Mereka melihat banyak peluang di luar jalur karier konvensional dan mungkin lebih berani mengambil risiko untuk mengejar pekerjaan yang sesuai dengan minat dan nilai-nilai mereka. Mereka lebih "berani" dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya yang memilih terpaksa bertahan di tempat kerja meski tidak nyaman, atau minimal mendapatkan pekerjaan yang baru sebelum memutuskan pindah.
Generasi Z (Gen Z) dikenal dengan kesadaran mereka akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Mereka tidak ingin terjebak dalam situasi yang mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan mental mereka demi pekerjaan.
 Namun, dari kaca mata lain ada pula pendapat yang menyatakan: Apakah Gen Z menjadi "generasi tempe", "pencari drama" yang lemah mental, kurang daya juang, dan sedikit-sedikit gampang "kena mental"? Generasi Z (Gen Z) perlunya menyikapi dengan bijak mental health dan ketahanan kerja.Â
Ketidaknyamanan ini sebenarnya dapat menjadi peluang baru bagi Generasi Z (Gen Z) untuk membuat lapangan pekerjaan baru (jika memilih untuk tidak bekerja di bawah arahan orang lain).
Sisi gelap Gen Z yang lain adalah mereka menjadi bagian dari "sandwich generation". Survei CBNC Indonesia (2021) menyebut 48,7 persen masyarakat produktif, termasuk Gen Z, adalah generasi sandwich. Di balik cerita healing, keceriaan nonton konser, atau memburu hidden gem, Gen Z memikul tanggung jawab menghidupi diri sendiri, anak (jika sudah ada), dan orang tua dalam waktu bersamaan.Â
Bagi Gen Z yang tidak siap dan kuat secara finansial maupun mental, tugas tambahan sebagai "caretaker" atau "caregiver" ini akan menjadi tekanan tersendiri.
Penyingkapan fakta-fakta di atas tentu tidak bermaksud untuk menyudutkan Gen Z. Sebaliknya, menjadi pengingat bagi kita untuk berjalan beriringan dengan tuntutan zaman.
 Pemerintah perlu berbenah diri dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja agar Gen Z memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja atau membuat peta kesesuaian antara jurusan yang tersedia di pendidikan tinggi dan menengah dengan tuntutan pasar kerja yang ada di Indonesia.Â
Perlu komitmen pemerintah mengubah "miss-match" menjadi "link and match" seperti yang digadang-gadang selama ini. Perusahaan pun perlu beradaptasi terhadap ekspektasi Gen Z dengan menyediakan lingkungan kerja fleksibel, suportif, dan berorientasi pada pengembangan diri. Hal yang selama ini mungkin tidak banyak di tuntutan generasi sebelumnya.
Di sisi lain, Gen Z sendiri pun harus proaktif dan terus meningkatkan kemampuan diri. Kita menyakini, Gen Z adalah generasi yang penuh potensi. Dengan dukungan yang tepat, mereka dapat menjadi agen perubahan positif dan berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H