Mohon tunggu...
Aldo Fernando
Aldo Fernando Mohon Tunggu... -

Menulis di sela-sela keruhnya keseharian

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kemunduran Proses Konsolidasi Demokrasi di Indonesia?

6 November 2018   11:34 Diperbarui: 6 November 2018   12:08 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah dua puluh tahun Indonesia menikmati udara reformasi setelah mengalami masa-masa politik yang penuh represi ketika Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto berkuasa selama 32 tahun (1966-1998). 

Setelah Suharto lengser, Indonesia mengalami apa yang lazim disebut demokratisasi 'gelombang ketiga', yakni perubahan rezim yang dimulai dari Eropa Selatan pada pertengahan 1970-an, lalu menjalar ke wilayah Amerika Latin, Afrika dan Asia (Aspinall, 2018). 

Hal ini ditunjukkan dengan munculnya pluralisme dalam politik dan media, munculnya lembaga-lembaga nonpemerintah, dan pemindahan kekuasaan antarpartai yang berlangsung damai.

Setelah Reformasi 1998, banyak orang berharap kita akan mengalami periode konsolidasi demokrasi menuju demokrasi penuh. 

Harapan itu terjaga setelah kesuksesan penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden pertama kali pada 2004. Namun, ternyata masih banyak hambatan-hambatan yang merintangi Indonesia menuju ke arah demokrasi penuh: mulai dari kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang misterius, ke kasus Ahok yang menghasilkan AKSI 212 dan sejenisnya yang menuntut Ahok untuk dipenjara karena kasus 'penistaan agama' yang dianggap dilakukannya, pembubaran ormas HTI oleh pemerintah pusat,  korupsi yang masih menjalar, kekerasan terhadap kaum minoritas, dan kabar palsu serta hoaks yang membanjiri internet.

The Economist Intelligence Unit (EIU) mengeluarkan edisi kesepuluh laporan The Demoracy Index 2017. Di dalam laporan yang terbit sejak 2006 tersebut terdapat indeks demokrasi Indonesia. Laporan tersebut memiliki subjudul 'Kebebasan Berbicara sedang dalam Bahaya'. 

Laporan EIU tersebut menyoroti apa yang oleh para pakar ilmu politik sebut proses kemunculan populisme yang memiliki kecenderungan pandangan politik kanan-jauh dan demokrasi illiberal di daratan Eropa dan Amerika dan belahan bumi lainnya macam Amerika Latin hingga Asia, mulai dari Brexit, terpilihnya Trump sampai kemunculan tokoh-tokoh populis di eropa seperti Erdogan, Viktor Orban, dan lain sebagainya (Aspinall, 2018; Mietzner, 2018).

Dalam menyusun Indeks Demokrasi EIU meneliti 165 negara independen dan dua teritorial menggunakan lima kategori: proses pemilu dan pluralisme; kebebasan sipil; kinerja pemerintah; partisipasi politik; dan budaya politik. Kemudian, masing-masing negara diklasifikasikan ke dalam salah satu dari empat tipe rezim berdasarkan skor negara tersebut terhadap rentang indikator-indikator dalam lima kategori di atas: 'demokrasi penuh'; 'demokrasi bercacat'; 'rezim hibrida; dan 'rezim otoritarian'.

Berdasarkan data The Democracy Index 2017, hanya ada 19 negara yang masuk ke dalam kategori demokrasi penuh, yang berarti mencakup 11,4% dari jumlah total negara yang dijadikan sampel. 

Keluarnya AS pada 2016 dari kelompok demokrasi penuh menjadi demokrasi bercacat mengurangi jumlah populasi yang hidup dalam demokrasi penuh, yakni dari 8.9% pada 2015 menjadi 4,5% per populasi dunia (total populasi dari 167 yang dicakup oleh Index). 

Demokrasi bercacat menjadi yang terbanyak di antara rezim tipe lainnya karena dihuni oleh 57 negara dan mencakup 34,1% dari total 167 negara dan 44,8% dari total populasi dunia menurut Index. Data tersebut menunjukkan bahwa 76 dari 167 bisa dianggap termasuk ke dalam demokrasi. 

Sisanya, sebanyak 39 negara termasuk ke dalam tipe rezim 'rezim hibrida' dan sebanyak 52 negara termasuk ke dalam 'rezim otoritarian' (Tabel 1). Jadi, ada sekitar sepertiga dari populasi dunia hidup dalam rezim otoritarian, dengan mayoritas rakyat Cina.

Tabel 1. Data Jumlah Negara yang termasuk ke dalam empat rezim tipe menurut Democracy Index 2017

Sumber: The Economist Intelligence Unit
Sumber: The Economist Intelligence Unit

Menurut Larry Diamond, salah seorang pakar demokrasi, sebagaimana dikutip dalam Democracy Index 2017, kita sedang mengalami 'resesi demokrasi'. Bahkan, negara-negara tradisional demokrasi, seperti AS, mengalam resesi tersebut. Menurut laporan EIU, perwujudan utama dari resesi demokrasi adalah sebagai berikut: merosotnya partisipasi populer dalam pemilu dan proses politik, menurunnya kepercayaan terhadap institusi-institusi negara, berkurangnya daya tarik dari parpol arusutama, tumbuhnya pengaruh dari institusi-institusi dan lembaga-lembaga ahli yang tak akuntabel, melebarnya jurang antara elit politik dan eletorat, pengekangan kebebasan media, dan tergerusnya kebebasan politik (misalnya, pembatasan kebebasan berpendapat).

Berdasarkan Democracy Index 2017, Norwegia menduduki peringkat pertama dengan nilai total 9,87 per 10. Lalu, secara berturut-turut sampai peringkat kelima, diikuti oleh Islandia (9,58), Swedia (9,39), Selandia Baru (9,26), dan Denmark (9,22). Menariknya, tiga dari lima negara teratas adalah negara Nordik. Kelima negara tersebut termasuk ke dalam kategori demokrasi penuh.

Lalu, berada di peringkat berapa negara adidaya dan salah satu simbol demokrasi barat AS?

Amerika Serikat berada di peringkat kedua puluh satu bersama dengan Italia dengan raihan poin sama, yakni 7,98. Menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara dan kemudian terpilihnya Trump menjadi presiden dan kemunculan narasi-narasi ultra-kanan menjadi faktor penting yang menurunkan peringkat AS di Democracy Index 2017.

Indonesia sendiri berada di peringkat keenam puluh delapan dengan skor 6,39, berada di atas Tunisia dan Singapura yang sama memperoleh skor 6,32 dan berada di bawah Serbia dan Meksiko yang sama-sama mendapat skor 6,41. Ini berarti Indonesia termasuk ke dalam kategori demokrasi bercacat. 

EIU melaporkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling buruk performanya sepanjang 2017, karena turun sebanyak 20 peringkat dari posisi 48 ke posisi 68, setelah terjadi penurunan skor dari 6,97 ke 6,39.

 Menurut laporan Democracy Index 2017, Indonesia mengalami kemunduran demokrasi setelah kasus penahanan Ahok, gubernur petahana provinsi Jakarta, atas dugaan penistaan agama yang Ahok lakukan. Ini akibat masih berlakunya hukum penistaan agama untuk membatasi kebebasan berekspresi di Indonesia.

Sejalan dengan laporan pernyataan Larry Diamond yang dikutip oleh EIU di atas, menurut Vedi Hadiz (2017), Indonesia juga mengalami 'resesi demokrasi' yang mendapatkan momentumnya pada 2017 akibat kemunculan kelompok Islam populis yang konservatif, yang memuncak pada aksi 212 di Jakarta untuk memenjarakan Ahok dan kelompok reaksioner yang mengusung hipernasionalisme dalam diskursus dan politik di Indonesia.

Laporan Freedom House yang berjudul Freedom In the World 2018  juga menunjukkan indikasi yang sama (Tabel 2). Menurut laporan Freedom House, Indonesia tergolong negara yang setengah bebas, dengan nilai kebebasan 3/7, hak-hak politik 2/7 dan kebebasan sipil 4/7 (1 = sangat bebas, 7 = paling sedikit bebas).

Tabel 2. Skor Indonesia menurut Freedom in The World 2018

Sumber: www.freedomhouse.org
Sumber: www.freedomhouse.org

Freedom House menyoroti sejumlah kejadian politik penting di Indonesia selama 2017 yang memengaruhi nilai indonesia dalam Freedom in the World 2018, di antaranya kasus penggunaan hukum penistaan agama kepada Ahok, gubernur petanaha provinsi Jakarta yang berdarah Tionghoa; dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan oleh presiden Jokowi untuk organisasi-organisasi yang ingin merongrong NKRI, dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai korban pertama; dugaan korupsi yang dilakukan Setya Novanto dalam kasus korupsi E-KTP.

Selain itu, masih banyak kecacatan yang ada dalam demokrasi di Indonesia, seperti intoleransi dan kekerasan terhadap minoritas, tanggapan pemerintah terhadap oposisi (menangkap tokoh-tokoh yang diduga melakukan makar), intervensi pemerintah terhadap proses-internal partai politik, menghidupkan peran politis militer, setidaknya dalam level rendah seperti babinsa yang bertugas melakukan distribusi pupuk (Aspinall, 2018; Mietzner, 2018), pembubaran diskusi mengenai isu-isu sensitif seperti isu G30S, ancaman terhadap jurnalis, kekerasan terhadap rakyat di Papua, dan lain sebagainya.

Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa demokrasi kita sedang mengalami kemunduran ke arah yang illiberal, 'di mana kontestasi elektoral tetap menjadi dasar pemerintahan, tetapi koeksis dengan pembatasan yang nyata terhadap kebebasan politik dan religius, dan di mana  hak-hak kelompok-kelompok minoritas tidak dilindungi' (Aspinall, 2018). 

Namun, sebagaimana ditulis Aspinall (2018), setidaknya Indonesia masih memiliki fondasi demokrasi yang kokoh, seperti proses pemilu yang berjalan demokratis, juga hasil survei opini publik menunjukkan dukungan yang kuat bagi demokrasi sebagai ideal dan sistem yang dipraktikkan di Indonesia.

Dengan demikian, masih ada harapan bagi kemajuan demokrasi di Indonesia di tengah kemunduran yang sedang dialami akhir-akhir ini. Mari kita lihat bagaimana kondisi politik Indonesia menjelang dan pasca pertarungan Jokowi-Ma'aruf dan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.

Referensi:

Aspinall, Edward. 2018. Twenty years of Indonesian democracy---how many more?. http://www.newmandala.org/20-years-reformasi/ (Diakses pada 10/10/2018)

Freedom House. 2018. Freedom In the World 2018 (entry: Indonesia) https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2018/indonesia (Diakses pada 10/10/2018)

Hadiz, Vedi R. 2017. Indonesia's year of democratic setbacks: towards a new phase of deepening illiberalism?, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 53:3, 261-278, DOI: 10.1080/00074918.2017.1410311

Mietzner, Marcus. 2018. Fighting Illiberalism with Illiberalism: Islamist Populism and Democratic Deconsolidation in Indonesia. Pacific Affairs: Volume 91, No. 2 June 2018: 261-282

The Economist Intelligence Unit. 2018. Democracy Index 2017: Freedom under attack. The Economist Intelligence Unit Limited: 1-78

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun