Mohon tunggu...
Pendidikan Artikel Utama

Hukum Aksi-Reaksi

10 Mei 2015   18:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:11 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksi – Reaksi

Ku keluarkan cotton bud dari dalam dompet tua ku. Biru, hadiah ulang tahun dari sahabatku beberapa tahun yang lalu. Warnanya sudah menghitam. Bercampur dengan debu kotoran yang menumpuk selama setahun. Tak pernah di bersihkan. Hal yang sama terjadi dengan jam karet yang kukenakan. Warnanya tak lagi putih. Jam tua yang juga merupakan hadiah dari dosen ku. Sudah dua tahun sangat akrab dengan pergelangan tangan kiriku. Sehingga menimbulkan bekas lingkaran putih pada pergelangan tangan kiriku. Sinar ultraviolet menghitamkan seluruh bagian tubuhku yang terbuka selama aku bekerja. Muka, tangan, serta kaki. Meghitam tanpa ampun. Kubersihkan dengan sangat hati hati sela-sela jam karetku yang dipenuhi debu. Miris.

Sepertinya perlu keceritakan terlebih dahulu. Bahwa aku adalah seorang guru. Guru muda yang baru saja beranjak dari kerasnya dunia tugas akhir. Mata kuliah 4 SKS yang menyita waktu, tenaga, dan air mata serta megurangi fungsi otak karena terkadang ketika kau terlalu stress, alkohol datang dan menawarkan kehangatan yang mampu membuatamyngdaladanprefontal kortekssulit untuk berinteraksi satu sama lain sehingga masalah skripsi berganti dengan suara audio sonik yang bisa digolongkan sebagai pencemaran suara  tingkat menengah. Dan frekuensi otak meraih tingkat yang lebih tinggi sehingga dalam periode tertentu aku menjadi lupa waktu, lupa masalah, lupa diri. Jam tidur malamku hanya seperempat dari waktu rotasi bumi. Namun tidak dengan sekarang. Semenjak menjadi guru. Waktu melimpah-ruah. Berbanding terbalik dengan uang yang dikumpulkan. Dan kebutuhan berkumpul dengan teman-teman yang semakin meningkat. Menyebabkan isi dompetku seperti grafik garisasymptote. Hampir menyentuh nilai nol sumbuAxis. Hampir tak pernah berisi. Hampir.

Lekat-lekat kutatap lapangan volley yang belum jadi. Entah bisa kusebut itu lapangan volley entah tidak. Dari segi ukuran itu sudah bukan lapangan volley. Dengan net yang dipasang sembarangan oleh guru olahraga. Rekan kerja favoritku. Kayu mahoni ditancapkan secara paksa di tanah gersang, yang berfungsi sebagai penyangga net. Angin bertiup. Menerbangkan megaliunan partikel debu ke arah barat. Sontak aku menutup wajahku dengan jilbab segi empat dari kain tetron tipis yang kukenakan, walaupun aku tau serat kain murahan ini tak akan mampu menyaring partikel debu yang sedemikian kecil itu.

Ini bukan zaman orde baru. Dimana komunikasi dan transportasi menjadi masalah utama  dan pendidikan sangat diagungkan oleh segala jenis kaum, baik brahmana hingga sudra. Tapi sekarang, pendidikan sudah semacam bisnis yang menggiurkan. Memamahbiak dengan kecepatan cahaya menjadi raksasa penghasil emas. “ yang penting sekolah “ ini yang dilontarkan para tetangga ku. Entah dimana itu bersekolahnya, yang penting sekolah dan memiliki ijazah guna mencari kerja dan menjadi buruh di salah satu perusahaan asing. Entah diserap dengan baik atau tidak itu ilmunya yang terpenting adalah selembar kertas yang diresmikan pemerintah yang menyatakan kau memiliki segala pengatahuan yang seharusnya dimiliki remaja lulusan SMA. Include di dalamnya teori relativitas Einstein, azas black, bahkan sudut yang seharusnya dibentuk oleh kedua buah tanganmu agar menghasilkan pukulan yang sempurna dalam permainan bola Volley. Konon, namun tak seperti itu pula kualitas manusia tamatan SMA abad 21 ini. Tak tau apa-apa. Lucu, tapi memang tak tau apa-apa. Karena mereka memang tidak pernah belajar apa-apa.

Universitas tak lagi sepopuler milenium lalu. Oleh hukum sebab akibat, muncullah berbagai macam Sekolah Menengah Kejuruan, yang mendidik atau mungkin lebih tepatnya mengajar siswa-siswi menjadi siap menuju dunia kerja. Sehingga tidak perlu kuliah dulu untuk dapat siap menafkahi diri sendiri, lebih baik lagi keluarga. Dan menahan hasrat untuk segera berkeluarga. Masyarakat Indonesia. Menikah diusialess than 20adalah hal yang wajar.

Voilaaa! Inilah dia sekolahnya. Sekolah Menengah Kejuruan tempat aku bekerja. Setelah selesai yudisium, aku dikirim kembali kekota asalku oleh orang tuaku. Batam. Oleh seorang relasi, aku dimasukkan secara paksa ke salah satu sekolah ini. Masuk begitu saja, tanpa test, tanpa micro teaching. Di dalamcaseini aku adalah salah satu pelaku kolusi juga. Kegiatan yang paling kukutuk pada awalnya.

Sekolah tempatku mengajar. Bangunannya baru dua buah gedung. Polos. Hanya memang benar-benar dua gedung. Sebuah sumur, dan sebuah lapangan volley. Tidak lebih dan tidak kurang.

Beberapa jurusan disuguhkan dalam sekolah baru ini. Administrasi perkantoran, Perbankan, dan Teknik Jaringan Akses.

Kadang kasihan aku dengan siswa teknik ini. Mereka bahkan tak bisa membedakan mana dioda mana katoda. Pernah sekali kubawa mereka bertanding mewakili sekolah. Kabar gembira kami mendapat juara 3 dalam perlombaan mendesain logo, logo pariwisata. Yang susah payah dibuat dengan menggunakan program paint. Resolusi warna yang buruk, dan hasil kerja yang sangat sangat sangat tidak rapi. Mereka tak tau bagaimana menggunakan Corel Draw atau Paint Tool Sai. Salah siapa? Mungkin aku. Mengapa tidak mengajarkan? Mungkin aku terlalu lelah karena thanks giving tidak cukup untuk membeli teh gelas atau sekedar segelas Aqua dingin. Baiklah. Kabar gembira tadi belum selesai. Jadi kami adalah pemenang juara 3 dari 3 peserta. Entah bagaimana aku menafsirkannya. Kami kalah sekaligus menang. Namun lain cerita bila sekolah kami dilengkapi fasilitas yang menggiurkan. Perkembangan akan lebih mudah diwujudkan.

“there’s an equal action for every reaction“ hukum aksi-reaksi oleh Sir Isac Newton. Mudah saja, pelajaran Fisika bab 5 semester dua Sekolah Menengah Pertama.  “ Mengerti kan maksudnya? “  tanyaku kepada siswa-siswi kelas Teknik pada awal pembelajaran.  Belum lagi kuberikan motivasi dan apersepsi mereka sudah kepalang kekusahan. Mereka bahkan tak mengerti apa itu aksi dan apa itu reaksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun