Beberapa waktu lalu, pernyataan Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Tjitjik Tjahjandarie, tentang sifat tersier pendidikan tinggi dan tidak wajibnya setelah SMA, memicu perdebatan publik. Pernyataan ini muncul di tengah kekhawatiran masyarakat terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) perguruan tinggi.
Tjitjik Tjahjandarie menegaskan bahwa pendidikan tinggi bukanlah kewajiban bagi seluruh lulusan SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah (MA). Menurutnya, pendidikan tinggi bersifat opsional dan hanya ditujukan bagi mereka yang ingin mendalami ilmu lebih lanjut.
"Pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan wajib belajar," jelas Tjitjik Tjahjandarie di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta Selatan, pada Rabu (15/5/2024).
Pernyataan bahwa perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier perlu diluruskan karena istilah "pendidikan tersier" tidak sama dengan "kebutuhan tersier". Menurut World Bank, pendidikan tinggi atau tertiary education adalah tahap pendidikan yang diberikan setelah sekolah menengah oleh universitas, perguruan tinggi, dan institusi lain yang menghasilkan gelar akademik dan sertifikasi profesional.
Sementara itu, kebutuhan tersier merujuk kepada kebutuhan manusia yang muncul setelah kebutuhan primer seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Sedangkan kebutuhan sekunder yang bersifat psikologis dan sosial seperti kebutuhan akan penghargaan, prestise, dan aktualisasi diri. Memahami perbedaan ini penting agar tidak terjadi salah pengertian yang dapat menyesatkan, meskipun dalam penggunaan sehari-hari kedua istilah ini bisa terlihat mirip. Dengan menjelaskan perbedaan ini, diharapkan informasi tentang pendidikan tinggi dan kebutuhan manusia dapat dipahami dengan lebih jelas dan akurat.
Pendidikan tinggi sebenarnya memainkan peran penting dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 4, yang berfokus pada pendidikan berkualitas, pekerjaan layak, inovasi, dan pengurangan ketimpangan. Pada tahun 2030, Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi ditargetkan sebesar 43,85%. Penentuan target ini bertujuan untuk peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, pendapatan individu, juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, produktivitas, serta transfer teknologi.
Pada tahun 2023, capaian APK perguruan tinggi di Indonesia sebesar 31,45%. Ini menunjukkan bahwa hampir sepertiga dari populasi usia 19-23 tahun mengakses pendidikan tinggi, yang mengindikasikan adanya peningkatan dalam partisipasi pendidikan tinggi. Namun, masih ada ruang untuk peningkatan signifikan guna mencapai target 40% APK pada tahun 2030. Upaya peningkatan ini akan melibatkan peningkatan aksesibilitas, kualitas pendidikan, serta dukungan finansial dan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan partisipasi dalam pendidikan tinggi di Indonesia.
Pernyataan Tjitjik Tjahjandarie mengenai pendidikan tinggi yang tidak wajib dan bersifat pilihan sebenarnya tidak salah, hanya saja momennya yang dirasa kurang tepat yaitu di tengah isu kontra atas kenaikan UKT. Hal ini memunculkan tanda tanya di masyarakat karena menurut mereka hal ini bertolak belakang dengan situasi sosial saat ini. Tjitjik Tjahjandarie juga menjelaskan bahwa fokus utama pemerintah saat ini adalah pada pemenuhan pendidikan dasar berupa wajib belajar 12 tahun.
Lalu, bagaimana capaian pendidikan dasar negara kita saat ini?
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, yang selanjutnya disebut Wajar Dikdas 9 Tahun, pada sejarahnya merupakan kelanjutan dari program Wajib Belajar 6 Tahun dan secara resmi dicanangkan sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. PP tersebut juga diperkuat dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Lalu Program Wajib Belajar 12 Tahun juga sudah mulai dirintis sejak tahun 2015 dengan target anak Indonesia menempuh pendidikan wajib sampai SMA.