Mohon tunggu...
Aldon Sinaga
Aldon Sinaga Mohon Tunggu... Dosen - Karena sudah mendapatkan, maka tidak ada alasan untuk tidak berbagi

Bekerja di Politeknik WBI - Medan dan Pernah Bekerja di UNITRI Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selamat Hari Pendidikan Nasional: Quo Vadis‐ Pendidikan Karakter

2 Mei 2016   08:03 Diperbarui: 2 Mei 2016   08:15 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggal 2 Mei kembai kita merayakan hari pendidikan, hari lahirnya seorang Ki Hajar Dewantara yang dianggap sebagai symbol pendidikan nasional. Pendidikan merupakan salah satu hak penting rakyat Indonesia yang di maktubkan dalam Undang‐Undang Dasar. UUD menyatakan bahwa Pendidikan merupakan hak setiap warga negara dan ditujukan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menyikapi bahwa mandat UUD atas pendidikan adalah menghasilkan generasi yang cerdas dan berkarakter mulia, maka pada beberapa waktu terakhir, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, mencanangkan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan karakter ternyata bukanlah hal yang mudah dirumuskan dan dilaksanakan. Beberapa model pendidikan karakter tidak berhasil membentuk karakter sebagaiamana diharapkan. 

Memandang lebih luas lagi, menyikapi beberapa kekurang berhasilan pengembangan pendidikan karakter, mungkin dapat menunjukkan bahwa walaupun undang‐undang dasar telah menggariskan keutamaan pendidikan karakter, namun kebijakan pendidikan kita belum menerjemahkan mandat itu. Sebaliknya kebijakan pendidikan kita masih berorientasi kuantitas dibandingkan kualitas.

Pendidikan beroerientasi kuantitas akan memberikan nilai lebih tinggi berdasarkan banyaknya pertanyaan yang bisa dijawab. Orientasi berkebalikan dengan orientasi kualitas, dimana penilaian diadasarkan pada kreasi dan inovasi berdasarkan realitas lingkungan. Pendidikan berkualitas adalah pendidikan yang tidak diorientasikan pada keluaran saja tetapi diteruskan hingga impak/dampak. Paradigma pendidikan menyatakan pada hakekatnya pendidikan melibatkan serangkaian aspek yang dimulai dari Input – Proses – Output – Outcome – Impact.  Paradigma ini menyiratkan bahwa pendidikan yang berhasil mencapai cita‐citanya adalah pendidikan yang mengelola Input dalam Proses yang baik dan Output dari proses itu diukur berdasarkan Luaran Outcomenya (seperti apa spesifikasinya) dan dampak dari keluaran itu pada diri lulusan dan lingkungan disekitarnya (Dampak).

Melihat penjelasan paradigma diatas, jelas bahwa bila kita menginginkan terbentuknya Karakter yang baik dari lulusan yang terukur dalam spesifikasi lulusan dan memberikan dampak yang baik pada perbaikan karakter bangsa, tentu kita (Pelaku Pendidikan) harus dengan serius bekerja mengelola Proses pendidikan.

Perkembangan program pendidikan Karakter dalam sistem pendidikan kita bukan hanya terjadi dalam beberapa waktu belakangan. Menurut sejarah, program pendidikan karakter telah hadir sejak hadirnya pendidikan bagi kaum pribumi masa Hindia Belanda. Dimulai dari cetusan dan program Politik Etis (1901) yang memuat edukasi, irigasi dan transmigrasi sebagai bagian dari politik balas budi yang diperjuangkan Van de Venter. Pendidikan karakter pada masa itu berjalan sesuai kebutuhan pada masa itu, yang bukan semata‐mata ditujukan untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. Pada masa itu, pendidikan diperlukan untuk memperoleh sumberdaya manusia. Perbedaan warna kulit dalam sistem pendidikan menghasilkan produk pendidikan yang memiliki karakter Rasis. Pada periode tersebut  pendidikan dibedakan untuk tiga suku bangsa yakni, Eropa, Asia Jauh (tionghoa) dan Pribumi.

Dengan karakternya, pendidikan saat itu sering dipandang sebagai sarana meningkatkan Derajat atau Status Sosial bagi sekelompok orang. Proses pendidikan yang rasis dan berorientasi pada peningkatan derajat menyebabkan outcome karakter yang dihasilkan menjadi kolonialis, rasial, dan bagi sekelompok orang cenderung menggunakan nilai pendidikan sebagai sesuatu yang dipertahankan sebagaimana mempertahankan status sosialnya sebagai “tuan‐tuan” bagi kelompok masyarakat lain (yang tidak berpendidikan).

Tahun 1922, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat yang dikenal dengan Ki Hajar Dewantara, mendirikan Perguruan Taman Siswa untuk “mengcounter” konsep pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Tujuan pendidikan taman siswa untuk mewujudkan mahasiswa Indonesia yang Merdeka lahir dan bathinnya, selain menjadi pencerahan bagi konsep pendidikan pribumi, sekaligus mengesampingkan beberapa pendapat kaum revolusioner yang menggunakan pendidikan sebagai media perlawanan. Pendidikan taman siswa menjunjung tinggi jiwa kekeluargaan yang bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Hal tersebut di nyatakan dengan PANCADHARMA Taman Siswa yaitu ; Kodrat Alam (memperhatikan prinsip campur tangan Tuhan YME.), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing‐masing individu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).  Sistem pendidikan ini menghasilkan karakter lulusan yang berjiwa gotong‐royong, tahan dalam segala keadaan serta menghargai makna kemerdekaan yang tidak bergantung pada orang lain.

Selain Taman siswa, berbagai lingkungan pesantren dan agama lain, juga telah membangun sistem pendidikan yang mengedepankan karakter moral agama sebagai cita‐cita pendidikan. Outcome dari proses pendidikan ini telah pula mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Karakter moral yang kuat, penghargaan yang baik terhadap orang lain menandai figure hasil pendidikan pesantren. Tokoh tokoh hasil pendidikan pesantren juga banyak muncul dan menjadi teladan yang baik bagi lingkungannya.

Setelah Kemerdekaan RI, paradigma pendidikan mulai berubah. Berbagai arus baru mulai mewarnai sistem pendidikan. Arus liberalisasi yang mengkapitalisasi pendidikan dan alih alih kualitas yang mengedepankan tolok ukur material dalam menilai hasil pendidikan telah mewarnai pembentukan karakter lulusannya. Karakter pragmatis, materialistis, ego yang tinggi dan cenderung kurang perduli terhadap lingkungannya merupakan warna baru karakter bangsa ini, sebagai hasil pendidikan. Belum lagi integritas yang rendah, loyalitas yang rendah dan kecintaan pada bangsa yang semakin rapuh. Tentu tidak perlu diuraikan lebih jauh, bahwa pendidikan dan karakter yang dihasilkannya saat ini, bertanggung jawab pada pengkhianatan dan perilaku tidak terpuji (korupsi, penyuapan, kolusi, penindas) banyak tokoh‐tokoh bangsa. 

Menyikapi keprihatinan atas fenomena saat ini, pemerintah mulai melirik kembali muatan karakter dalam pendidikan nasional. Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas meluncurkan 18 butir nilai‐nilai pendidikan karakter yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun