Dampak merebaknya tradisi politik uang di Indonesia pun kian tampak pada wajah demokrasi kita yang semakin ke sini semakin mahal biayanya, bukan menjadi ajang adu gagasan melainkan ajang kekuatan modal. Menurut saya, kondisi ini sudah memasuki fase kronis dari praktik politik uang dalam pemilu kita. Politik uang pun menjadi pusaran lingkaran setan dalam demokrasi kita yang diterapkan dari pemilihan ketua umum partai politik, pencalonan dan kampanye pemilu, pemungutan perhitungan hingga rekapitulasi surat suara semuanya menjadi ada yang kurang tanpa adanya politik uang.
Melawan Politik Uang Demi Pemilu yang Berintegritas
Pemilihan umum terkadang dipandang sebelah mata oleh kita, padahal pemilu ialah momen yang sakral dalam transisi kekuasaan di negara kita yang tercinta ini. Kita mungkin menganggap pemilu itu sekedar memilih calon legislatif dan eksekutif belaka sehingga menimbulkan sikap apatis kita dalam menggunakan hak suara dalam memilih. Sikap apatis ini menjadi bahan bakar utama dalam langgengnya praktik politik uang di masyarakat. Banyak alasan-alasan yang digunakan untuk menjadi pembenaran masyarakat dalam melakukan politik uang dalam pemilu di Indonesia, seperti anggapan pemberian uang pada pemilih sebagai rezeki yang sayang bila dilewatkan yang kemudian kita kenal dengan jargon "terima uangnya, jangan pilih orangnya". Padahal perbuatan ini tidak dibenarkan meskipun dengan pembenaran sekalipun mestinya "tolak uangnya, tolak orangnya" coba bayangkan, belum terpilih saja sudah terang-terangan menyuap masyarakat bagaimana terpilih nanti.
Politik uang merupakan ancaman serius pada Pemilu 2024 mendatang. Keberadaan politik uang tidak hanya di sekitar peserta dan pemilih belaka, akan tetapi sudah menjangkau penyelenggara pemilu itu sendiri. Terkontaminasinya tradisi politik uang di penyelenggara pemilu, bisa kita lihat seksama salah satunya Putusan DKPP tahun 2021 yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada anggota KPU karena terbukti menerima uang dari salah satu calon anggota legislatif dengan menjanjikan sebanyak 20 ribu suara. Putusan ini tentu menjadi peringatan sekaligus memberi edukasi bagi penyelenggara pemilu agar berhati-hati dalam memangku tanggung jawab prosesi sakral pesta rakyat Indonesia.
Menghilangkan politik uang secara instan tentu tidak mungkin, namun menekan dan meminimalisir praktik politik uang menjadi suatu keniscayaan.
Proses pemilu ibarat mengganti nahkoda kapal agar sampai pada tujuan yang telah disepakati sebelum berlayar. Apabila penggantian nakhoda ini melalui proses demokratis namun terkontaminasi dengan tradisi politik uang maka sejatinya, nahkoda yang terpilih nanti hanya mengikuti arah dan tujuan kalangannya sendiri.
Yakinlah, bahwa politik uang bukanlah tradisi dalam demokrasi.