Dia juga menjelaskan, pemerintah tidak ikut campur terkait persoalan amandemen UUD 1945 karena sebenarnya amandemen konstitusi tidak memerlukan persetujuan pemerintah.
"Adapun pemerintah ini tidak ikut campur urusan ini. Pemerintah tidak menyatakan setuju atau tidak setuju karena sebenarnya perubahan itu tidak perlu dengan persetujuan pemerintah," kata dia.
Tak melebar dan tak buru-buru
Hasil sigi lembaga survei Fixpoll menunjukkan bahwa mayoritas publik tidak setuju dengan wacana amandemen UUD 1945 jika untuk memperpanjang masa jabatan presiden atau membuka peluang presiden menjabat lebih dari dua periode.
Direktur Eksekutif Fixpoll, Mohammad Anas menjelaskan, sebanyak 53,4% responden menyatakan tak setuju dan sangat tidak setuju jika presiden bisa menjabat hingga tiga periode.
Sementara itu, ketika awal wacana amandemen UUD 1945 muncul, Ketua DPR RI Puan Maharani menilai hal ini sebaiknya dilakukan secara terbatas. Amandemen menurut dia jangan sampai melebar apalagi hingga mengatur terkait penambahan masa jabatan Presiden.
"Kalau dari awal niatnya hanya membahas soal GBHN, ya fraksi-fraksi di MPR harus konsisten, jangan melebar kemana-mana," kata Puan.
Menurutnya, haluan negara diperlukan sebagai cetak biru atau blue print pembangunan nasional jangka panjang. Dia mengatakan, memang sudah ada Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP), namun itu lebih mencerminkan visi misi presiden yang juga bisa berganti, bukan panduan pembangunan nasional hasil musyawarah dan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
Sementara itu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memerintahkan agar partainya mengambil langkah slowing down terkait agenda amandemen UUD 1945.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan instruksi ini disampaikan Megawati lantaran partai ingin mengutamakan gotong royong dalam penanganan pandemi Covid-19.
"Ibu Ketua Umum Ibu Megawati Soekarnoputri terkait amandemen sudah menegaskan bahwa kebijakan PDI Perjuangan adalah slowing down terkait amandemen UUD 45," kata Hasto.