Mohon tunggu...
aldre elroy
aldre elroy Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perwira Istimewa

8 November 2017   00:40 Diperbarui: 10 November 2017   22:40 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1812,

Kulihat fajar menyingsing, dan kehangatan badan mulai merambat ke dalam tubuhku yang basah dari atas sampai ke bawah. Kudengar suara bergumam itu mulai hilang, tergantikan dengan suara teriakan, tawa, dan percakapan di pagi hari. Langkah-langkah kecil mulai membesar dan kulihat langkah itu berada di depanku lalu menghiraukanku seperti angin begitu saja. Dan bunyi sepeda, yang dari jauh saja bunyinya kedengaran seperti ingin menggoda para wanita pejalan kaki ini. 

Tak lupa dengan hentakan kaki orang berlari yang terbirit-birit karena terlambat seperti orang dikejar anjing. Namun, siapa gerangan yang menyapa diriku setiap pagi? Hari. Dialah yang menyapaku di setiap pagi disaat yang lain hanya melihat raga ini dan melewatinya begitu saja karena dirasa tidak penting. Tanpa sapaannya, pagi hari dapat dikatakan kurang afdol bagiku.

"Selamat pagi! Semoga hari ini tidak membosankan tapi mengesankan!", kata Hari kepadaku.

Itulah kalimat yang selalu diucapkannya setiap pagi padaku. Lengkungan senyuman manis terbentuk dalam hatiku, namun ia tidak dapat mengetahuinya bahkan melihatnya. Intuisiku berkata bahwa inilah saatnya berterima kasih. Namun belum sepatah pun berkata, lengkingan suara mendahuluiku.

"Hariiii!!!! Berangkat ke sekolah!", kata suara itu rumah Hari.

"Iya.", begitu jawabnya pada suara itu sambil berlari.

Ia berlari ke rumah itu, namun kembali lagi padaku bersama tas besar dipunggungnya dan perbekalannya itu. Lalu ia membisikkan kalimat perpisahan kepadaku dan pergi. Saat tadi aku tersenyum, sepertinya senyuman itu dapat dilihat oleh mata hatinya. Ia melemparkan senyuman itu kembali padaku dan memberikan pelukan pagi yang hangat. Setiap hari adalah hari yang membosankan, namun hal itu hilang seketika karena kalimat Hari yang menghiburku.

***

Saat sang mentari memberikan panas nan terik, terdengarlah olehku suara bel yang menandakan pulang sekolah. Bel pulang sekolah dan masuk sekolah memiliki kesamaan, yakni bunyinya yang panjang. Ah! Tak sabar kan kulihat wajah Hari yang penuh kebahagiaan setelah mendapat hal-hal baru di sekolah. Namun, kulihat Hari berjalan pulang bersama seorang anak perempuan. Sepertinya mereka satu bangku di sekolah, dan terlihat sangat dekat. Aku hanya dapat memandang mereka berdua yang sedang penuh canda tawa. Dan sama seperti yang lainnya, mereka melewatiku begitu saja tanpa menyadari keberadaanku. Ternyata, rumah anak perempuan itu hanya berjarak 2 rumah dengan rumah Hari. Setelah mengantar anak itu, Hari datang kepadaku dan duduk di atas rumput ilalang.

"Hari ini sangat menyenangkan. Karena aku dapat mengerjakan tugas mengenai tanaman di sekolah. Namun, hari ini juga adalah hari yang melelahkan", katanya membuka ceritanya itu.

"Anak perempuan itu, ialah teman sebangku denganku. Namanya adalah Ijah. Dia adalah anak yang baik. Dia pintar, namun tidak sombong. Mau mengajari pelajaran yang...", belum selesai Hari berbicara, teriakan dari rumahnya kedengaran lagi.

"Hariiii!!! Ayo pulang! Makan dulu!", kata suara itu.

"Baiklah, kulanjutkan saja nanti ceritanya.", kata Hari sambil melambaikan tangan padaku.

Hari adalah anak yang baik. Walau aku tidak dapat menjawabnya sepatah katapun, ia tetap menceritakan hal-hal yang membuat hatiku bahagia. Angin menderu, membuat ragaku seolah melambai kembali padanya. Tiba-tiba muncul arwah Pak Dandi, ayah Hari kepadaku dan menceritakan kejaiban dibalik kelahiran Hari.

"Saat Hari masih bayi, ibunya membawa Hari ke hutan untuk berjalan-jalan. Namun, mereka tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Dan tiba-tiba, terdapat beberapa ekor ular dan istriku panik lalu melemparkan Hari begitu saja dan berlari. Setelah istriku bertemu denganku, ia baru menyadari bahwa Hari hilang dari pelukannya. "

"Dan kami menganggap Hari telah hilang atau bahkan meninggal. Namun, beberapa bulan berlalu dan suatu hari kami menemukan Hari bersama dengan Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal di Indonesia. Pertemuan itu menimbulkan rasa haru yang penuh tangis bahagia. Hari adalah anak yang mandiri. Ia tidak menangis walau tidak bersama orang tuanya. Namun, setelah beberapa tahun aku menghabiskan hidup bersamanya, aku meninggal karena terkena peluru yang nyasar dan menembus jantungku. Dan kini, istriku bekerja untuk Thomas Stamford Raffles dan tinggal dirumahnya.", cerita Pak Dandi.

Tak terasa kini sudah petang. Hari terlihat baru terbangun dari tidurnya pergi ke rumah Ijah dan bermain dengannya. Kuingat kenangan manis bermain bersama Hari di saat sore hari, namun kini ia telah bermain dengan Ijah dan sangat akrab dengannya. Mungkin ini semua salahku! Aku tidak pernah menjawabnya sepatah katapun, hanya senyum yang terukir dalam hati. Ya, benar. Ia lebih baik bermain bersama Ijah yang dapat berinteraksi dengannya ketimbang bermain bersamaku. Orang waras macam apa yang mau berkomunikasi dengan pohon jati? Hanya arwah manusia yang telah meninggal yang dapat berinteraksi denganku! Aku memang tak pantas bermain dengannya.

"Wah! Akrab sekali anakmu!", ujar arwah teman Pak Dandi.

"Iya. Kulihat mereka juga sangat dekat di sekolah. Sepertinya mereka sahabat.", kata Pak Dandi bangga.

"Sepertinya sebentar lagi hubungan mereka lebih daripada sahabat. Hahahaha!", kata arwah lainnya, diikuti dengan tawa mereka bertiga.

Sebelum hatiku makin pedih, tiba-tiba mereka menghampiriku sambil membawa air dan pupuk. Aku merasa senang namun sedih karena kini, mereka adalah sahabat. Mereka mengukir tanda persahabatan pada pohon itu.

***

Suatu pagi, ayah Hari menceritakan mengenai Thomas Stamford Raffles.

"Raffles adalah seorang Inggris yang unik. Ia tertarik dengan bahasa, sejarah, dan juga kebudayaan Melayu. Ia memberikan kesempatan bagi penduduk Indonesia untuk melakukan perdagangan bebas. Tapi dibalik kebaikannya, ia dan Inggris tetap menindas bangsa ini. Tak jarang ia bersifat kasar terhadap istriku dan Hari. Aku tak dapat melakukan apapun dan tak kuasa melihat kekerasan itu. Raffles selalu ingin apa yang ia inginkan terpenuhi dan dapat melakukan kekerasan terhadap setiap penghalang dari keinginannya.", cerita ayah Hari dengan suara gemetar.

Tiba-tiba terdapat mobil dan beberapa orang datang ke rumah Raffles. Namun beberapa saat kemudian, terlihat Bu Astuti, ibu Hari hendak keluar rumah secara diam-diam dan lari ke arah sekolah Hari dengan wajah panik. Aku, Pak Dandi, dan teman-teman Pak Dandi ikut merasa panik. Mereka bertiga segera menghilang dan pergi ke sekolah Hari.

***

Beberapa menit kemudian, Hari dan ibunya berjalan cepat. Wajah Hari tampak kesal karena dibawa pulang oleh ibunya saat asyik di sekolah. Lalu mereka berdiri di bawahku sambil berteduh dan membicarakan hal yang serius ini.

"Ibu memanggil kamu dari sekolah karena pohon kesayanganmu ini, akan dibawa ke Kebun Raya yang dibuat oleh Raffles!", ujar Bu Astuti sambil menunjuk ke arahku.

"Memangnya Kebun Raya itu dimana, bu?", tanya Hari dengan wajah kesal.

"Di Bogor..", kata ibunya dengan nada sendu.

Seketika itu juga wajah Hari berubah menjadi pucat pasi. Ia mengernyitkan dahi dan menggigit bibirnya sambil berpikir.

"Tidak bisa! Pohon ini telah kutanam dengan kerja kerasku!", kata Hari dengan nada penuh amarah.

"Hari jangan..", belum selesai berkata, Hari sudah melangkah..

Lalu muncullah rekan Raffles yang siap memindahkanku ke mobil. Hari langsung mengambil tindakan. Ia berusaha marah dan berdebat dengan Raffles. Namun, Raffles yang egois mendorong Hari dengan sekuat tenaga. Raganya terbentur ke bebatuan dan badan kecil itu tak kuasa menahan sakit. 

Namun, ia tetap melawan Raffles dengan tenaganya yang apa adanya. Ibunya berusaha memberhentikannya sambil meneteskan air mata, karena melihat Hari yang sudah luka-luka di wajahnya. Hari yang tak kuat menahan kesakitan di badannya itu terkulai lemas di pelukan ibunya. Ia hanya dapat berteriak. Teriakannya menggelegar bagaikan halilintar yang memenuhi langit biru. Namun, tidak ada yang menolong karena semua orang takut pada Raffles.

Aku tak dapat melihat apapun. Hanya dapat menghela nafas dan memendam rasa sakit hati ini. Berat rasanya berpisah bersama teman dekatku. Hubungan kami terjalin erat walau tak ada interaksi. Namun, aku percaya selama ini Hari tahu bahwa aku tersenyum setiap kali ia merawatku, ia tahu bahwa aku mendengar setiap ceritanya entah suka ataupun duka. 

Ia bahkan tahu bahwa kerap kali aku menjawab keinginanya bersama dengan alam. Aku tahu, dia menganggap aku adalah pengganti ayahnya. Ia tidak dapat berinteraksi dengan ayahnya atau ibunya yang sibuk. Namun, aku selalu ada untuknya dan itulah mengapa sakit hatilah ia melihat aku pergi tanpa persetujuan diantara kami berdua. Aku bahkan belum mengucapkan terima kasihku padanya. Akankah kami bertemu kembali?

Sinar mentari menyinariku ketika aku kembali melihat dunia. Kini, aku memiliki banyak teman. Kebun Raya Bogor adalah tempat dimana banyak jenis pohon ditanam disana. Namun, cerita mereka tidak menyenangkan seperti cerita Hari.

kebun-raya-bogor-5a05c8462670d47c0572bab2.jpg
kebun-raya-bogor-5a05c8462670d47c0572bab2.jpg
Tahun 1902,

Ketika aliran air terdengar begitu deras. Dan gemerciknya menyahut kicauan burung-burung di udara, langkah manusia terdengar kian membesar dan seperti biasa berinteraksi dengan yang lainnya dengan menghiraukan kami. Namun, seorang lelaki tua berbadan tegap berjalan tanpa jejak kaki membekas. Ia tersenyum dan mendekatiku. 

Ternyata itulah Hari. Ia tumbuh dewasa dan meninggal, dan kini menemaniku berinteraksi yang sesungguhnya. Interaksi ini benar-benar penuh dengan senda gurau kami mengenang kehidupan kami sebelumnya. Ia menceritakan bahwa kisah aneh itu telah diceritakan kepada anak dan cucunya, dan mereka akan datang mengunjungi kami. Kalimat yang pertama kuucapkan pada Hari adalah terima kasihku padanya, karena ia telah menjadi sahabat dan perwira nan istimewa.

"Seorang sahabat umpama sebuah akar. Tidak terlihat, namun mendukung kita untuk terus naik ke atas."

AE

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun