Mohon tunggu...
Aldo Tona Oscar Septian
Aldo Tona Oscar Septian Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Hukum dengan predikat Cumlaude

Nama saya Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak. Saya merupakan fresh graduate dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dengan gelar Sarjana Hukum predikat kelulusan Cumlaude. Hobi saya yaitu membaca buku dan menulis. Saya mendedikasikan hidup untuk melawan seksisme, rasisme, dan fanatisme. Ayo Follow Instagram : @aldotonaoscar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Netralitas ASN di Tahun Politik

11 Februari 2024   10:47 Diperbarui: 11 Februari 2024   10:47 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Netralitas ASN di Tahun Politik (Sumber Gambar: Wikipedia/Diolah Penulis)

Tahun politik masih identik diwarnai dengan praktik pelanggaran netralitas ASN. Padahal, Indonesia yang mengaklamasikan dirinya sebagai negara hukum tidak kurangnya memagari para aparatur pemerintahannya dari praktik haram politik praktis ASN dengan berbagai regulasi. Sederet ketentuan menyangkut netralitas ASN, di antaranya diatur dalam ketentuan pemilu, pilkada, maupun dalam sistem manajemen ASN.

Menghadapi pesta demokrasi pada 14 Februari 2024, pemerintah juga menerbitkan Keputusan Bersama Menpan-RB, Mendagri, BKN, KASN, dan Bawaslu terkait Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN. Beleid tersebut cukup jelas memuat siapa dan bagaimana upaya pembinaan dan pengawasan netralitas ASN harus dilakukan termasuk memuat jenis aktivitas yang dikategorikan tidak netral disertai sanksi disiplin dan etik beserta instrumen penguat netralitas lainnya seperti ikrar dan pakta integritas.

Sampai dengan 16 Januari 2024, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menerima 292 aduan pelanggaran netralitas dengan 135 ASN yang terbukti melanggar dan dijatuhi sanksi. Bentuk pelanggarannya mulai dari memposting, comment, share, like, follow akun/grup pemenangan paslon, menghadiri kampanye, hingga memiliki kartu keanggotaan partai politik. 

Ketua KASN memprediksi jumlah pelanggaran netralitas ASN pada pemilu mendatang dapat mencapai 10.000 kasus. Hal tersebut berdasarkan perhitungan matematis pada pilkada 2020 yang dilaksanakan di 270 daerah dan menimbulkan sekitar 2.304 kasus. Sementara pada pesta demokrasi mendatang ada pilpres, pileg, dan pilkada serentak yang memiliki potensi pelanggaran sampai lima kali jumlah pelanggaran yang terjadi pada pilkada 2020.

Diskursus nir-netralitas ASN memang bukan hal baru dalam runtunan sejarah bangsa Indonesia. Di masa pemerintahan orde baru dikenal slogan monoloyalitas yang kemudian diwujudkan dengan ikut bergabungnya birokrasi dalam proses politik melalui pemilu untuk menduduki jabatan di lembaga legislatif maupun eksekutif. Era reformasi saat ini, politisasi birokrasi dalam bentuk pelibatan ASN masih terus berlangsung bahkan berlangsung secara vulgar.

Keterlibatan ASN dalam momentum suksesi kepemimpinan publik memang memiliki nilai jual yang tinggi bagi para politikus. ASN secara kuantitas memiliki jumlah yang banyak dan memiliki pengaruh kuat bagi keluarga, kolega, dan masyarakatnya. 

Profesi ASN dianggap terpandang sehingga paslon yang dijagokan ASN biasanya menjadi referensi politik bagi masyarakat. ASN juga dipandang sebagai komunitas dengan tingkat kompetensi dan loyalitas tinggi serta memiliki jaringan yang luas sehingga layak diberdayakan seperti penyusunan program kerja dan materi kampanye para paslon.

Selain itu, ASN merupakan pelaksana kebijakan dan pemegang kewenangan baik dalam penguasaan data dan informasi, pengelola keuangan negara maupun sumber daya lain yang ada di dalam birokrasi pemerintahan. ASN dipercaya mempermudah gerak paslon pada pelaksanaan kampanye melalui penggunaan fasilitas negara seperti akomodasi, transportasi, dan lainnya.

ASN secara sukarela maupun terpaksa harus memberikan dukungan kepada paslon. Para elite politik (terlebih kepala daerah dan petahana) akan memainkan kekuasaannya untuk mengintervensi ASN agar berkontribusi mendongkrak elektabilitas politik. Jika netral atau berpihak pada paslon lain, dengan mudahnya ASN tersebut dimutasi atau di-non-job-kan.

Intervensi politik terhadap birokrasi memang sulit dihindarkan. Salah satu pemantiknya adalah masih eksisnya primordialisme politik yang termanifestasi dalam politik dinasti, hubungan kekerabatan, dan politik balas budi. Selain itu ada juga faktor vested interest ASN di mana kepentingan jalur pintas ASN mengamankan atau meningkatkan karier/jabatan seorang ASN.

Bagaimanapun dekooptasi birokrasi atas politik praktis mutlak harus dilakukan. Politisasi birokrasi memiliki daya rusak terhadap profesionalitas dan kualitas kinerja ASN yang tentunya menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara. Politikus ASN dan ASN yang berpolitik dapat memicu praktik birokrasi yang otoriter (authoritarian bureaucracy) yakni birokrasi yang melakukan diskriminasi pelayanan publik, tidak akuntabel, tidak efektif dan efisien, korup, serta kebal kritik.

Status kepegawaian yang melekat pada ASN terikat dengan perjanjian antara negara (pemerintah) dengan ASN yang disebut contract sui generis dan di dalamnya terkandung hubungan dinas publik (openbare diensbetrekking). Pola hubungan ini menciptakan kedudukan yang subordinatif antara pemerintah dan pegawai ASN, di mana ASN harus tunduk dan taat pada setiap pengaturan yang dibuat negara (pemerintah) selaku atasannya meskipun dilakukan pembatasan-pembatasan hak asasi ASN tersebut termasuk hak politiknya.

Langkah Perbaikan

Beberapa langkah perbaikan perlu dilakukan untuk menjaga netralitas ASN. Dibutuhkan akselerasi dan konsistensi penerapan serta pengawasan sistem merit (meritokrasi) pada tata kelola pemerintahan. Sistem merit yang ajeg dapat menghadang praktik culas birokrasi seperti spoil system dan rent seeking khususnya dalam pengisian suatu jabatan. Sistem merit mengutamakan aspek kualifikasi, kompetensi, dan kinerja ASN sehingga dapat menjauhkan jarak afiliasi birokrasi dengan politik.

Penegakan hukum secara tegas disertai pemberatan sanksi juga perlu dilakukan. Rekomendasi KASN terhadap pelanggaran netralitas masih didominasi pada sanksi hukuman disiplin sedang (55,4%). Diharapkan ke depannya seluruh aktivitas yang berkaitan dengan ketidaknetralan ASN diberikan sanksi disiplin berat sampai pemberhentian dengan tidak hormat. 

Diperlukan juga penayangan di laman resmi Kementerian PAN-RB atau Badan Kepegawaian Negara mengenai nama oknum ASN yang terbukti melanggar netralitas beserta asal instansi pemerintahannya. Hal ini selaras apabila kita mau menyalakan semangat zero tolerance to non-neutrality serta memberikan penjeraan pada ASN.

Pemerintah perlu memberikan catatan merah bagi instansi pemerintah yang sedang melaksanakan pembangunan zona integritas menuju WBK/WBBM jika ASN di dalamnya ada yang terbukti melanggar netralitas. Tujuannya agar para pimpinan instansi pemerintah menjadi role model dan tetap menjaga komitmen ASN di lingkungan kerjanya untuk menghindari politik partisipan yang dapat memicu benturan kepentingan dan praktik korupsi.

Peningkatan literasi digital ASN juga penting dilakukan sehingga ASN dapat dengan cerdas dan bijak bermedia sosial. Banyaknya kasus pelanggaran netralitas ASN di dunia digital menandakan belum optimalnya kualitas literasi digital ASN. 

Dengan demikian, perilaku bermedia sosial ASN menuntut tidak hanya sekedar peningkatan pengetahuan semata tetapi lebih menuntut etika, keamanan, serta kecakapan agar dapat membuat keputusan yang bijak dan bertanggung jawab di dunia digital.

Sistem pengawasan netralitas ASN berbasis teknologi informasi patut dibangun secara terintegrasi sehingga ASN dan masyarakat akan merasa mudah, cepat, dan terjamin kerahasiaannya dalam melaporkan pelanggaran netralitas yang mereka saksikan.

Netralitas ASN bukanlah sekedar berbicara tentang tunduk patuh terhadap norma-norma yang ada pada suatu regulasi. Kebutuhan untuk menjunjung tinggi moralitas ASN menjadi agenda mendesak dalam rangka menjaga etos kerja dan membangun profesionalisme dan integritas. 

UU ASN menetapkan nilai dasar ASN yaitu BerAKHLAK (Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif) yang kemudian akan dijabarkan dalam kode etik dan kode perilaku ASN. 

Nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ini perlu diaktivasi setiap ASN dalam menjalankan tugasnya. Penerapan nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku menjadi self-control sekaligus early warning system untuk menjaga kualitas pelayanan publik yang adil dan netral serta berlandaskan prinsip moral yang tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun