Mohon tunggu...
Aldo Oktavian
Aldo Oktavian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Advertising & Marketing Communication Universitas Mercubuana Jakarta

44321010050 | S1 Ilmu Komunikasi | Fakultas Ilmu Komunikasi | Dosen pengampu : Prof Dr. Apollo M.Si., Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Kebatinan Ki Ageng Suryomentaram pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

29 November 2024   01:46 Diperbarui: 29 November 2024   01:46 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa itu Ki Ageng Suryo Mentaram (KAS)

Suryomentaram lahir pada tanggal 20 Mei 1892 sebagai putra dari Sultan Hamengku Buwono VII dengan permaisurinya, Raden Ayu Retnomandaya. Ibunda Suryomentaram, Retnomandaya, merupakan putri dari Patih Danureja VI yang juga dikenal sebagai Pangeran Cakraningrat. Sebagai anak pertama dari Retnomandaya, Suryomentaram terlahir sebagai anak ke-55 Sultan Hamengku Buwono VII. Oleh sang ayah, ia diberi nama Raden Mas (RM) Kudiarmadji. RM Kudiarmadji dibesarkan di lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Seperti saudara-saudaranya, ia menempuh pendidikan di Sekolah Srimanganti, sebuah sekolah setara dengan tingkat sekolah dasar saat ini, yang berada di dalam lingkungan kraton. Setelah menyelesaikan pendidikan di Srimanganti, ia melanjutkan ke kursus Klein Ambtenaar, serta mempelajari bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah menyelesaikan kursus tersebut, RM Kudiarmadji bekerja di kantor gubernur selama lebih dari dua tahun.

Selain pendidikan formal, RM Kudiarmadji memiliki kegemaran membaca dan mempelajari berbagai bidang, seperti sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan kemampuan mengaji ia peroleh dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pada usia 18 tahun, ia diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram. Namun, seiring berjalannya waktu, Pangeran Suryomentaram mulai merasakan kekosongan dalam hidupnya. Meski memiliki segala fasilitas dan kemewahan sebagai seorang pangeran, ia merasa ada sesuatu yang kurang. Setiap hari, ia hanya berhadapan dengan penghormatan, perintah, permintaan, atau kemarahan dari orang-orang di sekitarnya. Namun, ia merasa belum pernah bertemu seseorang yang membuatnya merasa seperti manusia biasa. Kehidupan yang penuh ritual formalitas ini membuatnya masygul dan kecewa, meskipun ia adalah seorang pangeran yang kaya dan berkuasa.

Perasaan tidak puas dan tidak betah yang dirasakan Suryomentaram semakin memuncak. Ia kemudian mengajukan permohonan kepada ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti dari statusnya sebagai pangeran. Namun, permohonan tersebut tidak dikabulkan. Pada kesempatan berikutnya, ia kembali mengajukan permohonan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, tetapi permintaan itu pun ditolak. Merasa tidak tahan lagi dengan keadaan tersebut, Suryomentaram akhirnya memutuskan untuk diam-diam meninggalkan Kraton. Ia pergi ke Cilacap dan memulai kehidupan baru sebagai pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di sana, ia mengganti namanya menjadi Notodongso.

Ketika berita kepergian Pangeran Suryomentaram sampai kepada Sri Sultan Hamengku Buwono VII, Sultan segera memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo untuk mencarinya dan membawanya kembali ke Yogyakarta. Setelah pencarian yang cukup lama, mereka akhirnya menemukan Suryomentaram di Kroya, Banyumas. Saat itu, ia sedang sibuk memborong pekerjaan pembuatan sumur.

Pangeran Suryomentaram akhirnya dibawa pulang kembali ke Yogyakarta, meskipun sebelumnya ia telah membeli tanah di Cilacap. Di Kraton, ia kembali menjalani kehidupan seperti semula yang dirasakannya membosankan. Suryomentaram terus berusaha mencari penyebab kekecewaan batinnya. Ia menduga bahwa rasa kecewa dan ketidakpuasannya bukan hanya berasal dari kedudukannya sebagai pangeran, tetapi juga dari harta benda yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk melelang seluruh isi rumahnya. Mobilnya dijual, dan hasilnya diberikan kepada sopirnya. Kuda-kudanya juga dijual, dan uangnya diberikan kepada gamel (perawat kuda). Bahkan pakaian-pakaiannya dibagikan secara cuma-cuma kepada para pembantunya.

Namun, langkah-langkah tersebut tidak mampu menghapus kegelisahan yang ia rasakan. Suryomentaram tetap merasa tidak puas dan terus merindukan pertemuan dengan "manusia" sejati. Hari-harinya kemudian diisi dengan keluyuran dan bertirakat ke berbagai tempat yang dianggap keramat, seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu, dan tempat-tempat lainnya. Sayangnya, usaha tersebut juga tidak membuahkan hasil. Rasa tidak puas itu tetap menggerogoti batinnya. Selanjutnya, ia semakin rajin melaksanakan salat dan mengaji, serta mendatangi berbagai guru dan kiai terkenal untuk mempelajari ilmu agama. Namun, kegelisahannya tetap tidak terobati. Pangeran Suryomentaram kemudian mencoba mempelajari agama Kristen dan theosofi, tetapi rasa ketidakpuasan itu tetap tidak hilang dari hatinya.

Pada tahun 1921, ketika ia berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VII wafat. Dalam prosesi pemakaman ayahandanya ke makam Imogiri, Pangeran Suryomentaram tampil berbeda dari yang lain. Para pangeran mengenakan pakaian kebesaran kepangeranan, sementara para abdi dalem memakai pakaian sesuai pangkat mereka. Namun, Pangeran Suryomentaram memilih mengenakan ikat kepala bercorak Begelen, kain dengan corak serupa, jas tutup putih yang bagian punggungnya ditambal kain bekas berwarna biru, serta membawa payung Cina. Ia turut memikul jenazah ayahandanya hingga ke makam Imogiri dengan pakaian itu.

Dalam perjalanan pulang, ia berhenti di Pos Barongan untuk membeli nasi pecel yang disajikan di pincuk daun pisang. Ia duduk di lantai sambil menikmati pecel tersebut, ditemani segelas cao sebagai minumannya. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tampak enggan mendekat, merasa takut dan malu. Mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah kehilangan akal sehat, namun sebagian lainnya justru memandangnya sebagai seorang wali.

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

Bagaimana ide kebatinan menurut Ki Ageng Suryo Mentaram?

kalau dilihat dari komponen-komponen yang ada di dalam wejangan pokok ilmu bahagia Ki Ageng Suryomentaram, bahagia itu saat manusia memiliki rasa tentram dan tabah. Sedangkan untuk mendapatkan rasa tentram dan tabah tersebut, harus melalui beberapa step. Jadi dalam rangka mendapatkan kebahagiaan, mengutamakan tahapan-tahapan. Selanjutnya, tahap yang terdahulu haruslah dapat dikerjakan oleh tahapan berikutnya (workable), begitu dan seterusnya, sehingga pada akhirnya terbukti menghasilkan apa yang diinginkan, yaitu tercapainya kebahagiaan.

Di dalam konsep kebahagiaan beliau hakekatnya adalah gerak, sebagai sesuatu yang plural, tidak tetap dan serba "MENJADI" (to become). Untuk menggambarkan gerak tersebut Ki Ageng Suryomentaram menggunakan istilah hukum "mulur-mungkret", kalau dalam filsafat menggunakan istilah hukum Pantarei. Jadi rasa senang itu tidak bersifat tetap, begitu juga dengan rasa susah dalam artian "mulur-mungkret". Senang akan mulur sampai akhirnya mendapatkan kesusahan, sebaliknya susah akan mungkret sampai akhirnya mendapatkan  kesenangan.  Hal  tersebut  menjadi  dasar  untuk  mendapatkan ketentraman dan ketabahan. Setelah dua hal tersebut didapatkannya, maka orang akan memiliki kemampuan untuk "mengawasi keinginan", pada akhirnya rasa aku itu bahagia dan abadi.

Kedua, dilihat dari tataran epistemology dan metodologi konsep kebahagiaan beliau, maka dapat disimpulkan, bahwa unsur finalistic dan egoistic yang mendominasi di dalam modernitas akan tereliminir, setelah mengakomodir wejangan pokok ilmu bahagia Ki Ageng Suryomentaram. Dengan terelimirnya unsur finalistic dan egoistic, akan berimplikasi pada perubahan kearah yang lebih baik dari berbagai sektor yang ada di dalam modernitas. Salah satunya dari sektor "hubungan", entah hubungan antara manusia dengan sesame, alam dan sang pencipta. Jalinan hubungan yang senelumnya rusak karena dibangun dengan atas dasar hedonism, berubah menjadi hubungan yang harmonis dan sehat.

Dalam mencapai pengetahuan tentang rasa, Ki Ageng Suryomentaram mengemukakan ide pokok yang menjadi inti dari pengetahuannya. Menurut beliau, dari berbagai peristiwa dan hal yang terjadi di dunia ini, ada dua kategori utama: sesuatu yang abadi (langgeng) dan sesuatu yang tidak abadi (ora langgeng). Hal yang abadi disebut sebagai barang asal atau bakal barang, sementara yang tidak abadi disebut sebagai barang dumadi. Kedua konsep ini menjadi dasar pemikiran epistemologi Ki Ageng Suryomentaram dalam wejangan-wejangannya.

Barang asal merujuk pada segala sesuatu, baik benda maupun peristiwa, yang sifatnya abadi. Ki Ageng Suryomentaram membagi barang asal menjadi tiga bagian, yaitu jasad, karep, dan aku. Ketiganya saling terkait dalam diri manusia sebagai bahan dasar yang membentuk perasaan dan pikiran. Di sisi lain, barang dumadi adalah segala sesuatu yang berasal dari barang asal namun bersifat sementara, atau hasil dari sebuah rekayasa atau ciptaan. Dengan kata lain, barang dumadi adalah segala sesuatu yang berada di luar diri manusia dan sifatnya tidak kekal karena tercipta dari barang asal.

Dari pemahaman atas dua konsep ini, Ki Ageng Suryomentaram mengembangkan dasar pengetahuan yang dikenal sebagai kawruh jiwa. Kawruh jiwa adalah ilmu untuk memahami watak-watak jiwa serta mengenali diri sendiri (meruhi wakipun piyambak) secara tepat dan benar. Dengan memahami diri sendiri, seseorang tidak akan bingung dalam menghadapi kehidupan, sehingga ia dapat mencapai ketenteraman dan kebahagiaan. Keadaan inilah yang menjadi tujuan akhir dari pemikiran Ki Ageng Suryomentaram.

Kenapa konsep kebatinan menurut ki ageng suryomentaram bagi Pada Upaya Pencegahan Korupsi?

Ajaran kebatinan Ki Ageng Suryomentaram, yang dikenal sebagai Kawruh Jiwa, memiliki relevansi signifikan dalam upaya pencegahan korupsi melalui pendekatan pada kesadaran diri dan pengelolaan hawa nafsu. Konsep ini berakar pada prinsip pengendalian ego dan pencapaian kondisi jiwa yang tenang (tentrem). Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang relevansinya:

  1. Kesadaran Diri sebagai Dasar Integritas
    Kawruh Jiwa menekankan pentingnya memahami diri sendiri, termasuk sumber keinginan, kebutuhan, dan perilaku. Dengan memahami dirinya secara mendalam, seseorang dapat membedakan antara kebutuhan sejati dan dorongan nafsu yang tidak esensial. Hal ini sejalan dengan langkah pencegahan korupsi, di mana pelaku korupsi sering kali didorong oleh keserakahan dan ketidakmampuan mengontrol ego pribadi.
  2. Membentuk Pribadi yang Qana'ah (Cukup)
    Ajaran ini mengajarkan sikap qana'ah atau merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Seseorang yang puas dengan keadaan tidak akan mudah tergoda untuk melakukan penyimpangan, seperti korupsi, demi memenuhi ambisi material atau sosial. Kawruh Jiwa menanamkan nilai ini melalui kesadaran bahwa kebahagiaan sejati berasal dari ketenangan batin, bukan dari kepemilikan materi.
  3. Menanamkan Akhlak Mulia dan Etika Profesi
    Dalam konteks kehidupan modern, Kawruh Jiwa dapat dijadikan landasan untuk memperkuat nilai-nilai etika, baik di lingkungan individu maupun institusi. Dengan kesadaran spiritual ini, seseorang lebih mampu menjaga integritas dalam pekerjaannya dan menghindari tindakan korupsi yang bertentangan dengan moral.
  4. Mengatasi Ketergantungan pada Kesenangan Duniawi
    Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa ketergantungan pada hal-hal duniawi menciptakan kegelisahan dan bisa memicu perilaku menyimpang. Dengan menjalankan Kawruh Jiwa, individu diarahkan untuk menekan ego dan mengejar kedamaian batin, yang berimplikasi pada perilaku yang lebih jujur dan bertanggung jawab.

Implementasi ajaran ini dalam pencegahan korupsi dapat dilakukan melalui pendidikan moral berbasis Kawruh Jiwa, yang tidak hanya mengajarkan hukum tetapi juga membangun karakter antikorupsi sejak dini. Pendekatan ini juga dapat digunakan dalam pelatihan etika kerja di berbagai lembaga untuk memperkuat integritas pegawai.

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

Kenapa konsep kebatinan menurut ki ageng suryomentaram bagi Transformasi Memimpin Diri Sendiri?

Konsep kebatinan menurut Ki Ageng Suryomentaram, yang berakar pada ajaran Kawruh Jiwa, memiliki relevansi yang mendalam dalam transformasi diri dan kemampuan memimpin diri sendiri. Kawruh Jiwa menekankan pentingnya mengenali dan memahami diri sendiri secara jujur (pangawikan pribadi). Dengan mengetahui sifat-sifat dasar, keinginan, dan rasa dalam diri, seseorang dapat mencapai kedamaian batin dan ketentraman hidup.

Ki Ageng membagi unsur dalam diri manusia menjadi tiga elemen utama: jasad, karep, dan aku, yang menjadi bahan dasar pembentuk perasaan dan pikiran manusia. Pemahaman mendalam tentang elemen-elemen ini membantu seseorang memahami sumber keinginannya, baik yang terkait dengan materi (semat), status sosial (drajat), maupun kekuasaan (kramat)

Dalam konteks memimpin diri sendiri, pemahaman ini berarti membangun kesadaran penuh atas emosi, pikiran, dan tindakan. Misalnya, ajaran NEMSA (6-SA) dari Ki Ageng mengajarkan untuk hidup sesuai dengan kebutuhan dan keseimbangan: "sakepenake, sabutuhe, saperlune, sacukupe, samesthine, sabenere". Dengan pola pikir ini, seseorang tidak hanya memahami batasan dan potensi dirinya tetapi juga mampu membuat keputusan dengan bijak tanpa terbawa oleh ego atau ambisi yang berlebihan

Transformasi diri melalui ajaran ini membantu seseorang menjadi lebih stabil secara emosional dan lebih bijaksana dalam menghadapi tantangan kehidupan. Ketika seseorang berhasil memahami dan memimpin dirinya, ia juga lebih mampu memimpin orang lain, karena pemimpin yang efektif dimulai dari pemahaman atas dirinya sendiri. Hal ini relevan untuk pendidikan karakter modern yang menekankan keselarasan antara nilai-nilai spiritual, psikologis, dan sosial dalam membangun masyarakat

Ajaran Ki Ageng Suryomentaram ini juga relevan untuk dunia modern, di mana banyak orang mengalami kebingungan identitas atau tekanan sosial. Dengan mengenali akar ketidakbahagiaan, yaitu keinginan berlebihan, individu dapat membangun kehidupan yang lebih sederhana, namun bermakna. Konsep ini cocok diterapkan dalam pendidikan karakter dan pengembangan diri, baik di tingkat individu maupun komunitas.

Dengan menginternalisasi ajaran Kawruh Jiwa, seseorang dapat menjalani hidup dengan lebih harmonis dan menjadikan nilai-nilai lokal ini sebagai fondasi yang memperkaya pendekatan global terhadap pengembangan pribadi dan kepemimpinan.

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

Bagaimana konsep enam SA bisa mempengaruhi pemerintah dalam pencegahan korupsi dan mengelola diri?

1. Sa-butuhne (sebutuhnya)

Prinsip sa-butuhne mengajarkan pentingnya bertindak hanya sesuai dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Dalam konteks pemerintahan, prinsip ini relevan dalam menghindari sifat serakah dan penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Pengendalian diri yang baik akan membuat seorang pemimpin lebih fokus pada kebijakan yang benar-benar diperlukan oleh masyarakat, bukan hanya untuk memenuhi ambisi atau keinginan pribadi. Hal ini sejalan dengan konsep pengendalian diri dalam psikologi, di mana seseorang yang mampu mengendalikan impulsnya cenderung memiliki keputusan yang lebih bijak dan berorientasi pada tujuan jangka panjang.

2. Sa-perlune (seperlunya)

Prinsip sa-perlune menekankan pentingnya bertindak dalam batas-batas yang diperlukan. Dalam konteks pengendalian diri, prinsip ini mengarahkan para pemimpin untuk tidak berlebihan dalam tindakan mereka, baik dalam mengeluarkan anggaran, membuat kebijakan, maupun mengambil keputusan yang berdampak luas. Pemimpin yang mampu mengendalikan diri akan lebih mengutamakan kebijakan yang adil dan bermanfaat bagi rakyat tanpa terjebak dalam keserakahan atau motif pribadi. Hal ini penting untuk menjaga integritas dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

3. Sa-cukupe (secukupnya)

Prinsip sa-cukupe mengajarkan tentang cukupnya dalam segala hal. Prinsip ini memiliki relevansi dalam pengendalian diri, di mana pemimpin harus bisa menghindari tindakan yang berlebihan. Misalnya, dalam hal pengeluaran anggaran negara, seorang pemimpin yang mengamalkan sa-cukupe akan memastikan bahwa dana publik digunakan secukupnya untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Konsep ini sejalan dengan prinsip pengendalian diri dalam etika dan kepemimpinan, di mana tindakan yang berlebihan dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.

4. Sa-benere (sebenarnya)

Prinsip sa-benere mengajarkan pentingnya bertindak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan. Dalam pengendalian diri, prinsip ini menekankan pentingnya kejujuran dan integritas dalam setiap tindakan. Pemimpin yang mengedepankan sa-benere akan menghindari manipulasi, kebohongan, dan tindakan yang tidak etis. Pengendalian diri yang mencerminkan prinsip ini membantu para pemimpin untuk selalu bertindak secara transparan dan mempertanggungjawabkan keputusan mereka kepada publik. Hal ini juga mencegah munculnya potensi penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada korupsi.

5. Sa-mesthine (semestinya)

Prinsip sa-mesthine mengajarkan pemimpin untuk bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan dalam konteks moral dan etika. Pengendalian diri yang didasari prinsip ini membantu para pemimpin untuk tetap berpijak pada nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan etika dalam setiap kebijakan dan tindakan mereka. Hal ini penting agar pemimpin tidak tergoda untuk melakukan tindakan yang hanya menguntungkan diri sendiri atau kelompok tertentu, tetapi tetap memperjuangkan kepentingan rakyat secara adil.

6. Sak-penake (seenaknya)

Prinsip sak-penake mengajarkan pentingnya bertindak dengan sikap yang nyaman namun tetap dalam koridor etis. Dalam pengendalian diri, prinsip ini mengingatkan para pemimpin untuk tidak bertindak secara sembarangan dan mengikuti keinginan hati tanpa pertimbangan matang. Seorang pemimpin yang mengamalkan sak-penake akan mampu menyeimbangkan keputusan yang diambil dengan kebutuhan rakyat, bukan hanya untuk kenyamanan pribadi atau kelompok. Pengendalian diri yang baik mencegah tindakan yang tidak dipikirkan dengan matang, yang bisa berujung pada korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam hal tersebut bisa di korelasikan sebagai berikut:

1. Pentingnya Etika dan Integritas dalam Kepemimpinan

Berbagai penelitian dan buku tentang kepemimpinan dan integritas menekankan bahwa etika yang kuat dan integritas pribadi adalah kunci utama dalam pencegahan korupsi. Menurut James MacGregor Burns dalam bukunya "Leadership" (1978), pemimpin transformasional yang memiliki integritas dapat mempengaruhi pengikutnya untuk bertindak secara etis dan menjauh dari tindakan korup. Dalam konteks enam SA, prinsip seperti sa-benere (bertindak sesuai kebenaran) dan sa-mesthine (bertindak sebagaimana mestinya) sejalan dengan gagasan ini, di mana para pemimpin harus menegakkan prinsip kejujuran dan integritas dalam setiap tindakan mereka (Burns, 1978).

2. Prinsip Kebatinan Jawa dan Pengendalian Diri

Penelitian tentang kebatinan Jawa, termasuk kajian oleh Gie S. Hartanto dalam buku "Kebatinan Jawa dan Pengaruhnya terhadap Budaya" (2001), menunjukkan bahwa ajaran-ajaran seperti enam SA mencerminkan pandangan hidup yang mengutamakan keseimbangan dan pengendalian diri. Sa-butuhne dan sa-cukupe, misalnya, mendorong individu untuk bertindak secara bijaksana dan menghindari keserakahan. Hal ini sejalan dengan prinsip yang ditemukan dalam studi tentang pencegahan korupsi yang menekankan pentingnya pengendalian diri dan kesadaran moral sebagai faktor penting dalam menghindari penyalahgunaan kekuasaan (Hartanto, 2001).

3. Konsep Proporsionalitas dalam Pengelolaan Kekuasaan

Sumber-sumber penelitian dalam bidang pemerintahan dan etika, seperti dalam "The Ethics of Leadership" oleh Joanne B. Ciulla (2004), mengungkapkan bahwa kepemimpinan yang etis harus didasarkan pada prinsip proporsionalitas dan penggunaan kekuasaan secara bijaksana. Sa-perlune (bertindak hanya sesuai kebutuhan) mendukung gagasan ini, di mana pemimpin harus membuat keputusan dan kebijakan yang benar-benar diperlukan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk memenuhi ambisi pribadi atau kelompok tertentu. Penelitian terkait pencegahan korupsi juga menguatkan pandangan ini dengan menekankan bahwa pengeluaran anggaran yang berlebihan atau pengambilan keputusan yang tidak rasional dapat memicu tindakan korupsi (Ciulla, 2004).

4. Keseimbangan antara Kebutuhan Pribadi dan Kepentingan Umum

Dalam literatur tentang etika pemerintahan, seperti dalam jurnal Journal of Business Ethics, sering dibahas pentingnya menyeimbangkan kebutuhan pribadi dengan kepentingan masyarakat. Sak-penake (bertindak sesuai kenyamanan yang wajar) mengingatkan para pemimpin untuk tidak memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan pribadi yang berlebihan. Prinsip ini mengarahkan para pemimpin untuk menjaga sikap bijaksana dalam bertindak, mengutamakan kesejahteraan rakyat, dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Penelitian di bidang etika publik menunjukkan bahwa korupsi seringkali muncul karena pemimpin yang melayani kepentingan pribadi mereka sendiri ketimbang kepentingan publik (Journal of Business Ethics, 2020).

5. Transparansi dan Akuntabilitas

Prinsip sa-benere (bertindak sesuai kebenaran) sangat relevan dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, yang merupakan pilar penting dalam pencegahan korupsi. Dalam penelitian yang dipublikasikan di International Journal of Public Administration, dijelaskan bahwa transparansi dalam pemerintahan dapat mengurangi peluang terjadinya korupsi dengan membangun kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Pengamalan prinsip sa-benere mengarahkan para pemimpin untuk senantiasa berlaku jujur dan terbuka dalam semua aspek pemerintahan, yang dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan (International Journal of Public Administration, 2018).

6. Implementasi Prinsip dalam Studi Kasus

Penelitian studi kasus yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai kebatinan dan etika dalam pemerintahan dapat membantu mengurangi korupsi. Misalnya, dalam jurnal Corruption and Public Sector Reform, diungkapkan bahwa negara-negara yang menanamkan prinsip moralitas dan etika dalam sistem pemerintahan cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah. Dalam hal ini, enam SA dapat dianggap sebagai pedoman filosofis yang dapat diterapkan dalam kebijakan pendidikan dan pelatihan bagi para pemimpin, agar mereka selalu mengutamakan integritas, kesejahteraan rakyat, dan membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi (Corruption and Public Sector Reform, 2017).

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

Bagaimana prinsip Pangawikan Pribadi menurut ki ageng suryomentaram?

Prinsip pangakwinan pribadi menurut Ki Ageng Suryomentaram berfokus pada hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, serta upaya untuk mengelola diri dalam rangka mencapai kesadaran dan kebijaksanaan. Konsep ini berkaitan erat dengan pemahaman diri, pengendalian hawa nafsu, dan pembentukan karakter yang utuh. Prinsip ini dapat menjadi pedoman dalam transformasi pribadi dan pengelolaan diri yang lebih baik. Berikut adalah penjelasan mengenai prinsip pangakwinan pribadi menurut Ki Ageng Suryomentaram untuk transformasi mengelola diri:

1. Pangakwinan sebagai Penyatuan Jiwa dan Raga

Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa pangakwinan pribadi adalah proses penyatuan antara jiwa dan raga, di mana manusia harus mampu menyatukan potensi batiniah dan lahiriah dalam dirinya. Ini adalah langkah awal dalam proses transformasi pribadi, di mana seseorang memahami bahwa kekuatan sejati terletak pada keseimbangan antara pikiran, perasaan, dan tindakan. Pengelolaan diri yang seimbang ini memungkinkan individu untuk bertindak secara bijaksana dan sesuai dengan prinsip moral yang tinggi.

2. Penerimaan Diri dan Keikhlasan

Prinsip pangakwinan juga mengajarkan pentingnya penerimaan diri dan keikhlasan. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa untuk mengelola diri dengan baik, seseorang harus memahami kondisi dirinya, baik kekuatan maupun kelemahannya, dan menerima diri sebagaimana adanya. Ini penting dalam transformasi pribadi, karena hanya dengan menerima diri sendiri, seseorang dapat mengembangkan potensi yang ada tanpa terjebak pada perasaan tidak puas atau rasa rendah diri. Keikhlasan juga membantu seseorang untuk bertindak dengan niat yang tulus dan tidak egois.

3. Pengendalian Diri dan Pengendalian Hawa Nafsu

Salah satu aspek penting dalam pangakwinan pribadi adalah pengendalian diri. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, seseorang harus mampu mengendalikan hawa nafsu dan emosi yang dapat mengganggu proses pengelolaan diri. Dalam transformasi pribadi, pengendalian diri berarti mampu memilih tindakan yang tepat dan bijaksana, serta menghindari tindakan impulsif yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Pengendalian hawa nafsu adalah kunci untuk mencapai kestabilan batin dan kebijaksanaan dalam menghadapi tantangan hidup.

4. Menjaga Keseimbangan dalam Kehidupan

Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa hidup harus dijalani dengan prinsip keseimbangan antara kebutuhan spiritual, emosional, dan fisik. Pangakwinan pribadi adalah proses di mana seseorang berusaha menjaga keseimbangan ini, sehingga dapat hidup dengan lebih harmonis. Dalam pengelolaan diri, ini berarti tidak hanya fokus pada pencapaian materi atau kesenangan duniawi, tetapi juga memperhatikan kebutuhan jiwa dan perkembangan spiritual. Prinsip ini mendorong seseorang untuk mencari tujuan hidup yang lebih tinggi, yang dapat memberikan kebahagiaan sejati dan tidak tergantung pada faktor eksternal.

5. Kebijaksanaan dan Pengambilan Keputusan

Dalam prinsip pangakwinan pribadi, kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan adalah aspek yang sangat penting. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa seseorang yang telah mengelola dirinya dengan baik akan memiliki kebijaksanaan dalam memilih tindakan dan keputusan yang akan diambil. Kebijaksanaan ini muncul dari pemahaman yang mendalam tentang kehidupan, kemampuan untuk melihat situasi secara objektif, dan kesadaran akan akibat dari setiap tindakan. Dengan memiliki kebijaksanaan, seseorang dapat membuat keputusan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.

6. Transformasi Menuju Kematangan Pribadi

Pangakwinan pribadi menurut Ki Ageng Suryomentaram juga berhubungan dengan transformasi menuju kematangan pribadi. Dalam proses ini, seseorang mengembangkan kesadaran yang lebih dalam tentang dirinya dan lingkungan, serta bertumbuh menjadi individu yang lebih bijaksana, berempati, dan penuh kasih. Transformasi ini melibatkan proses belajar dari pengalaman, refleksi diri, dan peningkatan kualitas karakter. Dengan pengelolaan diri yang baik, seseorang dapat menghadapi rintangan hidup dengan lebih tenang dan tetap menjaga integritasnya

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

Bagaimana prinsip Mulur Mungket menurut Ki Ageng Suryomentaram untuk mencegah korupsi para pemimpin?

Prinsip mulur mungket adalah ajaran yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram sebagai bagian dari filosofi kebatinan Jawa. Prinsip ini memiliki makna mendalam terkait dengan pengendalian diri, keseimbangan, dan integritas dalam bertindak, yang semuanya relevan dalam konteks pencegahan korupsi di kalangan para pemimpin. Berikut penjelasan tentang prinsip mulur mungket dan penerapannya untuk pencegahan korupsi:

1. Pengertian Prinsip Mulur Mungket

Prinsip mulur mungket secara harfiah berarti "memanjang dan mengkerut." Dalam konteks kebatinan Jawa, prinsip ini mengajarkan tentang pentingnya fleksibilitas, kesabaran, dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Prinsip ini mengandung pesan bahwa seorang pemimpin harus mampu mengatur diri, beradaptasi, dan bijaksana dalam setiap tindakan yang diambil. Mulur (memanjang) berarti memperluas pandangan dan wawasan, sementara mungket (mengkerut) berarti mengecilkan ego dan mengendalikan keinginan diri. Prinsip ini mengajarkan bahwa pemimpin harus bersikap bijak, tidak mudah terjebak dalam keserakahan, dan senantiasa menjaga integritas dalam setiap tindakannya.

2. Relevansi dengan Pencegahan Korupsi

Korupsi sering kali terjadi karena adanya ketidakmampuan pemimpin dalam mengendalikan diri, keserakahan, dan keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah. Prinsip mulur mungket dapat membantu para pemimpin menghindari sifat-sifat tersebut dengan menanamkan kesadaran akan pentingnya pengendalian diri dan menjaga keseimbangan antara keinginan pribadi dan kepentingan publik. Berikut beberapa aspek relevansi prinsip ini untuk pencegahan korupsi:

  • Mengendalikan Ego dan Keinginan Pribadi: Dengan prinsip mungket (mengkerut), pemimpin diajarkan untuk mengecilkan ego dan mengendalikan keinginan diri. Hal ini penting untuk menghindari tindakan-tindakan yang didorong oleh kepentingan pribadi yang merugikan masyarakat. Pemimpin yang mampu mengendalikan ego cenderung lebih mementingkan kepentingan umum daripada ambisi pribadi.
  • Meningkatkan Kewaspadaan: Prinsip mulur (memanjang) mengajarkan para pemimpin untuk memperluas wawasan dan pandangan mereka, sehingga mereka mampu memahami situasi secara lebih menyeluruh. Dengan pandangan yang luas, pemimpin akan lebih mampu melihat potensi dampak dari keputusan mereka terhadap masyarakat dan mencegah tindakan-tindakan yang bisa merugikan, termasuk korupsi.
  • Keseimbangan dalam Tindakan: Mulur mungket mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam bertindak. Para pemimpin harus mampu menyesuaikan sikap mereka agar tidak terjebak dalam tindakan yang berlebihan (mulur) atau terlalu membatasi diri (mungket). Pengendalian diri seperti ini akan membantu pemimpin mengambil keputusan yang bijaksana, yang tidak hanya mengutamakan keuntungan pribadi tetapi juga mempertimbangkan kepentingan rakyat.

3. Implementasi dalam Kepemimpinan

Penerapan prinsip mulur mungket dalam kepemimpinan bisa dilakukan dengan beberapa cara:

  • Pelatihan Etika dan Integritas: Para pemimpin dapat mengikuti pelatihan atau pendidikan yang mengajarkan tentang pentingnya integritas, etika, dan pengendalian diri dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat membantu mereka memahami prinsip mulur mungket dan bagaimana mengaplikasikannya dalam situasi sehari-hari.
  • Penerapan Kebijakan Pengawasan: Untuk menghindari potensi korupsi, penting bagi pemerintah untuk memiliki sistem pengawasan internal dan eksternal yang efektif. Dengan adanya kontrol yang baik, pemimpin akan lebih cenderung untuk bertindak sesuai dengan prinsip mulur mungket, menjaga integritas, dan mengutamakan kepentingan publik.
  • Refleksi Diri: Pemimpin perlu memiliki waktu untuk merenung dan mengevaluasi tindakan mereka secara berkala. Melalui refleksi diri, mereka dapat menilai apakah tindakan mereka sudah sesuai dengan prinsip mulur mungket atau justru terjebak dalam keinginan pribadi yang merugikan.

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

Mengapa pemimpin harus waspada kepada 4 sifat buruk (Meri, Pambegan, Getun dan Sumelang)?

Ki Ageng Suryomentaram, seorang tokoh dalam filsafat kebatinan Jawa, mengajarkan bahwa pemimpin harus waspada terhadap empat sifat buruk yang disebut sebagai Meri, Pambegan, Getun, dan Sumelang. Keempat sifat ini merupakan aspek negatif dalam diri manusia yang dapat mengganggu kepemimpinan dan mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan, termasuk potensi terjadinya korupsi. Berikut adalah penjelasan mengenai keempat sifat buruk tersebut dan mengapa pemimpin harus waspada terhadapnya:

 

1. Meri (Rasa Hasrat atau Nafsu)

 

Meris (rasa hasrat atau nafsu) merujuk pada dorongan kuat dalam diri yang membuat seseorang ingin mendapatkan sesuatu tanpa memperhitungkan akibatnya. Bagi pemimpin, sifat ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan keputusan yang tidak bijak dan hanya didorong oleh keinginan pribadi atau ambisi. Pemimpin yang dipandu oleh nafsu sering kali mengutamakan keuntungan diri sendiri di atas kepentingan rakyat, yang dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, atau tindakan-tindakan tidak etis lainnya. Oleh karena itu, pemimpin perlu waspada terhadap meri dan berusaha untuk mengendalikan hasratnya agar dapat bertindak secara adil dan bijaksana.

 

2. Pambegan (Kesombongan atau Kebanggaan)

 

Pambegan merujuk pada rasa sombong atau bangga yang berlebihan terhadap kekuasaan, posisi, atau prestasi. Sifat ini berpotensi membuat pemimpin menjadi arogan, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dari orang lain. Pemimpin yang sombong cenderung tidak terbuka terhadap masukan, mengabaikan kritik, dan lebih mementingkan citra diri daripada kepentingan umum. Hal ini dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang buruk dan kebijakan yang hanya menguntungkan diri sendiri atau kelompok tertentu, bukan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, waspada terhadap pambegan sangat penting agar pemimpin tetap rendah hati dan melayani rakyat dengan tulus.

 

3. Getun (Penyesalan)

 

Getun berarti penyesalan atas keputusan yang diambil. Walaupun penyesalan itu wajar, dalam konteks kepemimpinan, sifat ini dapat menjadi masalah jika membuat pemimpin tidak dapat bergerak maju dengan percaya diri. Pemimpin yang terus-menerus diliputi penyesalan dapat merasa ragu-ragu dalam mengambil keputusan, sehingga menghambat proses pembangunan dan pengambilan kebijakan. Selain itu, penyesalan yang berlebihan juga bisa membuat pemimpin mudah terjebak dalam perasaan kecewa, yang dapat mengarahkan pada keputusan yang dipengaruhi oleh emosi negatif daripada pertimbangan yang rasional. Untuk itu, pemimpin perlu mengembangkan keteguhan hati dan kemampuan untuk belajar dari kesalahan tanpa terjebak dalam penyesalan yang berkepanjangan.

 

4. Sumelang (Ketakutan)

 

Sumelang mengacu pada rasa takut yang berlebihan, terutama terkait dengan kehilangan kekuasaan atau posisi. Ketakutan ini dapat membuat pemimpin tidak berani mengambil langkah-langkah penting, bahkan jika langkah tersebut diperlukan untuk kesejahteraan rakyat. Sifat sumelang juga dapat membuat pemimpin lebih memilih untuk mempertahankan status quo daripada melakukan perubahan yang mungkin diperlukan untuk kemajuan. Ketakutan terhadap kritik, protes, atau kehilangan dukungan politik dapat membuat pemimpin tidak berani bertindak secara tegas dan mengambil keputusan yang mungkin tidak populer tetapi penting untuk kebaikan bersama. Oleh karena itu, pemimpin harus mampu mengatasi rasa takut ini dan berani mengambil keputusan yang berdasarkan pada prinsip keadilan dan kebaikan untuk rakyat, bukan hanya untuk menjaga kekuasaan.

 

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

Bagaimana para pemimpin harus mawas diri dengan prinsip yang dimaksud ki ageng suryomentaram yaitu nyowong karep, memandu karep dan membebaskan karep

 

Prinsip yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram mengenai nyowong karep, mempandu karep, dan membebaskan karep adalah prinsip kebatinan yang menekankan pentingnya pengendalian diri dan kesadaran dalam menjalankan kekuasaan. Bagi para pemimpin, prinsip ini sangat relevan untuk membantu mereka tetap mawas diri, menjaga integritas, dan bertindak secara bijaksana. Berikut ini penjelasan bagaimana para pemimpin harus mengaplikasikan prinsip tersebut dalam kehidupan mereka:

 

1. Nyowong Karep (Menjaga Keinginan)

 

Nyowong karep berarti menjaga keinginan atau nafsu agar tetap berada dalam batas yang wajar. Bagi pemimpin, ini mengajarkan pentingnya kesadaran akan motif dan dorongan pribadi. Pemimpin harus mampu mengidentifikasi keinginan-keinginan dalam dirinya yang bisa mendorong tindakan yang tidak etis atau merugikan masyarakat. Mengamalkan prinsip ini berarti tidak membiarkan ambisi pribadi atau keinginan untuk memperoleh kekuasaan, uang, atau pengaruh menguasai keputusan yang diambil. Pemimpin yang bijaksana adalah mereka yang mampu menilai dan mengendalikan keinginan mereka agar tetap berpihak pada kepentingan publik dan bukan hanya pada keuntungan pribadi.

 

2. Mempandu Karep (Mengarahkan Keinginan)

 

Memandu karep berarti mengarahkan keinginan dan niat agar sesuai dengan tujuan yang benar dan bermanfaat. Pemimpin harus mampu memandu niatnya agar setiap tindakan dan keputusan yang diambilnya berada dalam jalur yang positif dan memberi manfaat bagi rakyat. Prinsip ini menuntut pemimpin untuk memiliki kesadaran diri yang tinggi, serta visi dan misi yang jelas mengenai tujuan kepemimpinannya. Dengan memandu karep, pemimpin diharapkan tidak hanya bertindak secara impulsif atau berdasarkan keinginan sesaat, tetapi lebih mengutamakan pemikiran yang mendalam dan pertimbangan yang matang. Ini juga termasuk kejujuran dalam menilai situasi dan mengambil keputusan yang mengutamakan kebaikan bersama.

 

3. Membebaskan Karep (Membebaskan Keinginan dari Ikatan Negatif)

 

Bebas karep berarti membebaskan diri dari keinginan yang mengikat atau membelenggu, terutama yang mengarah pada hal-hal negatif atau merugikan. Bagi seorang pemimpin, membebaskan karep berarti menghilangkan sifat-sifat seperti keserakahan, ketakutan, dan ego yang bisa menghalangi pengambilan keputusan yang adil. Dengan membebaskan diri dari ikatan-ikatan buruk, pemimpin dapat membuat keputusan yang lebih objektif dan berpihak pada kebenaran dan keadilan. Prinsip ini mengajarkan bahwa pemimpin harus mampu mengatasi godaan-godaan yang mungkin datang dengan jabatan dan kekuasaan, seperti peluang untuk korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau pengaruh yang tidak etis.

 

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

Kesimpulan dari Pemikiran dan Ajaran Ki Ageng Suryomentaram

 

Ki Ageng Suryomentaram, putra Sultan Hamengku Buwono VII, lahir pada 20 Mei 1892, dikenal sebagai tokoh yang meninggalkan status pangeran untuk mendalami spiritualitas dan mengembangkan konsep kebahagiaan yang disebut Kawruh Jiwa. Konsep ini mengutamakan pengendalian diri, kesadaran, dan pemahaman mendalam tentang hubungan manusia dengan dirinya sendiri serta lingkungannya.

 

1. Filosofi Kebahagiaan:
Ki Ageng mendefinisikan kebahagiaan sebagai kondisi di mana seseorang mencapai ketentraman (tentrem) dan ketabahan (tabah). Kebahagiaan dianggap dinamis dan terus berubah mengikuti prinsip mulur-mungket (memanjang dan mengerut), mirip dengan gagasan Pantarei dalam filsafat. Hal ini berarti bahwa kebahagiaan tidak mutlak, melainkan selalu berproses seiring perubahan hidup. Ia menekankan bahwa mengawasi dan membebaskan keinginan adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan sejati yang tidak bergantung pada materi atau status.

 

2. Kawruh Jiwa: Dasar Ilmu Jiwa
Ajaran Kawruh Jiwa mengajarkan pentingnya memahami dua kategori kehidupan, yakni barang asal (yang abadi) dan barang dumadi (yang sementara). Barang asal, seperti tubuh, pikiran, dan jiwa, menjadi dasar pembentukan diri manusia. Dengan mengenali hakikat diri, seseorang dapat memahami kebutuhan sejati dan menekan keinginan yang berlebihan. Hal ini membantu seseorang menjalani hidup lebih harmonis, sederhana, dan tenteram.

 

3. Relevansi dalam Pencegahan Korupsi:
Prinsip-prinsip ajaran ini sangat relevan dalam mencegah korupsi, terutama bagi pemimpin. Dengan pengendalian ego dan penerapan enam SA (sakepenake, sabutuhe, saperlune, sacukupe, sabenere, dan samesthine), pemimpin dapat menjaga integritas, menjauhkan diri dari keserakahan, dan fokus pada kepentingan rakyat. Prinsip ini juga mengajarkan pemimpin untuk bertindak sesuai kebutuhan yang nyata, bukan berdasarkan ambisi pribadi.

 

4. Transformasi Diri dan Kepemimpinan:
Ki Ageng juga menekankan pentingnya nyowong karep (mengelola keinginan), memandu karep (mengarahkan tujuan), dan membebaskan karep (melepas ego negatif) sebagai langkah untuk membangun kepemimpinan yang bijaksana. Pemimpin yang mempraktikkan ini dapat menjadi lebih fleksibel, tenang, dan bertindak sesuai dengan kebenaran, sehingga lebih efektif dalam memimpin.

 

5. Prinsip Mulur-Mungket dalam Kepemimpinan:
Prinsip mulur-mungket mengajarkan pemimpin untuk menjaga keseimbangan dalam bertindak. Mereka didorong untuk memperluas wawasan (mulur) sambil mengendalikan ego (mungket). Dengan mempraktikkan prinsip ini, pemimpin dapat membuat keputusan bijak tanpa tergoda untuk melakukan tindakan tidak etis seperti korupsi.

 

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

 

Aldo Oktavian
Aldo Oktavian

 

Boneff, Marcell. 2012. Matahari dari Mataram, Menyelami Spiritalitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram. Depok: Penerbit Kepik El- Zastrouw, Ngatawi. (2020, 30 Juli) "Menuju Sosiologi Nusantara Analisis Ajaran Ki Ageng Suryomentaram dan Amanat Galunggung".Islam Nusantara: Jurnal Kajian Sejarah Dan Kebudayaan islam,1(1).

 

Boneff, Marcell. 2012. Matahari dari Mataram, Menyelami Spiritalitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram. Depok: Penerbit Kepik El- Zastrouw, Ngatawi. (2020, 30 Juli) "Menuju Sosiologi Nusantara Analisis Ajaran Ki Ageng Suryomentaram dan Amanat Galunggung".Islam Nusantara: Jurnal Kajian Sejarah Dan Kebudayaan islam,1(1).

 

Endraswara, S. (2016). Falsafah Hidup Jawa: Menggali Mutiara Kebijakan dari Intisari Filsafat Kejawen. Yogyakarta: Cakrawala

 

NIKMATURRAHMAH, Nikmaturrahmah; MUSYAFIQ, Ahmad. Sufistic Values in Suryomentaram Kawruh Jiwo. Teosofia: Indonesian Journal of Islamic Mysticism, [S.l.], v. 6, n. 2, p. 87-108, dec. 2017. ISSN 2540-8186

 

https://psikologi.ustjogja.ac.id/2015/11/05/mengenal-ajaran-ki-ageng-suryomentaram-kas/

 

https://abduljalil.web.ugm.ac.id/biografi-dan-pemikiran-ki-ageng-suryomentaram/

 

https://journal.walisongo.ac.id/index.php/teosofia/article/view/3383

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun