan melindungi anak-anak dari tayangan yang menyimpang dari EPI ini!
Referensi :
- Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia), September 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H