Aku pun duduk. Lima belas menit aku ditanya ini itu oleh mbak polwan dan akhirnya aku diberi surat tilang dan harus ke pengadilan. Anehnya, aku tak menyanggah argumentasi polwan itu. Sial.
"Mas, sebenarnya saya sedang bercanda," kata-kata polwan dengan senyum manisnya itu mengagetkanku dan membuatku ingin langsung melemparnya dengan bunga bersama potnya. Ga lucu deh.
"Lah, tapi ini kan bukan APRIL MOP, mbak," jawabku terheran-heran karena aku ingat waktu itu tanggal 19 Januari. Keparat, pikirku. Apakah ada hantu jahat yang mencoba mengelabui pikiranku---aku berlagak memosisikan diriku seperti Descartes, filsuf besar Perancis, yang gemar merenung dan bermimpi itu.Â
Sialnya, aku bahkan lebih mirip kecoak biasa (bukan kecoanya Kafka) yang terus berusaha berlari menghindari sendal jelek milik seorang anak kosan yang ingin membinasakanku.
"Oke," jawabku singkat, jelas, lugas dan tidak berisi. Aku hanya bisa senyum setelahnya. Sebenarnya, aku ingin marah, tapi asudahlah.
Aku sebenarnya punya pengalaman buruk dengan polisi lalu lintas. Aku seringkali ribut dengan polisi lalu lintas karena hal sepele: mulai dari masalah aku memakai helm dengan terbalik, menggunakan jilbab saat mengendarai motor padahal aku berkumis, sampai diberhentikan karena alasan mukaku jelek. Babi memang!
Namun, jujur, aku belum pernah diberhentikan oleh seorang polwan, apalagi polwan secantik Kirana. Ya, nama polwan yang 'menilangku' adalah Kirana Purbawati. Aku mengetahuinya dari tanda nama di baju seragamnya.
"Mbak, jadi saya boleh pergi, nih?" Tanyaku karena aku lapar waktu itu.
"Lah, kok buru-buru, mas Jerry?"
"Saya lapar euy, mbak Polwan hehe," aku cengengesan sambil membatin, wah dia memanggil namaku.
"Oh, yasudah, makan sama saya saja, gimana? Kebetulan saya juga mau istirahat sebentar."