Politik identitas kini sering muncul dalam Pilkada di Indonesia. Di Sumatera Selatan sendiri, isu identitas kesukuan atau budaya juga kerap muncul dalam perbincangan. Nama-nama suku seperti Komering, Ogan, Pegagan, Basemah, Rawas, Lahat, Jawa, dan sejenisnya sering kali menjadi bahan ulasan para pengamat di media massa, terutama saat pencalonan pasangan mulai diperbincangkan. Identitas suku ini seolah menjadi faktor penentu elektabilitas kandidat. Jika ini dapat dianggap sebagai potensi politik, pertanyaannya adalah apakah ini lebih sebagai ancaman yang bisa memecah belah masyarakat atau sebaliknya sebagai cara untuk memperkuat persatuan? Serta bagaimana sebaiknya kita menyikapinya?
Apa Itu Politik Identitas?
Politik identitas adalah strategi yang menggunakan identitas kolektif seperti etnisitas, agama, maupun kelompok sosial tertentu untuk meraih dukungan politik. Di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan agama, hal ini tak jarang terjadi dalam Pilkada. Kandidat biasanya mencari dukungan dari kelompok yang memiliki identitas serupa dengan mereka.
Potensi Memecah Belah
Politik identitas memang memiliki sisi gelap. Pada Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 misalnya, isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) menjadi sangat panas dan menimbulkan ketegangan sosial yang masih terasa sampai sekarang. Kampanye berbasis identitas bisa memperparah perpecahan sosial dengan menekankan perbedaan antara "kita" dan "mereka". Isu-isu sensitif digunakan untuk meraih dukungan, tetapi dampaknya merusak kohesi sosial dalam jangka panjang. Hal ini bukan hanya mempengaruhi hasil Pilkada, tetapi juga merusak harmoni sosial secara keseluruhan.
Francis Fukuyama dalam bukunya berjudul "Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentmen" terbitan tahun 2018, menjelaskan bahwa politik identitas dapat memperburuk polarisasi dalam masyarakat dan melemahkan demokrasi. Ketika identitas kelompok menjadi dasar utama politik, ini dapat mengarah pada fragmentasi sosial. Pada saat Pemilu Presiden Amerika Serikat Tahun 2016 dan 2020, Donald Trump menggunakan retorika yang memobilisasi identitas rasial dan etnis, yang memperdalam polarisasi di kalangan pemilih. Ini menunjukkan betapa politik identitas dapat memecah belah masyarakat jika digunakan untuk mengeksploitasi perbedaan secara destruktif.
Peluang Memperkuat Persatuan
Politik identitas tidak seluruhnya buruk, ada juga sisi positifnya jika dikelola dengan baik. Pertama, berkaitan dengan pengakuan dan representasi. Politik identitas bisa memberi pengakuan dan representasi kepada kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Ketika seorang kandidat dari kelompok minoritas terpilih, ini bisa memberikan semangat bagi komunitas tersebut dan memperkuat rasa kebangsaan yang inklusif. Gerakan seperti Black Lives Matter di Amerika Serikat menunjukkan bagaimana pengakuan terhadap identitas rasial dapat memperjuangkan keadilan sosial dan hak-hak sipil.
Kedua, perjuangan untuk keadilan sosial. Politik identitas sering kali berkaitan dengan perjuangan untuk keadilan sosial. Isu-isu seperti kesetaraan gender dan hak-hak minoritas bisa diangkat dalam Pilkada, yang memperkaya diskusi politik di tingkat lokal maupun nasional. Amartya Sen dalam bukunya berjudul "Identity and Violence: The Illusion of Destiny" terbitan tahun 2006, menekankan bahwa identitas manusia bersifat plural dan kompleks. Reduksi identitas ke satu dimensi bisa memicu konflik, tetapi pengakuan terhadap keragaman bisa memperkuat kohesi sosial.
Ketiga, mendorong dialog dan pemahaman. Kampanye berbasis identitas yang dijalankan dengan etis bisa mendorong dialog dan pemahaman antar kelompok. Chantal Mouffe dalam bukunya berjudul "On the Political" terbitan tahun 2005, melihat politik identitas sebagai bagian penting dari demokrasi. Menurutnya, politik identitas bisa memperkuat demokrasi dengan mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Di Eropa, gerakan pro-EU yang mengedepankan identitas Eropa inklusif menunjukkan sisi positif politik identitas ini.
Bagaimana Menyikapinya?